Presiden Jokowi Diharapkan Konsisten soal Revisi UU KPK
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diharapkan konsisten dalam menerapkan UU No 30/2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah direvisi alias baru. Jokowi, sebelum muncul desakan massa, pernah menyatakan UU KPK yang baru sangat relevan untuk pembenahan pemberantasan sekaligus pencegahan korupsi.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Muhammad Fauzan mengatakan, sebelum Jokowi mengirimkan Surat Presiden (Supres), dalam satu konfrensi pers menyatakan kesetujuannya terhadap beberapa materi dalam RUU KPK. Misalnya mengenai keberadaan Dewan Pengawas.
"Ini memang perlu karena semua lembaga-lembaga negara, Presiden, MA, DPR bekerja dalam prinsip check and balances. Saling mengawasi. Hal ini dibutuhkan untuk meminimalisasi potensi penyalahgunaan kewenangan," katanya dalam keterangan pers yang diterima SINDOnews, Senin (7/10/2019).
Keberadaan SP3 juga diperlukan karena penegakan hukum harus menjamin prinsip-prinsip HAM dan kepastian dengan batas waktu dua tahun. Kemudian juga yang terkait dengan status pegawai KPK dan lainnya.
"Pada saat menyampaikan poin-poin yang disetujui atau yang tidak disetujui atas RUU KPK, saya berpikir inilah sikap tegas Presiden pilihan rakyat," ujarnya. (Baca juga: Jokowi Teken Surpres Revisi UU KPK dan Sudah Dikirim ke DPR )
Namun pandangan Fauzan ini berubah. Ini karena pada 26 September 2019 Presiden mengundang beberapa tokoh untuk mendiskusikan kondisi bangsa terkini. Terutama terkait maraknya aksi unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah yang menolak beberapa RUU, termasuk revisi UU KPK. Padahal revisi UU KPK telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dengan DPR.
"(Pertemuan dengan para tokoh) berakhir dengan adanya tiga opsi pilihan terkait dengan revisi UU KPK yakni melalui legislative review, judicial review dan mengeluarkan Perppu. Presiden memberikan keterangan akan mempertimbangkan dan mengkalkulasi kemungkinan diterbitkannya Perppu. Padahal konon revisi UU KPK tinggal menunggu penomoran dari Kementerian Hukum dan HAM," ungkap Fauzan. (Baca juga: Menkumham: Presiden Setuju Revisi UU KPK Disahkan )
Menurut Fauzan, jika ada ketidaksetujuan atas materi muatan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sesuai tradisi ketatanegaraan pascaamandemen, yakni melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, hal itu perlu terus dikembangkan karena merupakan salah satu bentuk penghormatan atas kesepakatan kelembagaan yang telah dilakukan antara Presiden dengan DPR dalam pembentukan UU. (Baca juga: Usai Bertemu Tokoh, Jokowi Pertimbangkan Keluarkan Perppu KPK )
Karenanya, Fauzan berharap, pihak-pihak yang tidak sepakat dengan revisi UU KPK agar menempuh judicial review. Hal itu untuk mendidik masyarakat agar menempuh jalur hukum yang konstitusional. "Alangkah tidak atau kurang elok sebuah kesepakatan bersama dengan mudah dianulir sendiri oleh salah satu pihak, dengan cara mengeluarkan Perppu," tandasnya.
Fauzan mengakui Presiden memiliki hak untuk mengeluarkan Perppu. "Itu adalah kewenangan Presiden dan konstitutional. Tetapi saya hanya ingin Presiden konsisten dengan yang telah disampaikan pada konpres yang pertama," tandasnya guru besar Unsoed ke-57 itu.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Muhammad Fauzan mengatakan, sebelum Jokowi mengirimkan Surat Presiden (Supres), dalam satu konfrensi pers menyatakan kesetujuannya terhadap beberapa materi dalam RUU KPK. Misalnya mengenai keberadaan Dewan Pengawas.
"Ini memang perlu karena semua lembaga-lembaga negara, Presiden, MA, DPR bekerja dalam prinsip check and balances. Saling mengawasi. Hal ini dibutuhkan untuk meminimalisasi potensi penyalahgunaan kewenangan," katanya dalam keterangan pers yang diterima SINDOnews, Senin (7/10/2019).
Keberadaan SP3 juga diperlukan karena penegakan hukum harus menjamin prinsip-prinsip HAM dan kepastian dengan batas waktu dua tahun. Kemudian juga yang terkait dengan status pegawai KPK dan lainnya.
"Pada saat menyampaikan poin-poin yang disetujui atau yang tidak disetujui atas RUU KPK, saya berpikir inilah sikap tegas Presiden pilihan rakyat," ujarnya. (Baca juga: Jokowi Teken Surpres Revisi UU KPK dan Sudah Dikirim ke DPR )
Namun pandangan Fauzan ini berubah. Ini karena pada 26 September 2019 Presiden mengundang beberapa tokoh untuk mendiskusikan kondisi bangsa terkini. Terutama terkait maraknya aksi unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah yang menolak beberapa RUU, termasuk revisi UU KPK. Padahal revisi UU KPK telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dengan DPR.
"(Pertemuan dengan para tokoh) berakhir dengan adanya tiga opsi pilihan terkait dengan revisi UU KPK yakni melalui legislative review, judicial review dan mengeluarkan Perppu. Presiden memberikan keterangan akan mempertimbangkan dan mengkalkulasi kemungkinan diterbitkannya Perppu. Padahal konon revisi UU KPK tinggal menunggu penomoran dari Kementerian Hukum dan HAM," ungkap Fauzan. (Baca juga: Menkumham: Presiden Setuju Revisi UU KPK Disahkan )
Menurut Fauzan, jika ada ketidaksetujuan atas materi muatan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sesuai tradisi ketatanegaraan pascaamandemen, yakni melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, hal itu perlu terus dikembangkan karena merupakan salah satu bentuk penghormatan atas kesepakatan kelembagaan yang telah dilakukan antara Presiden dengan DPR dalam pembentukan UU. (Baca juga: Usai Bertemu Tokoh, Jokowi Pertimbangkan Keluarkan Perppu KPK )
Karenanya, Fauzan berharap, pihak-pihak yang tidak sepakat dengan revisi UU KPK agar menempuh judicial review. Hal itu untuk mendidik masyarakat agar menempuh jalur hukum yang konstitusional. "Alangkah tidak atau kurang elok sebuah kesepakatan bersama dengan mudah dianulir sendiri oleh salah satu pihak, dengan cara mengeluarkan Perppu," tandasnya.
Fauzan mengakui Presiden memiliki hak untuk mengeluarkan Perppu. "Itu adalah kewenangan Presiden dan konstitutional. Tetapi saya hanya ingin Presiden konsisten dengan yang telah disampaikan pada konpres yang pertama," tandasnya guru besar Unsoed ke-57 itu.
(poe)