Kontinuitas Politik Legislasi
A
A
A
A AHSIN THOHARIAlumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada September 2019 sebelum masa jabatan DPR berakhir. Akan tetapi, karena masih banyak persoalan yang memerlukan evaluasi ulang terkait dengan substansi yang menuai pro dan kontra dari masyarakat, wacana pengesahan dinilai terburu-buru.
Pada sisi lain, jika tidak segera disahkan sebelum masa jabatan DPR berakhir, pembahasan RKUHP, yang sudah berlangsung lebih dari empat tahun sejak 24 Juni 2015 dengan perpanjangan pembahasan hingga 16 kali masa persidangan, menjadi sia-sia. Pasalnya, politik legislasi kita tidak memberlakukan mekanisme luncuran (carry over ) sehingga pembahasan rancangan undang-undang (RUU) yang mangkrak pada suatu periode DPR akan berhenti begitu saja saat DPR baru yang menggantikan memulai tugasnya.
Ketiadaan Jalinan Kerja Biaya rapat, konsinyasi, studi banding, kunjungan kerja, dan honor-honor bagi semua pihak yang turut terlibat dalam pembahasan akan menguap begitu saja tanpa jejak bersama embusan angin perubahan yang dijanjikan penguasa baru di Senayan. DPR baru selalu memulai pekerjaan dari nol dalam membahas setiap RUU, karena antara periode satu dan periode berikutnya memang didesain sebagai entitas kelembagaan yang terputus sama sekali.
Tidak seperti Kongres Amerika Serikat yang terdiri atas Senat dan DPR, misalnya, yang memiliki sistem pergantian bertahap dan periode jabatan yang tidak sama (staggered system ), seluruh anggota DPR di Indonesia memulai dan mengakhiri masa jabatannya secara bersama-sama setiap lima tahun sekali. Hal ini membuat pekerjaan DPR kita selalu mengalami restart setiap kali berganti periode, termasuk di bidang legislasi.
Mekanisme yang menyebabkan diskontinuitas politik legislasi ini dikukuhkan dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Seperti diketahui, perencanaan legislasi kita disusun dalam instrumen program legislasi nasional (prolegnas) yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis oleh DPR dan pemerintah. Prolegnas ini terbagi atas jangka menengah dan tahunan.
Penyusunan dan penetapan prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai prolegnas untuk jangka waktu lima tahun. Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan prolegnas prioritas tahunan. Adapun penyusunan dan penetapan prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ketentuan penyusunan dan penetapan prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR itu meniscayakan ketiadaan jalinan kerja di bidang legislasi antara periode DPR yang terdahulu dan periode DPR yang belakangan. Artinya, apa yang telah dihasilkan DPR yang terdahulu tidak serta-merta mengikat dan harus dilanjutkan oleh DPR yang belakangan. Situasi akan menjadi semakin buruk jika terjadi perubahan partai politik penguasa kursi mayoritas di DPR setelah pemilihan umum terakhir.
Pada akhirnya, diskontinuitas politik legislasi ini tentu saja amat merugikan masyarakat luas. Jika RUU itu merupakan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, sejatinya sebelum RUU itu menjadi UU berarti aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat itu belum ditunaikan oleh pembentuk UU dan tentunya menjadi utang politik. Oleh karena itu, tidak selayaknya aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat tersebut dibatasi oleh masa kerja DPR yang hanya lima tahun.
Lintas Periode
Ketiadaan jalinan kerja antarperiode DPR di bidang legislasi ini akan semakin besar implikasinya jika RUU yang dibahas memiliki kompleksitas persoalan tingkat tinggi karena berbentuk kodifikasi semacam RKUHP. Perdebatan filosofis, pertentangan pilihan ideologi, pertarungan alternatif paradigma, dan jumlah pasal yang melebihi 700 sering kali menuntut kerja spartan dari anggota DPR. Sayangnya, cara kerja yang tidak mendukung akselerasi pembahasan ini terus dipertahankan dari waktu ke waktu.
