Harapan (Semu) DPR Baru
A
A
A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SEBANYAK 575 anggota DPR RI 2019-2024 terpilih siap dilantik. Dari jumlah tersebut, sebanyak 298 orang atau 50,26% merupakan petahana dan sisanya 286 orang atau 49,74% merupakan wajah baru. Selain itu di hari yang sama akan dilantik 136 anggota DPD RI yang mewakili 34 daerah pemilihan. Hanya 44 orang atau 32,35% yang berstatus petahana. Selebihnya, 92 anggota atau 67,65% adalah wajah baru yang tidak ada di periode lalu. Begitulah sirkulasi elite lima tahunan berlangsung. Ada yang datang dan pergi, ada pula harapan meski tak pernah tinggi.
Potret Buram
DPR periode 2014-2019 masih jadi potret buram wakil rakyat. Peran dan fungsinya tak pernah optimal. Baik dari sisi kinerja bidang legislasi, penganggaran (budgeting ) maupun kontrol. Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, anggaran DPR RI periode 2014-2019 meningkat setiap tahun. Pada 2019, anggaran DPR diproyeksikan mencapai Rp4,61 triliun. Angka tersebut meningkat sedikit 0,19% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp4,6 triliun. Peningkatan tertinggi terlihat pada 2017 yang mencapai 13,17% dari Rp3,7 triliun menjadi Rp 4,2 triliun.
Peningkatan anggaran ini tidak sejalan dengan kinerja DPR RI dalam mengesahkan rancangan undang-undang (RUU). Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, anggaran DPR RI untuk fungsi legislasi pada 2015-2019 mencapai Rp1,62 triliun dengan rata-rata Rp323,4 miliar per tahun. Angka tersebut tak sejalan dengan RUU yang berhasil disahkan, yaitu hanya 26 UU sepanjang 2015-2018 di luar RUU kumulatif.
Kinerja di pengujung jabatan juga tak kunjung membaik. Tahun 2019, DPR mengesahkan hanya enam RUU. Namun menjelang akhir masa jabatannya substansi dari RUU yang dibuat justru menimbulkan polemik yang mendorong demonstrasi dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga petani, seperti Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang telah disahkan, revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pertanahan, RUU Minerba.
Kado pahit bahkan harus diterima publik saat DPR sepertinya ngotot memaksakan pengesahan UU KPK di tengah kecaman dan resistensi masyarakat yang meluas. Dampaknya bukan saja memperluas jarak komunikasi antara wakil dengan yang diwakilinya, bahkan memantik kemarahan sehingga muncul gelombang demonstrasi massa berhari-hari di banyak daerah di Nusantara.
Potret buram tersebut kian nyata saat dilakukan survei persepsi tentang kepercayaan publik terhadap lembaga negara yang dirilis Lembaga Survei Indonesia, Kamis (29/8/2019). Survei yang dilaksanakan pada 11-16 Mei 2019 menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.220 responden. Adapun margin of error 2,9% dan tingkat kepercayaan 95%. Salah satu hasilnya, DPR dan partai politik masih konsisten menempati posisi paling rendah dalam hal kepercayaan publik. Hanya 61% saja publik yang percaya dengan DPR dan di bawahnya ada partai politik dengan tingkat kepercayaan 53%. Sementara itu KPK menjadi lembaga paling dipercayai. Sebanyak 84% responden percaya kepada KPK.
Secara umum, ada gejala munculnya harapan semu saat ada sirkulasi elite di Senayan. Publik masih sulit berharap perubahan sikap, tabiat kolektif, dan perbaikan mendasar para wakil rakyat di tengah kompleksitas hubungan politik yang kerap kali bersifat transaksional. Padahal kalau mau meraba kehendak publik sebagai pemilih mandat kuasa, paling tidak ada tiga harapan utama rakyat yang seharusnya dijalankan optimal pada anggota DPR baru.
Pertama , kinerja yang maksimal dan berubah dari utopis ke realistis. Misalnya jangan memasang target program legislasi nasional (prolegnas) yang muluk-muluk kuantitasnya, tetapi tidak pernah tercapai. Lebih baik pasang target prolegnas yang benar-benar dikerjakan tuntas, bukan justru membuat manuver membahayakan dan memantik kericuhan seperti dipraktikkan di pengujung masa jabatan 2014-2019.
