Dilema Pajak Ekonomi Digital
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dosen dan Guru Besar FEB Universitas Brawijaya
FUNGSI pajak sangat vital dan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan umum, pengaturan ekonomi, pemerataan pendapat, dan peningkatan pembangunan. Hal itu menyebabkan setiap negara menghendaki agar pemungutan pajak dapat terlaksana dengan baik. Apalagi penerimaan negara dari sektor pajak menjadi salah satu indikator kunci keberhasilan pemerintah.
Dalam pemungutan pajak patut diperhatikan mengenai ketelitian dan kebenaran administrasi dan fiskus (aparatur pajak). Hal ini berkaitan dengan munculnya ketidakpuasan dari wajib pajak yang tidak mau menerima tindakan fiskus sehingga menimbulkan sengketa antara wajib pajak dan fiskus.
Sengketa pajak sangat terbuka mengingat wajib pajak sering berpendapat untuk mengupayakan membayar pajak dengan sekecil mungkin bahkan menghindar diri dari kewajiban untuk membayar pajak, sedangkan fiskus sebagai pemungut dibebani pemasukan negara dari pajak yang sangat besar.
Para peneliti di bidang perpajakan telah menaruh perhatian besar pada pemikiran klasik tentang keadilan di bidang perpajakan, antara lain dipengaruhi pemikiran Adam Smith di abad ke-18 dan Richard Musgrave di abad ke-20. Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) antara lain menyatakan suatu sistem perpajakan yang baik harus memenuhi kriteria yang dikenal sebagai canons of taxation, yang terdiri atas empat kriteria yang dikenal sebagai four criteria for a good tax, yaitu equality, convenient, certainty, dan economy.
Pajak Ekonomi Digital
Munculnya on demand-service (seperti transportasi online), financial technology (fintech), hingga jual-beli online (e-commerce) merupakan berbagai kegiatan ekonomi berbasis digital yang mampu mengakomodasi dinamika kegiatan ekonomi masyarakat di masa kini.
Tak hanya itu, cara pembayaran yang lebih mudah dan cepat pun kini banyak ditawarkan. Sistem pembayaran cash on delivery, virtual account hingga berbagai pembayaran lewat perusahaan fintech telah mendorong bisnis e-commerce terus berkembang pesat.
Indonesia sendiri menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan transaksi digital terbesar setelah China dan India. Posisi ketiga tersebut tak lepas dari fakta bahwa terdapat sekitar 170 juta pengguna internet aktif di Indonesia (Kontan, 2019).
BPS menunjukkan pada tahun 2015, sektor ini mampu berkontribusi sebesar 7,2% terhadap total PDB sebesar Rp225 triliun dan tumbuh 10% setiap tahun (yoy). Bahkan, pada tahun 2016 bila dibandingkan dengan India sebagai negara yang juga mengalami perkembangan pesat dalam transaksi online, pertumbuhan penjualan Business to Consumers dalam e-commerce Indonesia berada di atas India dan China sekaligus di mana angka pertumbuhan penjualan transaksi online Indonesia sebesar 22%, India 18,3%, dan China 16,6% (INDEF, 2018).
Tak hanya itu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa ekonomi digital pada 2018 mencapai sekitar USD27 miliar atau sekitar Rp391 triliun. Sekitar 49% transaksi digital di Asia Tenggara terjadi di Indonesia.
Peningkatan e-commerce di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya jumlah pengusaha dan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Tanah Air. Adanya transformasi aktivitas ekonomi masyarakat yang melibatkan transaksi perdagangan di dalamnya, maka pemerintah dituntut untuk mampu menjawab tantangan baru yang dihadapi terkait pajak terhadap ekonomi digital.
Kegiatan ekonomi digital sangat berbeda dengan kegiatan ekonomi konvensional yang ada selama ini. Oleh sebab itu pemerintah diharapkan dapat memberikan regulasi yang adil, kompetitif, memberi kepastian hukum, memudahkan kepatuhan pajak dan miliki sistem yang baik di era ekonomi digital kini.
