KPK: Dewan Pengawas dan Pro Justitia

Kamis, 03 Oktober 2019 - 05:36 WIB
KPK: Dewan Pengawas dan Pro Justitia
KPK: Dewan Pengawas dan Pro Justitia
A A A
Indriyanto Seno Adji Guru Besar Hukum Pidana/Pengajar Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum FHUI

SEJAK kelahirannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi trigger mechanism institusi independen yang dapat memberdaya atas skeptisme publik terhadap lemahnya penegakan hukum terhadap korupsi. KPK memiliki sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan luar biasa (extra ordinary power ) yang berlainan dengan institusi penegak hukum yang lain.

KPK memiliki kewenangan mendasar sebagai front-gate eksistensinya, yaitu pada tahap penyelidikan untuk menemukan bukti permulaan yang cukup yang ditentukan sekurang-kurangnya dua alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik, juga bisa meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka (tanpa izin Bank Indonesia), menyadap/merekam pembicaraan dari perkembangan sistem dan lainnya.

Penegakan hukum atas masalah korupsi akan selalu menjadi bahasan dan ukuran untuk menentukan serius atau tidak suatu lembaga negara maupun lembaga penegak hukum dalam menangani korupsi tersebut. Kadangkala langkah kebijakan negara menimbulkan gerak kontroversi hukum. Karena itu, kontroversi penegakan hukum di Indonesia ini memang menjadi unik dan menarik, apalagi kalau berkaitan dengan KPK.

Demokrasi dan Fungsi Pengawasan

Sistem demokrasi dan penegakan hukum perlu memperhatikan orientasi balanced of interest di antara tiga pilarnya, yaitu masyarakat, negara, dan penegak hukum. Eksistensi tiga pilar itu memiliki fungsi pengawasan melalui pola checks and balances dari sistem demokrasi modern yang mengakui ada pola distribution of power , bukan separation of power , untuk memperoleh hasil akhir berupa penegakan hukum yang adil dan sejati, pula sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban kekuasaan luas lembaga penegak hukum itu sendiri.

Tujuan penegakan hukum bukan menimbulkan disintegrasi di antara lembaga penegak hukum, tetapi bagaimana memaksimalkan penegakan hukum yang nondiskriminatif. Selain itu, independensi proses penegakan hukum merupakan wacana yang bersifat imperatif. Harus diakui bahwa akan menjadi sulit bagi Polri dan Kejaksaan untuk memaksimalkan pemberantasan korupsi selama independensi dalam konteks limitatif masih dalam anggapan dan status subordinasi kekuasaan lembaga penegak hukum lainnya, yang akan menimbulkan kesan ada kekuasaan otoritarian yang permisif. Gangguan, serangan, dan intervensi terhadap institusi penegak hukum hadir begitu kuat. Pola intervensi pun dikemas dalam bentuk independensi semu seperti penempatan lembaga penegak hukum yang menjadi subordinasi kekuasaan, yang semua ini memberi arah, seolah ada justifikasi yang berlindung di balik prinsip legalitas subordinasi.

Politik Korupsi dan Independensi Kelembagaan

Dalam pemahaman yang demikian, gangguan kelembagaan terhadap eksistensi KPK merupakan sesuatu yang disikapi dengan inkonsistensi politik terhadap KPK. Perlu diperhatikan beberapa pendekatan antisipasi perspektif korupsi, khususnya polemik, usaha, dan perbedaan persepsi dari metode penguatan dan pelemahan kelembagaan KPK. Antara lain, pertama, misalnya ada dan tidak kebutuhan Dewan Pengawas meskipun pro-kontra ini seharusnya sudah menjadi bagian dari pengesahan revisi UU KPK antara (inisiatif) DPR dan pemerintah, dan kedua, soal apakah Dewan Pengawas memiliki otoritas pada pengawasan terhadap persoalan teknis pro justitia .

Keberadaan Dewan Pengawas menjadi polemik terkait revisi UU KPK. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa sistem demokrasi dan penegakan hukum perlu memperhatikan orientasi balanced of interest di antara tiga pilarnya, yaitu masyarakat, negara, dan penegak hukum yang eksistensi tiga pilar itu memiliki fungsi pengawasan melalui pola checks and balances untuk memperoleh hasil akhir berupa penegakan hukum yang adil dan sejati, pula sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban kekuasaan yang luas dari lembaga penegak hukum itu sendiri.

Dalam memperhatikan facet demokrasi antara hukum pidana dengan hukum tata negara, dikatakan oleh Prof James Q Wilson (UCLA dan dosen Harvard Law School) bahwa separation of power sebagai istilah menyesatkan dan mengandung definisi tirani. Karena itu, separation of power diartikan separation institution for sharing of power yang dipahami secara paralel sebagai distribution of power . Dalam pemahaman demikian, facet interdisipliner hukum pidana dengan hukum tata negara ini sudah meninggalkan paham separation of power yang dianggap kaku dan tidak mengenal checks and balances sebagai basis fungsi pengawasan.

Di satu sisi, kritik konstruktif maupun destruktif dari masyarakat sebagai pilar pengawasan kinerja kelembagaan KPK terkait tindakan upaya paksa (dwang middelen atau coercive force ) seperti penggeledahan, penyitaan, maupun penyadapan atau SP3 dari KPK sebagai sesuatu kebutuhan yang wajar. Sementara di sisi lain, KPK mendapat apresiasi kontroversi akibat operasi tangkap tangan (OTT) terhadap anggota eksekutif, yudikatif, legislatif, maupun lembaga negara. Karena itu, marwah dan front-gate KPK pada proses penyelidikan sebagai kewenangan khusus adalah esensial.

