Kota Ramah Pejalan Kaki
A
A
A
Nirwono Joga
Peneliti Pusat Studi Perkotaan
TAJUK KORAN SINDO berjudul "Trotoar dan Friendly City" edisi 14 Agustus 2019 yang menyoal kondisi trotoar di Kota Depok, Jawa Barat, menggugah kesadaran kita semua bahwa kota-kota di Indonesia pada umumnya belum dibangun menjadi kota ramah pejalan kaki. Padahal, trotoar adalah roh sebuah kota. Berjalan kaki adalah hak asasi manusia paling mendasar dan bentuk kemerdekaan warga dalam berkota. Hanya dengan berjalan kaki di trotoar, kita dapat merasakan langsung kondisi kota sebenarnya.
Membangun trotoar yang aman dan nyaman adalah wujud kota yang beradab. Itulah mengapa kota-kota dunia yang maju sangat memanjakan pejalan kaki dengan menyediakan trotoar yang lebar, teduh, aman, dan nyaman.
Membangun trotoar seyogianya didahului dengan perencanaan matang dan menyeluruh; melibatkan berbagai pemangku kepentingan; disosialisasikan kepada masyarakat untuk mendapat masukan, dukungan, dan membangun semangat kebersamaan; serta dibangun secara bertahap sesuai kemampuan anggaran yang tersedia.
Program revitalisasi trotoar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, dan Kemang, Jakarta Selatan, oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebenarnya dapat menjadi momentum untuk menata kota ramah pejalan kaki secara menyeluruh dan terpadu. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Pertama, kota ramah pejalan kaki merupakan amanah Undang-Undang (UU) Nomor 38/2004 tentang Jalan, UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Perda DKI Nomor 8/2007 tentang Ketertiban Umum, dan Perda DKI Nomor 5/2014 tentang Transportasi. Pembangunan fasilitas pejalan kaki harus setara berimbang dengan pembangunan infrastruktur jalan bagi kendaraan bermotor.
Pembangunan transportasi massal yang tengah berlangsung dan upaya mendorong warga untuk beralih ke penggunaan transportasi massal tidak akan banyak berhasil jika tidak didukung dengan penyediaan trotoar yang memadai, aman, dan nyaman. Pengguna transportasi massal yang notabene pejalan kaki membutuhkan trotoar untuk berjalan kaki dari halte/stasiun/terminal ke tempat tujuan atau sebaliknya.
Kedua, Pemprov DKI Jakarta harus segera menyusun Rencana Induk Penataan Jalur Pejalan Kaki, Saluran Air, dan Jaringan Utilitas Terpadu sebagai acuan bersama instansi terkait. Rencana infrastruktur jaringan pejalan kaki harus memperhatikan karakteristik pejalan kaki, lingkungan, keterkaitan antarkegiatan dan moda transportasi publik, serta fungsi jalan dan jenis penggunaan lahan atau kegiatan.
Rencana induk harus sesuai arahan rencana tata ruang wilayah, rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi, rencana tata bangunan dan lingkungan, serta panduan rancang kota ramah pejalan kaki. Kawasan yang perlu ditata trotoarnya terlebih dahulu adalah kawasan sekitar terminal bus, stasiun kereta api, dan halte bus, kawasan perkantoran dan komersial, dan kawasan tujuan wisata.
Ketiga, pembangunan kota ramah pejalan kaki dikembangkan berbasis pergerakan manusia (transit oriented communities /TOC). Pengembangan TOC berdasarkan 6 D, yakni destination (tujuan), distance (jarak), design (rancangan), density (kepadatan), diversity (keberagaman), serta demand management (mengelola kebutuhan).
Kawasan TOC dilengkapi segala fungsi yang dibutuhkan warga. Seperti hunian vertikal berketinggian rendah-sedang (apartemen, flat, rusun), sekolah (dan pelatihan keterampilan), pasar rakyat (dan pasar daring), perkantoran (ekonomi kreatif, kantor virtual, ruang kerja bersama), taman bermain dan kebun pangan. Kawasan dilengkapi jaringan pipa air bersih, instalasi pengolahan air limbah terpadu, dan tempat pengolahan sampah ramah lingkungan.
Dalam kawasan disediakan angkutan internal ramah lingkungan (bertenaga listrik, biogas). Gedung parkir komunal disediakan untuk warga penghuni dan kantong parkir untuk tamu/pengunjung/penumpang transportasi massal. Jika ingin keluar kawasan, warga menggunakan transportasi massal terdekat. Angkutan berbasis dalam jaringan harus ditempatkan sebagai angkutan pengumpan.
Keempat, Permen PU Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan dan Permen PU Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan sebagai panduan teknis pembangunan trotoar.
Revitalisasi pembangunan trotoar harus sekaligus membenahi saluran air dan penataan jaringan utilitas secara terpadu. Misal, dengan lebar trotoar 5 meter, di bagian atas, penataan trotoar meliputi penempatan halte bus, bangku istirahat, pohon peneduh, lampu penerang, papan iklan, rambu dan lampu lalu lintas, serta jalur sepeda selebar 1,2 meter.
Pada bagian bawah trotoar dibangun saluran air primer/makro berdiameter 3 meter, di sisi kiri untuk perkabelan (secara berurutan dari atas ke bawah-kabel listrik, telepon, serat optik) dan di sisi kanan untuk perpipaan (pipa gas, air bersih, air limbah).
Infrastruktur pejalan kaki (trotoar, ramp, zebra cross, penyeberang swakendali/pelican crossing, jembatan/jalan bawah tanah penyeberangan) dirancang ramah untuk anak-anak, ibu hamil, lansia, dan disabilitas. Permukaan trotoar tidak naik-turun atau terputus-putus oleh jalan keluar/masuk ke/dari bangunan, menyatu dan menerus rata, serta menghubungkan ke/dari stasiun kereta api, halte dan terminal bus ke/dari sekolah, pasar, pusat perbelanjaan, perkantoran, dan/atau taman.
