Fintech, Sinergi Regulasi, dan Perlindungan Konsumen

Kamis, 12 September 2019 - 08:08 WIB
Fintech, Sinergi Regulasi, dan Perlindungan Konsumen
Fintech, Sinergi Regulasi, dan Perlindungan Konsumen
A A A
Galuh Octania Permatasari
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies

JUMLAH penduduk Indonesia yang terus bertambah turut memengaruhi peningkatan aktivitas penggunaan internet dalam negeri. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian, tercatat bahwa penetrasi penggunaan internet dalam negeri sudah mencapai 56% dari total 150 juta orang yang sudah melek internet. Selain itu penggunaan smartphone di Indonesia yang tercatat sebanyak 355 juta unit sudah mencakup 133% dari total populasi sebanyak 268 juta orang.

Fakta ini membuka mata kita bahwa semakin mudahnya akses ke internet, semakin masyarakat ingin dimanjakan akses yang ditawarkan. Berdasarkan data Bank Indonesia, dari 2017 hingga 2018 telah terjadi peningkatan transaksi daring dan elektronik di Indonesia sebesar 281%, dari semula bernilai Rp12,4 miliar pada 2017, naik menjadi Rp47,2 miliar di tahun berikutnya. Peningkatan yang tidak tanggung-tanggung ini tentu juga menunjukkan adanya kemajuan pesat pada ekonomi digital dalam negeri.

Kegiatan ekonomi yang dulu masih dilakukan secara tradisional lewat lembaga keuangan seperti bank saat ini sudah bertransformasi ke arah pemanfaatan teknologi yang masif. Muncul para pemain baru di pasar yang menawarkan berbagai jasa, di antaranya yang bertumbuh pesat adalah kemunculan fintech atau financial technology.

Kehadiran fintech berperan penting dalam mempercepat tercapainya keuangan inklusif, suatu hal yang menjadi salah satu fokus pemerintahan Joko Widodo saat ini. Berkembangnya fintech di Indonesia harus disertai dengan ekosistem yang juga mendukung hadirnya inovasi ini.

Payday Loan: Paling Banyak dan Paling Kontroversial


Kebanyakan fintech memanfaatkan jasa di sektor pembayaran (e-payment) dan pinjaman (peer-to-peer/P2P l ending ), sektor yang sangat erat kaitannya dengan kegiatan sehari-hari masyarakat. Pada model bisnis P2P l ending, yang juga terdiri atas beberapa sektor pinjaman, tercatat bahwa payday loan merupakan sektor yang paling banyak muncul dan diminati.

Sayangnya payday loan juga merupakan sektor yang paling banyak menimbulkan kontroversi. Payday loan merupakan bisnis model yang memberikan sejumlah pinjaman uang dalam jangka waktu yang pendek.

Masih hangat dalam ingatan kita kasus bunuh diri yang dilakukan salah satu sopir taksi di bulan Februari lalu. Ketidakmampuan membayar utang yang membengkak dari pinjaman daring membuat ia nekat mengakhiri hidupnya. Diketahui bahwa pinjaman daring tersebut menarik bunga yang tidak wajar dan terus menagih dengan menyalahgunakan data pribadi milik korban. Ada juga kasus di mana para penyedia layanan bebas mengakses kontak pribadi pelanggan untuk menagih utang dengan meneror kerabat dekat.

Dua dari sekian banyak kasus yang terjadi menunjukkan bahwa kehadiran fintech, utamanya yang berbasis pinjaman/lending, juga diikuti dengan risiko penyalahgunaan data pribadi pengguna layanan. Untuk mengatasi hal ini, sudah seharusnya ada sinergi yang baik antara regulator, pelaku industri fintech, dan tentunya kesadaran dari pengguna layanan itu sendiri.

OJK Minim Aturan Tegas

Menindaklanjuti fintech lending ilegal, pertanyaannya lalu mengarah pada bagaimana kinerja pemerintah dalam mengatur kehadiran fintech ini. Aturan mengenai fintech sudah tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Setiap fintech yang berdiri di Indonesia harus mencatatkan diri ke OJK secara legal lewat prosedur yang berlaku. Hingga Agustus 2019, tercatat sudah ada 127 perusahaan fintech lending terdaftar dan berizin di OJK. Ironisnya, lebih banyak jumlah perusahaan fintech lending yang tidak terdaftar.

Jumlahnya juga mencapai ratusan ribu. Kontroversi yang sering terjadi pada faktanya banyak disebabkan para fintech lending ilegal, terutama yang menjalankan model bisnis payday loan ini. Umumnya mereka menjalankan bisnisnya dengan menarik bunga harian mencapai 2%.

Secara peraturan, OJK hanya dapat mengatur perusahaan fintech yang terdaftar. Di luar ini, masalah yang timbul bukanlah tanggung jawab OJK. Untuk memberantas fintech ilegal, peran OJK lewat Satgas Waspada Investasi hanya terbatas pada kolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir fintech ilegal tersebut.

Sejak Juli 2018 hingga April 2019, OJK bahkan sudah memblokir hampir 950 fintech yang beroperasi secara ilegal. Sayangnya, kadang mereka masih dapat beroperasi dengan berbagai cara, seperti salah satunya membuat nama baru. Setelah itu mereka kembali dengan mudahnya membuat akun di Play Store dan App Store .