Belum lama ini Kementerian Keuangan telah mengeluarkan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut diperuntukkan bagi para pelaku e-commerce di Indonesia, termasuk pembuat konten di media sosial (selebgram) dan youtuber.
Sayangnya, regulasi pajak tersebut masih memiliki berbagai permasalahan dari mulai kompleksitas karakteristik ekonomi digital, belum terciptanya level playing field antara platform transaksi formal dan informal, hingga masih kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Sampai pada akhirnya, PMK 210 dicabut sebelum diberlakukan. Oleh sebab itu, hingga kini ekonomi digital masih belum memiliki koridor hukum yang jelas.
Semakin pesatnya perkembangan teknologi di berbagai negara menyebabkan permasalahan regulasi perpajakan terhadap ekonomi digital menjadi tantangan yang dihadapi oleh hampir semua negara di dunia. Bahkan, permasalahan pajak lintas negara juga hingga kini masih menjadi concern berbagai negara di dunia.
Banyak negara sedang mengkaji aturan baku mengenai pajak digital. Beberapa negara yang tergabung dalam OECD (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan) selama ini mengalami kesulitan untuk memungut pajak dari pelaku bisnis digital dan perusahaan e-commerce dengan skala internasional karena terhalang perjanjian pajak dengan negara lain (tax treaty).
Beberapa negara yang telah menerapkan regulasi untuk mengatur pajak terhadap e-commerce di antaranya adalah India. Negara tersebut telah menerapkan skema equalization levy rules (EQL) yang merupakan pajak yang berada di luar lingkup pajak penghasilan yang dipungut atas imbalan yang diterima atau seharusnya diterima atas jasa-jasa tertentu yang diatur pada peraturan EQL.
Selanjutnya, EQL dikenakan terhadap pembayaran dari Subyek Pajak Dalam Negeri (SPDN) kepada Subyek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang memenuhi ambang batas. Namun, skema ini memiliki kelemahan. Hal ini karena EQL masuk di dalam kategori penerimaan negara bukan pajak (PNBP) (Az'mi, 2019).
Negara lain yang juga telah menerapkan pajak untuk e-commerce ialah Australia, Inggris, Korea Selatan, dan China. Australia dan Inggris telah menerapkan diverted provit tax (DPT) terhadap perusahaan SPLN masing-masing di Australia sebesar 10% terhadap jumlah laba yang dianggap telah dialihkan SPLN, dan di Inggris sebesar 19% dari keuntungan yang dialihkan (diverted profits) oleh perusahaan.
Selanjutnya Korea Selatan dan China menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) yang masing-masing di Korea Selatan sebesar 10% dari nilai transaksi dan di China sebesar 2% (selama sekian tahun) lalu menjadi 5% (dalam sekian periode) dari nilai transaksi.
Menata sistem pajak di era ekonomi digital memang bukan hal yang mudah. Namun semakin pesatnya pergeseran aktivitas ekonomi menuju ekonomi digital juga menuntut pemerintah untuk segera merumuskan sistem perpajakan yang tepat untuk transaksi online.
Mengingat transaksi online masih memiliki kompleksitas permasalahan yang cukup tinggi dari berbagai sisi, dalam perumusannya pemerintah perlu mengajak pihak terkait agar menghasilkan kebijakan yang komprehensif dan tersinkronisasi. Adapun kementerian dan lembaga-lembaga tersebut di antaranya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian Koperasi dan UKM, Pos Indonesia, Asperindo, IdEA, dan lain-lain.
Untuk itu, kita perlu menunggu gebrakan kabinet baru yang akan di bentuk dalam beberapa minggu ke depan di periode II Presiden Joko Widodo (Jokowi). Perlu kebijakan yang tidak biasa (breakthrough) agar menghasilkan kebijakan perpajakan yang efektif dan efisien untuk menghasilkan kinerja perpajakan yang lebih baik lagi dan tentu secara paralel capaian pembangunan yang lebih baik lagi. Wallahua'lam.