Berdasarkan evaluasi dan implementasi praktik regulasinya, keberadaan Dewan Pengawas ini untuk memperkuat kelemahan sistem penindakan KPK pada sistem peradilan pidana yang ada, khususnya terhadap pelaksanaan dwang middelen atau coercive force atau upaya paksa. Misal saja kasus Hakim Syafruddin yang dikabulkan gugatannya terhadap KPK dan lembaga tersebut dihukum membayar Rp100 juta karena terbukti melakukan perbuatan melawan hukum atas penyitaan yang berkelebihan. Atau, beberapa kekalahan KPK atas putusan permohonan praperadilan dari tersangka, dan ini menegaskan bahwa ada penyimpangan atas proses upaya paksa, baik itu proses penggeledahan, penyitaan, cara perolehan minimum dua alat bukti, penetapan tersangka, dan lain-lain.

Evaluasi dan implementasi praktik ini hanya ingin menjelaskan bahwa ada kelemahan atau kekurangan terhadap pengawasan internal ajudikasi, baik Kedeputiaan Pengawas Internal, juga jenjang struktur vertikal kelembagaan KPK, pengawasan atas ekspose pleno di tingkat rapim, bahkan ekstra ajudikasi melalui proses praperadilan. Semua ini menunjukkan ada kelemahan pada sistem pengawasan yang ada. Karena itu, keberadaan Dewan Pengawas adalah suatu kebutuhan yang wajar saja.

Kedua , kewenangan Dewan Pengawas kaitan dengan teknis pro justitia juga menjadi masalah. Perlu diperhatikan bahwa kewenangan khusus yang luar biasa memang menjadi basis kelembagaan KPK antara lain terkait Pasal 12 dan Pasal 44 UU KPK yang sampai sekarang tetap dipertahankan pada revisi UU KPK. Pasal 44 UU KPK ini adalah marwah penindakan yang menempatkan KPK berbasis kewenangan luar biasa, dalam tahap penyelidikan, yaitu berwenang memperoleh bukti permulaan yang cukup dengan minimum dua alat bukti.

Tahapan ini dikenal sebagai " Quasi Inquary " , suatu amanat dari paham Anglo Saxon (Common Law System) yang diterima dan diadopsi bagi civil law , yaitu yang membenarkan bahwa suatu tahap penyelidikan (inquiry ) dalam bagian seutuhnya dari penyidikan (investigation ) yang karenanya membenarkan penyelidik menemukan bukti permulaan cukup dengan minimum dua alat bukti. Dan, tahap penyelidikan sebagai " front gate " inilah KPK dengan kewenangan penyadapan dapat mengembangkan peroleh dua alat bukti tersebut yang ditindaklanjuti dengan OTT.

Penyadapan KPK berdasarkan suatu legal by regulated yang tetap ada suatu pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan tersebut dan sekaligus memberikan legitimasi kewajiban evaluasi atas tindakan ini. Dan, tentunya berlainan dengan penyadapan yang didasarkan legal by court order dengan kewajiban memerlukan izin pengadilan. Penyadapan dengan izin pengadilan adalah di luar basis kewenangan KPK yang didasarkan legal by regulated , bukan dan tidak menghendaki legal by court order .

Masalah izin dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan/merekam pembicaraan, penggeledahan, penyitaan, pemberian SP3 ini merupakan pola facet hukum pidana dan hukum tata negara berdasarkan distribution of power dalam sistem peradilan pidana, di mana selalu ada facet antara tugas-tugas teknis pro justitia kepada otoritas pengawasan. Pendekatan distribution of power di antara tiga pilar kekuasaan demokrasi juga diakui. Misalnya saja, Mahkamah Agung (yudikatif) memiliki otoritas menerbitkan PERMA/SEMA sebagai produk legislatif, atau presiden (eksekutif) memiliki otoritas pemberian grasi sebagai produk yudikatif. Begitu pula, facet hukum perdata dengan hukum tata negara, adanya teknis operasional yang memerlukan izin dari Dewan Komisaris, misalnya keputusan Dewan Direksi untuk melakukan pelepasan atau membeli aset perusahaan atau memerlukan pinjaman utang, maka Dewan Direksi memerlukan izin dari Dewan Komisaris sebagai pengawas atas teknis operasional perusahaan.

Di sini ingin dijelaskan bahwa facet hukum pidana dan hukum tata negara terkait sistem peradilan pidana, khususnya pengawasan terhadap upaya paksa, sudah tidak mengenal separation of power , yakni suatu pemisahan secara absolut yang tidak mengenal checks and balances system di antara tiga pilar kekuasaan. Tetapi, justru menempatkan basis distribution of power yang mengenal kontribusi kewenangan di antara kekuasaan kelembagaan dengan memberikan basis perkuatan fungsi kewenangan melalui checks and balances system agar terhindar dari ada abuse of power dari kekuasaan yang besar. Pola distribusi kewenangan ini bukanlah konsep pelemahan, tetapi legitimasi penguatan terhadap sistem pengawasan dari suatu kekuasaan yang luas dan luar biasa.

Kehendak implementasi model due process of law terkait distribution of power memang sering mengalami kendala sebagai persepsi yang sesat (misleading perception ) karena pemberantasan korupsi adalah rentan dengan eratnya intervensi kekuasaan dan political interest dalam proses penegakan hukum. Karena itu, perilaku kekuasaan haruslah memaknai adagium: politics are adopted by the laws, not laws to the politics . Ini untuk menghindari ada suatu kewenangan hukum yang eksesif.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4503 seconds (0.1#10.140)