Kedua , memperkuat politik representasi, terutama dengan basis konstituen yang diwakilinya. Jangan terus-menerus berulang kajadian, rakyat tak mengenal atau tak merasa dekat dengan wakilnya. Politik representasi bukan dilakukan hanya menjelang pemilu dengan mengguyur pemilih lewat uang dan sejumlah alat persuasi lain. Menampung aspirasi, mengadvokasi persoalan-persoalan publik yang berkembang di dapilnya serta memastikan bahwa mereka bisa menyuarakan apa yang tak bisa disuarakan oleh rakyat kebanyakan.
Ketiga , soal integritas. Saat dilantik dan berikrar sebagai wakil rakyat, sudah seharusnya para anggota DPR meyakini, dia memiliki posisi yang sungguh penting. Waktunya harus didedikasikan untuk rakyat. Bukan sebaliknya, mereka melakukan banyak tindakan yang mencederai integritasnya seperti korupsi, menerima suap, tindak pidana pencucian uang, asusila, dan lain-lain yang kerap menjadi hiasan pemberitaan media hampir sepanjang masa.
Refleksivitas Peran
DPR dan DPD perlu melakukan perbaikan. Refleksivitas peran organisasi menjadi kebutuhan. Poole, Seibold & McPhee membuat tulisan tentang A Structuration of Group Decisions dalam R Hirokawa & MS Poole (eds.), Communicatoin and Group Decision Making (1996) yang mengulas soal refleksivitas. Konsep refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan dan perilaku mereka. Sebagian besar refleksivitas didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang. Dengan membaca masa lalu dan memperbaikinya, maka sesungguhnya bisa menatap masa depan yang jauh lebih baik.
Ada dua bentuk kesadaran yang harus muncul dan terus menerus diperbaiki. Pertama , kesadaran diskursif (discursive conciousness ) di mana DPR harus mampu membicarakan dan berkomunikasi dengan rakyat tentang apa-apa saja yang sudah semestinya diperjuangkan bersama-sama. DPR dan rakyat jangan dipisahkan oleh jurang menganga yang membuat rakyat merasa bahwa ada dan tidak adanya anggota DPR tak mengubah banyak hal. Kedua , kesadaran praktis (practical conciousness ), yakni terkait dengan komitmen niat baik (good will ) dan niat politik (political will ) para anggota DPR dan DPD untuk bekerja nyata mengoptimalkan peran dan fungsinya selama lima tahun ke depan.
Ke depan, anggota DPR, meminjam pendapat John Van Mannen dan Stephen Barley, Cultural Organization: Fragments of a Theory (1985), wajib mampu mengatur manajemen kehormatan organisasi minimal di empat domain. Domain pertama ialah ecological context yang merupakan dunia fisik, termasuk di dalamnya lokasi, waktu, dan sejarah serta konteks sosial. Lingkungan fisik MPR/DPR/DPD di Senayan sudah cukup representatif, periodisasi waktu menjabat pun sudah diatur jelas, hanya saja belum mampu menghadirkan output kinerja yang menyejarah dalam konteks sosial bangsa Indonesia kekinian. Lembaga-lembaga ini lebih banyak diramaikan perebutan posisi, kubu-kubuan dll. Hal yang harusnya diubah segera ialah penunjukan komitmen dan kehormatan sebagai wakil rakyat dan senator daerah.
Domain kedua, menyangkut jaringan atau interaksi deferensial (differential interaction ). Dalam konteks ini, MPR/DPR/DPD harus mau dan mampu memetakan interaksi mereka dengan pihak lain. Jika mereka bisa melakukan peran dan fungsi mereka dengan optimal, tidak tumpang-tindih, dan saling menguatkan di tengah perbedaan, di situlah letak kapasitas kelembagaan akan mulai dipercayai publik.
