Meredam Bara di Papua

Senin, 02 September 2019 - 07:40 WIB
Meredam Bara di Papua
Meredam Bara di Papua
A A A
Dave Akbarshah Fikarno

Anggota Komisi I DPR RI – Fraksi Partai Golkar

BUMI Cenderawasih tengah membara dua pekan terakhir ini. Gelombang aksi massa melanda Manokwari, Sorong, Fakfak, Nduga, Timika, Deiyai, Paniai hingga Jayapura. Unjuk rasa yang sebagian besar berakhir ricuh itu menentang persekusi dan ujaran rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya jelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus lalu.

Insiden yang terjadi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, yang melibatkan segelintir orang, itu harus dibayar mahal. Selain kerugian materi atas rusaknya sejumlah fasilitas umum di berbagai wilayah di Papua, insiden tersebut juga telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Sebagaimana dilansir Kantor BeritaAntara, Rabu (28/8), kericuhan di Kabupaten Deiyai telah merenggut 3 korban jiwa yang terdiri atas 2 warga sipil dan seorang prajurit TNI AD.

Insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya hanyalah puncak dari gunung es. Tindakan diskriminasi yang menjurus rasisme ini sudah berlangsung sejak lama. Hal ini telah mencederai harkat dan martabat orang Papua yang secara resmi menjadi bagian dari bangsa kita sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 digelar.

Mahasiswa asal Papua di kota-kota besar di Pulau Jawa, misalnya, kerap ditolak ketika mencari tempat indekos hanya karena berasal dari Papua. Penolakan ini terjadi lantaran adanya stigma negatif dan generalisasi ataustereotipemasyarakat terhadap perilaku orang Papua. Ini juga menjadi salah satu penyebab mengapa mahasiswa Papua cenderung berkumpul dalam sebuah rumah atau asrama khusus.

Angka Kemiskinan

Papua adalah wilayah dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan kearifan lokal yang luar biasa. Akan tetapi Papua sampai saat ini masih menjadi salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2019 mencatat Provinsi Papua menjadi wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia sebanyak 27,53% atau lebih dari seperempat penduduk. Angka ini jauh di atas angka nasional sebesar 9,47%. Bahkan sebanyak tiga kabupaten, yakni Deiyai, Intan Jaya, dan Lanny Jaya, memiliki tingkat kemiskinan di atas 40% dari populasi.

Ekonomi di Provinsi Papua pada kuartal II 2019 tercatat minus 23,98%, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,05%. Provinsi Papua Barat juga mencatat pertumbuhan negatif sebesar 0,5% pada kuartal II 2019 meski lebih baik bila dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang sebesar -12,83%. Keduanya menjadi yang terendah di antara 34 provinsi di Indonesia.

Data BPS juga mengungkap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua merupakan yang terendah se-Indonesia. IPM adalah indikator bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan yang dihitung dari agregat tiga aspek, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak.

Angka-angka di atas menjadi ironi dan kontradiktif dengan anggaran pemerintah pusat yang mengalir ke Papua dalam bentuk Dana Otonomi Khusus pada 2018 sebesar Rp12,03 triliun atau naik 4,86% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jika gelontoran triliunan rupiah kepada 4,3 juta penduduk Papua tak pernah menyelesaikan masalah, evaluasi besar-besaran harus segera dilakukan.

Nila Setitik

Tindak persekusi dan rasisme semestinya memang tidak diberi ruang di negara kita. Secara gamblang UUD 1945 telah menjamin bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan serta berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.

Ibarat nila setitik yang merusak susu sebelanga, insiden asrama Papua di Surabaya telah menodai upaya Presiden Joko Widodo dalam membangun dan menyejahterakan Papua. Pembangunan infrastruktur yang masif, pemberlakuan BBM satu harga hingga kunjungan rutin Presiden Jokowi ke tanah Papua seakan tertutupi.

