DPR-Pemerintah Diragukan Bakal Revisi Undang-undang Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Desakan untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) Pilkada terus muncul dari penyelenggara maupun masyarakat sipil. Namun DPR dan pemerintah diragukan akan melakukan revisi tersebut.
“Kalau saya merasa pesimis mereka akan lakukan revisi. Kalau melihat kondisi saat ini. Apalagi Pilkada 2020 akan segera dimulai tahapannya,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng saat dihubungi, kemarin. Dia mengatakan DPR saat ini masih fokus pada konsolidasi internal dan pembentukan alat kelengkapan.
Sementara di sisi pemerintah juga nampaknya bakal terfokus pada pergantian kabinet baru. “Pemerintah juga saat ini masih sebatas melakukan evaluasi-evaluasi penyelenggaraan sevelumnya. Belum sampai pada penyusunan draf. Padahal sebenarnya dibanding DPR, pemerintah paling memungkinkan menginisiasi revisi. Tapi sekali lagi jika melihat momentumnya memang seperti tidak menjadi prioritas,” tuturnya.
Endi menilai sebenarnya revisi UU Pilkada memiliki urgensi dalam meningkatkan kualitas demokrasi. Apalagi jika mengingat tahun 2020 merupakan penyelenggaraan pilkada terakhir sebelum serentak nasional 2024.
“Beberapa item memang perlu direvisi. Seperti keberadaan panwasu apakah sama saat penyelenggaraan pemilu. Sellain itu yang didorong KPU maupun masyarakat sipil adalah terkait syarat pencalonan untuk mencegah napi korupsi ikut dalam kontestasi,” ujarnya.
Lebih lanjut Endi menyebut bahwa tanpa revisi tentu saja pilkada tetap berjalan. Akan tetapi pilkada di 270 daerah tersebut hanya akan berjalan secara prosedural. “Secara prosedural akan jalan saja. Tapi secara subtansi demokrasi tidak akan tercapai. Seperti syarat pencalonan tidak akan terakomodir. Padahal kita berharap setiap pilkada ada peningkatan bukan hanya rutinitas,” ungkapnya.
Melihat kondisi ini, Endi menilai KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara terus mendorong agar DPR dan Pemerintah untuk melakukan revisi. Bahkan saat pembahasan pun penyelenggara perlu dilibatkan. “Penyelenggara harus aktif mendorong bahwa revisi penting. Nantinya saat pembahasan juga perlu diterlibat karena penyelenggara tahu kondisi di lapangan,” katanya.
Sementara itu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengaku sampai saat ini belum diputuskan siapa yang akan menginisiasi revisi. Namun dia menyebut bahwa revisi harus masuk prioritas. “Belum. Tapi masuk rekomendasi. Semoga DPR juga masuk ke prolegnas. Pemerintah, Kemenkumham dan Kemenkumhan sudah sinkron. Kalau kita ingin terus meningkatkan kualitas konsoldiasi dmeokrasi ke depan,” ungkapnya.
Ditanyakan apakah pemerintah tidak berencana menginisiasi revisi, dia mengatakan bahwa saat ini masih dilakukan evaluasi. Selain itu juga masih terus dilakukan sinkronisasi dengan UU yang lain.
“Kesimpulan terakhir kami, KPU, Bawaslu, DKPP dan Komisi II DPR, salah satu rekomendasinya adalah ada usul untuk mensinkronkan kembali UU Pilkada, UU pemilu, dan UU parpol,” ujarnya. Pada Agustus lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam pertemuan tersebut, Bawaslu meminta agar pemerintah melakukan revisi terbatas terhadap Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
"Kami melihat bahwa regulasi pilkada UU ada yang menurut kami perlu dilakukan revisi terbatas. Terkait nomenklatur kelembagaan dan juga pasal-pasal yang barangkali kurang efektif untuk bisa dilakukan revisi," kata Ketua Bawaslu Abhan. Dia menyebut salah satu hal yang perlu direvisi dalam UU Pilkada adalah berkaitan syarat calon kepala daerah. Teruma calon kepala daerah yang berstatus napi koruptor.
"Tidak cukup dengan PKPU. Karena kalau PKPU nanti, norma undang-undangnya masih membolehkan, nanti jadi masalah kembali. Seperti pengalaman saat di Pileg tahun 2019. ketika PKPU mengatur napi koruptor, kemudian diuji di MA, dan ditolak. Lha itu jangan sampai terulang,” pungkasnya.