Domain ketiga dan keempat ialah pemahaman kolektif dan tindakan individual. Anggota DPR dan DPD baik pribadi maupun kolektif harus paham dan konsisten memerankan sosok wakil rakyat dan senator daerah, bukan sebaliknya memperkukuh elitisme seperti berburu kursi semata-mata. Jika tak pernah berbenah, jangan salahkan rakyat jika tak pernah menaruh penghormatan atas posisi mereka. Jikapun ada harapan, sangat mungkin semu dan transaksional.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SEBANYAK 575 anggota DPR RI 2019-2024 terpilih siap dilantik. Dari jumlah tersebut, sebanyak 298 orang atau 50,26% merupakan petahana dan sisanya 286 orang atau 49,74% merupakan wajah baru. Selain itu di hari yang sama akan dilantik 136 anggota DPD RI yang mewakili 34 daerah pemilihan. Hanya 44 orang atau 32,35% yang berstatus petahana. Selebihnya, 92 anggota atau 67,65% adalah wajah baru yang tidak ada di periode lalu. Begitulah sirkulasi elite lima tahunan berlangsung. Ada yang datang dan pergi, ada pula harapan meski tak pernah tinggi.
Potret Buram
DPR periode 2014-2019 masih jadi potret buram wakil rakyat. Peran dan fungsinya tak pernah optimal. Baik dari sisi kinerja bidang legislasi, penganggaran (budgeting ) maupun kontrol. Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, anggaran DPR RI periode 2014-2019 meningkat setiap tahun. Pada 2019, anggaran DPR diproyeksikan mencapai Rp4,61 triliun. Angka tersebut meningkat sedikit 0,19% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp4,6 triliun. Peningkatan tertinggi terlihat pada 2017 yang mencapai 13,17% dari Rp3,7 triliun menjadi Rp 4,2 triliun.
Peningkatan anggaran ini tidak sejalan dengan kinerja DPR RI dalam mengesahkan rancangan undang-undang (RUU). Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, anggaran DPR RI untuk fungsi legislasi pada 2015-2019 mencapai Rp1,62 triliun dengan rata-rata Rp323,4 miliar per tahun. Angka tersebut tak sejalan dengan RUU yang berhasil disahkan, yaitu hanya 26 UU sepanjang 2015-2018 di luar RUU kumulatif.
Kinerja di pengujung jabatan juga tak kunjung membaik. Tahun 2019, DPR mengesahkan hanya enam RUU. Namun menjelang akhir masa jabatannya substansi dari RUU yang dibuat justru menimbulkan polemik yang mendorong demonstrasi dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga petani, seperti Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang telah disahkan, revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pertanahan, RUU Minerba.
Kado pahit bahkan harus diterima publik saat DPR sepertinya ngotot memaksakan pengesahan UU KPK di tengah kecaman dan resistensi masyarakat yang meluas. Dampaknya bukan saja memperluas jarak komunikasi antara wakil dengan yang diwakilinya, bahkan memantik kemarahan sehingga muncul gelombang demonstrasi massa berhari-hari di banyak daerah di Nusantara.
Potret buram tersebut kian nyata saat dilakukan survei persepsi tentang kepercayaan publik terhadap lembaga negara yang dirilis Lembaga Survei Indonesia, Kamis (29/8/2019). Survei yang dilaksanakan pada 11-16 Mei 2019 menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.220 responden. Adapun margin of error 2,9% dan tingkat kepercayaan 95%. Salah satu hasilnya, DPR dan partai politik masih konsisten menempati posisi paling rendah dalam hal kepercayaan publik. Hanya 61% saja publik yang percaya dengan DPR dan di bawahnya ada partai politik dengan tingkat kepercayaan 53%. Sementara itu KPK menjadi lembaga paling dipercayai. Sebanyak 84% responden percaya kepada KPK.
Secara umum, ada gejala munculnya harapan semu saat ada sirkulasi elite di Senayan. Publik masih sulit berharap perubahan sikap, tabiat kolektif, dan perbaikan mendasar para wakil rakyat di tengah kompleksitas hubungan politik yang kerap kali bersifat transaksional. Padahal kalau mau meraba kehendak publik sebagai pemilih mandat kuasa, paling tidak ada tiga harapan utama rakyat yang seharusnya dijalankan optimal pada anggota DPR baru.
Pertama , kinerja yang maksimal dan berubah dari utopis ke realistis. Misalnya jangan memasang target program legislasi nasional (prolegnas) yang muluk-muluk kuantitasnya, tetapi tidak pernah tercapai. Lebih baik pasang target prolegnas yang benar-benar dikerjakan tuntas, bukan justru membuat manuver membahayakan dan memantik kericuhan seperti dipraktikkan di pengujung masa jabatan 2014-2019.