Melihat situasi yang pelik dengan sumber masalah yang telah mengakar dalam, sudah saatnya pemerintah bersama segenap pihak terkait melakukan terobosan pendekatan dalam menghadapi isu-isua Papua. Pendekatan keamanan dalam konteks situasi dan wilayah tertentu masih diperlukan mengingat di Papua juga terdapat kelompok separatis bersenjata yang sedari awal bertujuan memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain proses pengamanan di Papua guna meredakan dan mencegah kericuhan agar semakin tidak meluas, satu hal yang tak kalah mendesak adalah proses hukum terhadap para pelaku tindakan diskriminasi dan rasial di Surabaya. Dua dari enam orang yang dicekal pihak berwajib telah ditetapkan menjadi tersangka. Langkah aparat kepolisian patut kita apresiasi dan harus terus berlanjut sampai tuntas.

Pendekatan Sosio-Kultural

Konflik bernuansa SARA dan potensi separatisme di Papua tentu memerlukan penyelesaian menyeluruh yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Pendekatan terhadap isu-isu Papua yang selama ini luput dijalankan secara optimal adalah melalui pendekatan sosio-kultural.

Kita bisa berkaca kepada Gus Dur yang dianggap cukup berhasil menyentuh hati warga Papua. Padahal saat itu tidak terjadi pembangunan ekonomi besar-besaran di Papua. Strategi Gus Dur lebih dititikberatkan pada pendekatan sosio-kultural.

Koentjaraningrat, ilmuwan Indonesia pertama yang melakukan penelitian budaya di Papua sejak awal menekankan pendekatan sosio-kultural mengingat Papua memiliki budaya minoritas dan sejarah kebangsaan yang berbeda dengan daerah di Indonesia lainnya. Kita perlu menggali kembali gagasan-gagasan yang dibawa Bapak Antropologi Indonesia itu untuk memperbaiki hubungan Indonesia dan Papua.

Pendekatan sosio-kultural terbaik adalah melalui dialog antar-dua belah pihak. Masyarakat Papua merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi proses percakapan dua arah, di mana peristiwa penting dalam kehidupan ditentukan secara damai dalam dialog. Suku-suku di Papua bahkan menentukan proses adat berperang melalui dialog antarsuku, mengenai kapan perang akan dimulai dan kapan akan dihentikan.

Yang harus diingat, dialog harus mampu mempertahankan identitas-identitas sosial dan kultural, yang membuka ruang gerak kultural orang Papua yang lebih besar sehingga suara-suara yang selama ini termarginalkan akan memiliki ruang yang lebih lapang dalam mengekspresikan identitas kultural mereka yang beraneka warna.

Selain itu dialog harus mengarah kepada tercapainya proses rekonsiliasi dan permintaan maaf atas kesalahan di masa lalu oleh pemerintah maupun masyarakat Papua.Dialog harus mampu merekonstruksi paradigmamainstreamnegara untuk tidak melekatkan stigma Papua sebagai bangsa separatis yang mengusik keutuhan negara.

Membaca dan memahami kultur masyarakat Papua hendaknya dilakukan secara cermat dan mendalam, karena kebudayaannya yang sangat kaya. Antropolog Universitas Cendrawasih Agapitus Dumatubun menyatakan, empat zona ekologi di Papua turut memengaruhi terbentuknya budaya yang berbeda. Budaya itu terklasifikasi menjadi lima sebaran wilayah budaya dengan empat tipe kepemimpinan masyarakat yang berbeda.

Tidak ada satu formula ajaib yang dapat menyelesaikan gejolak di Papua secara seketika. Jalan panjang dan berliku harus kita tempuh bersama. Fokus dan energi pemerintah kini harus diarahkan pada penyelesaian masalah di Papua.

Di Provinsi Papua dan Papua Barat, Presiden Jokowi telah diberi kepercayaan tinggi oleh masyarakat Papua untuk menjalankan periode kedua pemerintahan. Mandat ini tentu menjadi modal paling berharga bagi Presiden Jokowi untuk dapat diterima dengan baik oleh warga Papua. Untuk itu sudah saatnya pemerintah hadir didasari iktikad baik untuk mengurai dan mencari jalan tengah atas berbagai aspirasi di Bumi Cenderawasih yang selama ini terabaikan.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4565 seconds (0.1#10.140)