Dosen dan Guru Besar FEB Universitas Brawijaya
FUNGSI pajak sangat vital dan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan umum, pengaturan ekonomi, pemerataan pendapat, dan peningkatan pembangunan. Hal itu menyebabkan setiap negara menghendaki agar pemungutan pajak dapat terlaksana dengan baik. Apalagi penerimaan negara dari sektor pajak menjadi salah satu indikator kunci keberhasilan pemerintah.
Dalam pemungutan pajak patut diperhatikan mengenai ketelitian dan kebenaran administrasi dan fiskus (aparatur pajak). Hal ini berkaitan dengan munculnya ketidakpuasan dari wajib pajak yang tidak mau menerima tindakan fiskus sehingga menimbulkan sengketa antara wajib pajak dan fiskus.
Sengketa pajak sangat terbuka mengingat wajib pajak sering berpendapat untuk mengupayakan membayar pajak dengan sekecil mungkin bahkan menghindar diri dari kewajiban untuk membayar pajak, sedangkan fiskus sebagai pemungut dibebani pemasukan negara dari pajak yang sangat besar.
Para peneliti di bidang perpajakan telah menaruh perhatian besar pada pemikiran klasik tentang keadilan di bidang perpajakan, antara lain dipengaruhi pemikiran Adam Smith di abad ke-18 dan Richard Musgrave di abad ke-20. Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) antara lain menyatakan suatu sistem perpajakan yang baik harus memenuhi kriteria yang dikenal sebagai canons of taxation, yang terdiri atas empat kriteria yang dikenal sebagai four criteria for a good tax, yaitu equality, convenient, certainty, dan economy.
Pajak Ekonomi Digital
Munculnya on demand-service (seperti transportasi online), financial technology (fintech), hingga jual-beli online (e-commerce) merupakan berbagai kegiatan ekonomi berbasis digital yang mampu mengakomodasi dinamika kegiatan ekonomi masyarakat di masa kini.
Tak hanya itu, cara pembayaran yang lebih mudah dan cepat pun kini banyak ditawarkan. Sistem pembayaran cash on delivery, virtual account hingga berbagai pembayaran lewat perusahaan fintech telah mendorong bisnis e-commerce terus berkembang pesat.
Indonesia sendiri menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan transaksi digital terbesar setelah China dan India. Posisi ketiga tersebut tak lepas dari fakta bahwa terdapat sekitar 170 juta pengguna internet aktif di Indonesia (Kontan, 2019).
BPS menunjukkan pada tahun 2015, sektor ini mampu berkontribusi sebesar 7,2% terhadap total PDB sebesar Rp225 triliun dan tumbuh 10% setiap tahun (yoy). Bahkan, pada tahun 2016 bila dibandingkan dengan India sebagai negara yang juga mengalami perkembangan pesat dalam transaksi online, pertumbuhan penjualan Business to Consumers dalam e-commerce Indonesia berada di atas India dan China sekaligus di mana angka pertumbuhan penjualan transaksi online Indonesia sebesar 22%, India 18,3%, dan China 16,6% (INDEF, 2018).
Tak hanya itu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa ekonomi digital pada 2018 mencapai sekitar USD27 miliar atau sekitar Rp391 triliun. Sekitar 49% transaksi digital di Asia Tenggara terjadi di Indonesia.
Peningkatan e-commerce di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya jumlah pengusaha dan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Tanah Air. Adanya transformasi aktivitas ekonomi masyarakat yang melibatkan transaksi perdagangan di dalamnya, maka pemerintah dituntut untuk mampu menjawab tantangan baru yang dihadapi terkait pajak terhadap ekonomi digital.
Kegiatan ekonomi digital sangat berbeda dengan kegiatan ekonomi konvensional yang ada selama ini. Oleh sebab itu pemerintah diharapkan dapat memberikan regulasi yang adil, kompetitif, memberi kepastian hukum, memudahkan kepatuhan pajak dan miliki sistem yang baik di era ekonomi digital kini.