Peran Penyedia Layanan Fintech

Dalam hal mitigasi penyalahgunaan data pribadi, perlu ada peran dari para pelaku industri fintech lending, terutama para CEO ketika berbisnis. Penyedia layanan tentunya ingin memberikan produk dan layanan yang terbaik dan sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

Untuk itu perlu dipahami bahwa mereka juga memerlukan profil pelanggannya. Namun mereka juga harus memahami sebanyak apa data pribadi yang dapat mereka akses. Harus ada etika digital dari para penyedia layanan yang mencegah penggunaan data pribadi berlebihan. Yang tidak pantas adalah ketika profil dari para konsumen digunakan untuk keperluan lain, terutama jika tanpa pemberitahuan awal kepada konsumen.

OJK saat ini hanya membatasi penyedia layanan untuk mengakses tiga hal lewat aplikasi yang mereka jalankan, yaitu kamera, mikrofon, dan lokasi. Selain itu para CEO juga harus mendaftarkan usaha fintech miliknya ke OJK dan mengikuti serangkaian proses, termasuk bersedia diuji lewat regulatory sandbox .

Peran Pengguna Layanan Fintech

Di luar dari sikap penyedia layanan, peran paling penting dimainkan oleh pelanggan. Sebagai pemilik data, mereka harus melek literasi ekonomi digital di era seperti sekarang ini. Pelanggan harus menyadari risiko data yang mereka sebarkan. Maka dari itu diperlukan sikap hati-hati dan cermat terhadap data yang diberikan.

Pemilik data harus sadar untuk apa saja data yang diminta terkait dengan tujuan layanan. Fintech lending jenis payday loan menyasar konsumen kelas menengah ke bawah di mana mayoritas masyarakatnya masih banyak yang belum melek literasi keuangan. Memanfaatkan hal ini, fintech lending ilegal kerap menjalankan praktik penyalahgunaan data. Konsumen yang membutuhkan pinjaman harus memastikan bahwa fintech tersebut sudah terdaftar di OJK.

Membaca serta memahami dengan jelas term of conduct dan privacy policy perusahaan adalah hal yang wajib dilakukan. Menurut Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), pelanggan harus waspada terhadap fintech payday loan yang menerapkan bunga pinjaman melebihi 0,8% per hari.

Selain itu perincian biaya yang dikenakan atas pinjaman haruslah jelas dan transparan. OJK saat ini juga sudah mewajibkan setiap entitas P2P lending untuk memberikan informasi tingkat pengembalian dana 90 hari (TKB 90) pada halaman website dan aplikasinya. Pada intinya pelanggan harus menyadari hak dan tanggung jawabnya saat melakukan pinjaman daring ini.

Data sebagai Ekosistem Pendukung

Melihat kenyataan di atas, terlihat bahwa sumber dari keseimbangan antara perkembangan teknologi, penetrasi ekonomi digital, dan perlindungan konsumen terletak pada data yang harus mendukung. Data yang terintegrasi diperlukan agar segala transaksi dapat berjalan dengan aman dan sesuai dengan aturan. Kabar baik terdengar dari Kementerian Dalam Negeri.

Kementerian yang dipimpin Tjahjo Kumulo ini berencana mengubah pendekatan sistem administrasi mengenai kependudukan dari yang awalnya bergantung pada nama akan ditransformasikan ke NIK. Hal ini merupakan langkah baik untuk menghindari pemalsuan KTP ketika akan bertransaksi secara daring.

Selain itu terdapat RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang walaupun tidak secara khusus membahas fintech, tapi mengatur pertanggungjawaban para pengguna internet, termasuk para penyedia layanan dan pelanggan, agar tidak terjadi penyimpangan dari informasi yang diberikan. Peraturan ini dapat membantu mengurangi ruang gerak fintech nakal. Selama ini payung dalam pemblokiran fintech ilegal masih berada di tangan OJK. Setelah itu lagi-lagi berhenti di tempat karena OJK tidak punya wewenang untuk memberikan hukuman ataupun menetapkan pelanggaran.

RUU PDP ini sebenarnya menekankan dua hal penting. Yang pertama dari sisi penyedia layanan itu sendiri dan kedua dari sisi pengguna layanan atau si pemilik data pribadi. Dengan adanya undang-undang, bentuk penegakan hukum (law enforcement) yang terkait dengan penyalahgunaan data pribadi akan lebih jelas, penyedia layanan tidak dapat semena-mena menggunakan atau meminta data pribadi milik konsumen di luar data yang diperlukan karena terdapat sanksi atau pidana jika melanggar.

Begitu pun dengan para pengguna layanan untuk dapat mengerti hak dan kewajibannya terkait dengan data pribadi. RUU PDP seharusnya menjadi salah satu fokus pemerintah untuk dapat segera difinalisasi dan jangan diulur-ulur.

Pada akhirnya dukungan terhadap perkembangan ekosistem inovasi fintech lewat perlindungan konsumen (consumer protection) haruslah juga mendorong peningkatan pemberdayaan konsumen (consumer empowerment) di mana konsumen harus lebih cerdas dan bijaksana dalam memberikan, menyimpan, dan menyebarkan data pribadinya.

Fintech berperan penting dalam mendorong inklusi keuangan di Indonesia, akan tetapi, sebelum terjun dalam praktik bertransaksi lewat teknologi, penting bahwa masyarakat harus juga melek terhadap literasi keuangan. Alih-alih menghambat pertumbuhan fintech, sudah seharusnya regulasi ada untuk memfasilitasi hadirnya inovasi fintech di Indonesia.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3642 seconds (0.1#10.140)