Anggota DPR dengan segenap kuasa politiknya yang mungkin tidak berlatar belakang atau tidak berpengalaman di bidang perancangan undang-undang kerap kali lebih dominan dan merasa lebih pintar ketimbang perancang undang-undang (legislative drafter ) yang memiliki pengalaman bertahun-tahun sehingga ia selalu merasa absah melibatkan diri terlalu jauh dalam rapat yang membahas pilihan kata, frasa, kalimat, dan tanda baca satu per satu yang amat tidak substantif.
Padahal, pekerjaan teknis seperti ini semestinya lebih tepat diserahkan kepada perancang undang-undang yang memang telah digembleng secara khusus selama berbulan-bulan dalam pendidikan dan pelatihan perancangan peraturan perundang-undangan. Tambahan pula, tidak sedikit perancang undang-undang yang memiliki pengalaman panjang karena telah mengabdikan dirinya selama puluhan tahun. Semestinya anggota DPR cukup berdebat di area pilihan politik hukum yang bersifat paradigmatis dan menjadi jiwa sebuah undang-undang.
Sesungguhnya, bukan tidak ada usaha untuk membenahi persoalan ini. Setidaknya, Badan Legislasi DPR sekarang ini sudah mewacanakan untuk merevisi ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut agar dimungkinkan adanya mekanisme luncuran untuk mengatasi RUU yang mangkrak. Dengan revisi ini diharapkan kontinuitas politik legislasi nasional dapat terjaga dan prolegnas harus dilihat sebagai instrumen perencanaan yang melintasi periode masa jabatan DPR.
Meskipun demikian, pemberlakuan mekanisme luncuran ini tidak boleh mengurangi daya juang DPR dalam satu periode untuk menyelesaikan suatu RUU hanya karena alasan kelak akan dilanjutkan oleh DPR periode selanjutnya. Oleh karena itu, kriteria persentase pembahasan suatu RUU yang dapat "diwariskan" adalah sebuah keniscayaan. Misalnya, hanya RUU yang ketentuannya telah dibahas 50% yang dapat diluncurkan.
Kepada DPR periode 2014-2019 yang sudah berada di pengujung pengabdian, kita berharap agar pemberlakuan mekanisme luncuran melalui revisi Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 itu segera diwujudkan untuk memperbaiki proses pembentukan undang-undang (law making process) kita di masa datang.
dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada September 2019 sebelum masa jabatan DPR berakhir. Akan tetapi, karena masih banyak persoalan yang memerlukan evaluasi ulang terkait dengan substansi yang menuai pro dan kontra dari masyarakat, wacana pengesahan dinilai terburu-buru.
Pada sisi lain, jika tidak segera disahkan sebelum masa jabatan DPR berakhir, pembahasan RKUHP, yang sudah berlangsung lebih dari empat tahun sejak 24 Juni 2015 dengan perpanjangan pembahasan hingga 16 kali masa persidangan, menjadi sia-sia. Pasalnya, politik legislasi kita tidak memberlakukan mekanisme luncuran (carry over ) sehingga pembahasan rancangan undang-undang (RUU) yang mangkrak pada suatu periode DPR akan berhenti begitu saja saat DPR baru yang menggantikan memulai tugasnya.
Ketiadaan Jalinan Kerja Biaya rapat, konsinyasi, studi banding, kunjungan kerja, dan honor-honor bagi semua pihak yang turut terlibat dalam pembahasan akan menguap begitu saja tanpa jejak bersama embusan angin perubahan yang dijanjikan penguasa baru di Senayan. DPR baru selalu memulai pekerjaan dari nol dalam membahas setiap RUU, karena antara periode satu dan periode berikutnya memang didesain sebagai entitas kelembagaan yang terputus sama sekali.
Tidak seperti Kongres Amerika Serikat yang terdiri atas Senat dan DPR, misalnya, yang memiliki sistem pergantian bertahap dan periode jabatan yang tidak sama (staggered system ), seluruh anggota DPR di Indonesia memulai dan mengakhiri masa jabatannya secara bersama-sama setiap lima tahun sekali. Hal ini membuat pekerjaan DPR kita selalu mengalami restart setiap kali berganti periode, termasuk di bidang legislasi.
Mekanisme yang menyebabkan diskontinuitas politik legislasi ini dikukuhkan dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Seperti diketahui, perencanaan legislasi kita disusun dalam instrumen program legislasi nasional (prolegnas) yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis oleh DPR dan pemerintah. Prolegnas ini terbagi atas jangka menengah dan tahunan.