Belum lama ini Kementerian Keuangan telah mengeluarkan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut diperuntukkan bagi para pelaku e-commerce di Indonesia, termasuk pembuat konten di media sosial (selebgram) dan youtuber.
Sayangnya, regulasi pajak tersebut masih memiliki berbagai permasalahan dari mulai kompleksitas karakteristik ekonomi digital, belum terciptanya level playing field antara platform transaksi formal dan informal, hingga masih kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Sampai pada akhirnya, PMK 210 dicabut sebelum diberlakukan. Oleh sebab itu, hingga kini ekonomi digital masih belum memiliki koridor hukum yang jelas.
Semakin pesatnya perkembangan teknologi di berbagai negara menyebabkan permasalahan regulasi perpajakan terhadap ekonomi digital menjadi tantangan yang dihadapi oleh hampir semua negara di dunia. Bahkan, permasalahan pajak lintas negara juga hingga kini masih menjadi concern berbagai negara di dunia.
Banyak negara sedang mengkaji aturan baku mengenai pajak digital. Beberapa negara yang tergabung dalam OECD (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan) selama ini mengalami kesulitan untuk memungut pajak dari pelaku bisnis digital dan perusahaan e-commerce dengan skala internasional karena terhalang perjanjian pajak dengan negara lain (tax treaty).
Beberapa negara yang telah menerapkan regulasi untuk mengatur pajak terhadap e-commerce di antaranya adalah India. Negara tersebut telah menerapkan skema equalization levy rules (EQL) yang merupakan pajak yang berada di luar lingkup pajak penghasilan yang dipungut atas imbalan yang diterima atau seharusnya diterima atas jasa-jasa tertentu yang diatur pada peraturan EQL.
Selanjutnya, EQL dikenakan terhadap pembayaran dari Subyek Pajak Dalam Negeri (SPDN) kepada Subyek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang memenuhi ambang batas. Namun, skema ini memiliki kelemahan. Hal ini karena EQL masuk di dalam kategori penerimaan negara bukan pajak (PNBP) (Az'mi, 2019).
Negara lain yang juga telah menerapkan pajak untuk e-commerce ialah Australia, Inggris, Korea Selatan, dan China. Australia dan Inggris telah menerapkan diverted provit tax (DPT) terhadap perusahaan SPLN masing-masing di Australia sebesar 10% terhadap jumlah laba yang dianggap telah dialihkan SPLN, dan di Inggris sebesar 19% dari keuntungan yang dialihkan (diverted profits) oleh perusahaan.
Selanjutnya Korea Selatan dan China menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) yang masing-masing di Korea Selatan sebesar 10% dari nilai transaksi dan di China sebesar 2% (selama sekian tahun) lalu menjadi 5% (dalam sekian periode) dari nilai transaksi.
Menata sistem pajak di era ekonomi digital memang bukan hal yang mudah. Namun semakin pesatnya pergeseran aktivitas ekonomi menuju ekonomi digital juga menuntut pemerintah untuk segera merumuskan sistem perpajakan yang tepat untuk transaksi online.
Mengingat transaksi online masih memiliki kompleksitas permasalahan yang cukup tinggi dari berbagai sisi, dalam perumusannya pemerintah perlu mengajak pihak terkait agar menghasilkan kebijakan yang komprehensif dan tersinkronisasi. Adapun kementerian dan lembaga-lembaga tersebut di antaranya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian Koperasi dan UKM, Pos Indonesia, Asperindo, IdEA, dan lain-lain.
Untuk itu, kita perlu menunggu gebrakan kabinet baru yang akan di bentuk dalam beberapa minggu ke depan di periode II Presiden Joko Widodo (Jokowi). Perlu kebijakan yang tidak biasa (breakthrough) agar menghasilkan kebijakan perpajakan yang efektif dan efisien untuk menghasilkan kinerja perpajakan yang lebih baik lagi dan tentu secara paralel capaian pembangunan yang lebih baik lagi. Wallahua'lam.
(poe)