Kedua , memperkuat politik representasi, terutama dengan basis konstituen yang diwakilinya. Jangan terus-menerus berulang kajadian, rakyat tak mengenal atau tak merasa dekat dengan wakilnya. Politik representasi bukan dilakukan hanya menjelang pemilu dengan mengguyur pemilih lewat uang dan sejumlah alat persuasi lain. Menampung aspirasi, mengadvokasi persoalan-persoalan publik yang berkembang di dapilnya serta memastikan bahwa mereka bisa menyuarakan apa yang tak bisa disuarakan oleh rakyat kebanyakan.
Ketiga , soal integritas. Saat dilantik dan berikrar sebagai wakil rakyat, sudah seharusnya para anggota DPR meyakini, dia memiliki posisi yang sungguh penting. Waktunya harus didedikasikan untuk rakyat. Bukan sebaliknya, mereka melakukan banyak tindakan yang mencederai integritasnya seperti korupsi, menerima suap, tindak pidana pencucian uang, asusila, dan lain-lain yang kerap menjadi hiasan pemberitaan media hampir sepanjang masa.
Refleksivitas Peran
DPR dan DPD perlu melakukan perbaikan. Refleksivitas peran organisasi menjadi kebutuhan. Poole, Seibold & McPhee membuat tulisan tentang A Structuration of Group Decisions dalam R Hirokawa & MS Poole (eds.), Communicatoin and Group Decision Making (1996) yang mengulas soal refleksivitas. Konsep refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan dan perilaku mereka. Sebagian besar refleksivitas didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang. Dengan membaca masa lalu dan memperbaikinya, maka sesungguhnya bisa menatap masa depan yang jauh lebih baik.
Ada dua bentuk kesadaran yang harus muncul dan terus menerus diperbaiki. Pertama , kesadaran diskursif (discursive conciousness ) di mana DPR harus mampu membicarakan dan berkomunikasi dengan rakyat tentang apa-apa saja yang sudah semestinya diperjuangkan bersama-sama. DPR dan rakyat jangan dipisahkan oleh jurang menganga yang membuat rakyat merasa bahwa ada dan tidak adanya anggota DPR tak mengubah banyak hal. Kedua , kesadaran praktis (practical conciousness ), yakni terkait dengan komitmen niat baik (good will ) dan niat politik (political will ) para anggota DPR dan DPD untuk bekerja nyata mengoptimalkan peran dan fungsinya selama lima tahun ke depan.
Ke depan, anggota DPR, meminjam pendapat John Van Mannen dan Stephen Barley, Cultural Organization: Fragments of a Theory (1985), wajib mampu mengatur manajemen kehormatan organisasi minimal di empat domain. Domain pertama ialah ecological context yang merupakan dunia fisik, termasuk di dalamnya lokasi, waktu, dan sejarah serta konteks sosial. Lingkungan fisik MPR/DPR/DPD di Senayan sudah cukup representatif, periodisasi waktu menjabat pun sudah diatur jelas, hanya saja belum mampu menghadirkan output kinerja yang menyejarah dalam konteks sosial bangsa Indonesia kekinian. Lembaga-lembaga ini lebih banyak diramaikan perebutan posisi, kubu-kubuan dll. Hal yang harusnya diubah segera ialah penunjukan komitmen dan kehormatan sebagai wakil rakyat dan senator daerah.
Domain kedua, menyangkut jaringan atau interaksi deferensial (differential interaction ). Dalam konteks ini, MPR/DPR/DPD harus mau dan mampu memetakan interaksi mereka dengan pihak lain. Jika mereka bisa melakukan peran dan fungsi mereka dengan optimal, tidak tumpang-tindih, dan saling menguatkan di tengah perbedaan, di situlah letak kapasitas kelembagaan akan mulai dipercayai publik.
Domain ketiga dan keempat ialah pemahaman kolektif dan tindakan individual. Anggota DPR dan DPD baik pribadi maupun kolektif harus paham dan konsisten memerankan sosok wakil rakyat dan senator daerah, bukan sebaliknya memperkukuh elitisme seperti berburu kursi semata-mata. Jika tak pernah berbenah, jangan salahkan rakyat jika tak pernah menaruh penghormatan atas posisi mereka. Jikapun ada harapan, sangat mungkin semu dan transaksional.
(cip)