“Kalau saya merasa pesimis mereka akan lakukan revisi. Kalau melihat kondisi saat ini. Apalagi Pilkada 2020 akan segera dimulai tahapannya,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng saat dihubungi, kemarin. Dia mengatakan DPR saat ini masih fokus pada konsolidasi internal dan pembentukan alat kelengkapan.
Sementara di sisi pemerintah juga nampaknya bakal terfokus pada pergantian kabinet baru. “Pemerintah juga saat ini masih sebatas melakukan evaluasi-evaluasi penyelenggaraan sevelumnya. Belum sampai pada penyusunan draf. Padahal sebenarnya dibanding DPR, pemerintah paling memungkinkan menginisiasi revisi. Tapi sekali lagi jika melihat momentumnya memang seperti tidak menjadi prioritas,” tuturnya.
Endi menilai sebenarnya revisi UU Pilkada memiliki urgensi dalam meningkatkan kualitas demokrasi. Apalagi jika mengingat tahun 2020 merupakan penyelenggaraan pilkada terakhir sebelum serentak nasional 2024.
“Beberapa item memang perlu direvisi. Seperti keberadaan panwasu apakah sama saat penyelenggaraan pemilu. Sellain itu yang didorong KPU maupun masyarakat sipil adalah terkait syarat pencalonan untuk mencegah napi korupsi ikut dalam kontestasi,” ujarnya.
Lebih lanjut Endi menyebut bahwa tanpa revisi tentu saja pilkada tetap berjalan. Akan tetapi pilkada di 270 daerah tersebut hanya akan berjalan secara prosedural. “Secara prosedural akan jalan saja. Tapi secara subtansi demokrasi tidak akan tercapai. Seperti syarat pencalonan tidak akan terakomodir. Padahal kita berharap setiap pilkada ada peningkatan bukan hanya rutinitas,” ungkapnya.
Melihat kondisi ini, Endi menilai KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara terus mendorong agar DPR dan Pemerintah untuk melakukan revisi. Bahkan saat pembahasan pun penyelenggara perlu dilibatkan. “Penyelenggara harus aktif mendorong bahwa revisi penting. Nantinya saat pembahasan juga perlu diterlibat karena penyelenggara tahu kondisi di lapangan,” katanya.
Sementara itu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengaku sampai saat ini belum diputuskan siapa yang akan menginisiasi revisi. Namun dia menyebut bahwa revisi harus masuk prioritas. “Belum. Tapi masuk rekomendasi. Semoga DPR juga masuk ke prolegnas. Pemerintah, Kemenkumham dan Kemenkumhan sudah sinkron. Kalau kita ingin terus meningkatkan kualitas konsoldiasi dmeokrasi ke depan,” ungkapnya.
Ditanyakan apakah pemerintah tidak berencana menginisiasi revisi, dia mengatakan bahwa saat ini masih dilakukan evaluasi. Selain itu juga masih terus dilakukan sinkronisasi dengan UU yang lain.
“Kesimpulan terakhir kami, KPU, Bawaslu, DKPP dan Komisi II DPR, salah satu rekomendasinya adalah ada usul untuk mensinkronkan kembali UU Pilkada, UU pemilu, dan UU parpol,” ujarnya. Pada Agustus lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam pertemuan tersebut, Bawaslu meminta agar pemerintah melakukan revisi terbatas terhadap Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
"Kami melihat bahwa regulasi pilkada UU ada yang menurut kami perlu dilakukan revisi terbatas. Terkait nomenklatur kelembagaan dan juga pasal-pasal yang barangkali kurang efektif untuk bisa dilakukan revisi," kata Ketua Bawaslu Abhan. Dia menyebut salah satu hal yang perlu direvisi dalam UU Pilkada adalah berkaitan syarat calon kepala daerah. Teruma calon kepala daerah yang berstatus napi koruptor.
"Tidak cukup dengan PKPU. Karena kalau PKPU nanti, norma undang-undangnya masih membolehkan, nanti jadi masalah kembali. Seperti pengalaman saat di Pileg tahun 2019. ketika PKPU mengatur napi koruptor, kemudian diuji di MA, dan ditolak. Lha itu jangan sampai terulang,” pungkasnya.
(don)