Penyusunan dan penetapan prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai prolegnas untuk jangka waktu lima tahun. Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan prolegnas prioritas tahunan. Adapun penyusunan dan penetapan prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ketentuan penyusunan dan penetapan prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR itu meniscayakan ketiadaan jalinan kerja di bidang legislasi antara periode DPR yang terdahulu dan periode DPR yang belakangan. Artinya, apa yang telah dihasilkan DPR yang terdahulu tidak serta-merta mengikat dan harus dilanjutkan oleh DPR yang belakangan. Situasi akan menjadi semakin buruk jika terjadi perubahan partai politik penguasa kursi mayoritas di DPR setelah pemilihan umum terakhir.
Pada akhirnya, diskontinuitas politik legislasi ini tentu saja amat merugikan masyarakat luas. Jika RUU itu merupakan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, sejatinya sebelum RUU itu menjadi UU berarti aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat itu belum ditunaikan oleh pembentuk UU dan tentunya menjadi utang politik. Oleh karena itu, tidak selayaknya aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat tersebut dibatasi oleh masa kerja DPR yang hanya lima tahun.
Lintas Periode
Ketiadaan jalinan kerja antarperiode DPR di bidang legislasi ini akan semakin besar implikasinya jika RUU yang dibahas memiliki kompleksitas persoalan tingkat tinggi karena berbentuk kodifikasi semacam RKUHP. Perdebatan filosofis, pertentangan pilihan ideologi, pertarungan alternatif paradigma, dan jumlah pasal yang melebihi 700 sering kali menuntut kerja spartan dari anggota DPR. Sayangnya, cara kerja yang tidak mendukung akselerasi pembahasan ini terus dipertahankan dari waktu ke waktu.
Anggota DPR dengan segenap kuasa politiknya yang mungkin tidak berlatar belakang atau tidak berpengalaman di bidang perancangan undang-undang kerap kali lebih dominan dan merasa lebih pintar ketimbang perancang undang-undang (legislative drafter ) yang memiliki pengalaman bertahun-tahun sehingga ia selalu merasa absah melibatkan diri terlalu jauh dalam rapat yang membahas pilihan kata, frasa, kalimat, dan tanda baca satu per satu yang amat tidak substantif.
Padahal, pekerjaan teknis seperti ini semestinya lebih tepat diserahkan kepada perancang undang-undang yang memang telah digembleng secara khusus selama berbulan-bulan dalam pendidikan dan pelatihan perancangan peraturan perundang-undangan. Tambahan pula, tidak sedikit perancang undang-undang yang memiliki pengalaman panjang karena telah mengabdikan dirinya selama puluhan tahun. Semestinya anggota DPR cukup berdebat di area pilihan politik hukum yang bersifat paradigmatis dan menjadi jiwa sebuah undang-undang.
Sesungguhnya, bukan tidak ada usaha untuk membenahi persoalan ini. Setidaknya, Badan Legislasi DPR sekarang ini sudah mewacanakan untuk merevisi ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut agar dimungkinkan adanya mekanisme luncuran untuk mengatasi RUU yang mangkrak. Dengan revisi ini diharapkan kontinuitas politik legislasi nasional dapat terjaga dan prolegnas harus dilihat sebagai instrumen perencanaan yang melintasi periode masa jabatan DPR.
Meskipun demikian, pemberlakuan mekanisme luncuran ini tidak boleh mengurangi daya juang DPR dalam satu periode untuk menyelesaikan suatu RUU hanya karena alasan kelak akan dilanjutkan oleh DPR periode selanjutnya. Oleh karena itu, kriteria persentase pembahasan suatu RUU yang dapat "diwariskan" adalah sebuah keniscayaan. Misalnya, hanya RUU yang ketentuannya telah dibahas 50% yang dapat diluncurkan.
Kepada DPR periode 2014-2019 yang sudah berada di pengujung pengabdian, kita berharap agar pemberlakuan mekanisme luncuran melalui revisi Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 itu segera diwujudkan untuk memperbaiki proses pembentukan undang-undang (law making process) kita di masa datang.
(mhd)