Kelima, warga didorong berjalan kaki 5-7 menit di trotoar yang lebar, aman, dan nyaman ke sekolah, pasar, kantor, tempat ibadah, atau taman. Bahwa berjalan kaki itu sehat bagi kesehatan tubuh, kita dapat berinteraksi dengan warga, mengenal kondisi kota, turut mengurangi kemacetan lalu lintas, dan menurunkan pencemaran udara.
Untuk menjamin kelancaran dan kenyamanan berjalan kaki, tentu pemerintah kota harus tegas menegakkan aturan hukum untuk menertibkan seluruh kegiatan yang tidak ada hubungan dengan berjalan kaki.
Pemerintah harus menggencarkan bulan tertib trotoar sebagai bagian dari edukasi kepada masyarakat sekaligus membangun budaya berjalan kaki. Membangun kota ramah pejalan kaki merupakan sebuah keharusan, bukan pilihan.
Peneliti Pusat Studi Perkotaan
TAJUK KORAN SINDO berjudul "Trotoar dan Friendly City" edisi 14 Agustus 2019 yang menyoal kondisi trotoar di Kota Depok, Jawa Barat, menggugah kesadaran kita semua bahwa kota-kota di Indonesia pada umumnya belum dibangun menjadi kota ramah pejalan kaki. Padahal, trotoar adalah roh sebuah kota. Berjalan kaki adalah hak asasi manusia paling mendasar dan bentuk kemerdekaan warga dalam berkota. Hanya dengan berjalan kaki di trotoar, kita dapat merasakan langsung kondisi kota sebenarnya.
Membangun trotoar yang aman dan nyaman adalah wujud kota yang beradab. Itulah mengapa kota-kota dunia yang maju sangat memanjakan pejalan kaki dengan menyediakan trotoar yang lebar, teduh, aman, dan nyaman.
Membangun trotoar seyogianya didahului dengan perencanaan matang dan menyeluruh; melibatkan berbagai pemangku kepentingan; disosialisasikan kepada masyarakat untuk mendapat masukan, dukungan, dan membangun semangat kebersamaan; serta dibangun secara bertahap sesuai kemampuan anggaran yang tersedia.
Program revitalisasi trotoar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, dan Kemang, Jakarta Selatan, oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebenarnya dapat menjadi momentum untuk menata kota ramah pejalan kaki secara menyeluruh dan terpadu. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Pertama, kota ramah pejalan kaki merupakan amanah Undang-Undang (UU) Nomor 38/2004 tentang Jalan, UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Perda DKI Nomor 8/2007 tentang Ketertiban Umum, dan Perda DKI Nomor 5/2014 tentang Transportasi. Pembangunan fasilitas pejalan kaki harus setara berimbang dengan pembangunan infrastruktur jalan bagi kendaraan bermotor.
Pembangunan transportasi massal yang tengah berlangsung dan upaya mendorong warga untuk beralih ke penggunaan transportasi massal tidak akan banyak berhasil jika tidak didukung dengan penyediaan trotoar yang memadai, aman, dan nyaman. Pengguna transportasi massal yang notabene pejalan kaki membutuhkan trotoar untuk berjalan kaki dari halte/stasiun/terminal ke tempat tujuan atau sebaliknya.
Kedua, Pemprov DKI Jakarta harus segera menyusun Rencana Induk Penataan Jalur Pejalan Kaki, Saluran Air, dan Jaringan Utilitas Terpadu sebagai acuan bersama instansi terkait. Rencana infrastruktur jaringan pejalan kaki harus memperhatikan karakteristik pejalan kaki, lingkungan, keterkaitan antarkegiatan dan moda transportasi publik, serta fungsi jalan dan jenis penggunaan lahan atau kegiatan.
Rencana induk harus sesuai arahan rencana tata ruang wilayah, rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi, rencana tata bangunan dan lingkungan, serta panduan rancang kota ramah pejalan kaki. Kawasan yang perlu ditata trotoarnya terlebih dahulu adalah kawasan sekitar terminal bus, stasiun kereta api, dan halte bus, kawasan perkantoran dan komersial, dan kawasan tujuan wisata.
Ketiga, pembangunan kota ramah pejalan kaki dikembangkan berbasis pergerakan manusia (transit oriented communities /TOC). Pengembangan TOC berdasarkan 6 D, yakni destination (tujuan), distance (jarak), design (rancangan), density (kepadatan), diversity (keberagaman), serta demand management (mengelola kebutuhan).
Kawasan TOC dilengkapi segala fungsi yang dibutuhkan warga. Seperti hunian vertikal berketinggian rendah-sedang (apartemen, flat, rusun), sekolah (dan pelatihan keterampilan), pasar rakyat (dan pasar daring), perkantoran (ekonomi kreatif, kantor virtual, ruang kerja bersama), taman bermain dan kebun pangan. Kawasan dilengkapi jaringan pipa air bersih, instalasi pengolahan air limbah terpadu, dan tempat pengolahan sampah ramah lingkungan.
Dalam kawasan disediakan angkutan internal ramah lingkungan (bertenaga listrik, biogas). Gedung parkir komunal disediakan untuk warga penghuni dan kantong parkir untuk tamu/pengunjung/penumpang transportasi massal. Jika ingin keluar kawasan, warga menggunakan transportasi massal terdekat. Angkutan berbasis dalam jaringan harus ditempatkan sebagai angkutan pengumpan.
Keempat, Permen PU Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan dan Permen PU Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan sebagai panduan teknis pembangunan trotoar.
Revitalisasi pembangunan trotoar harus sekaligus membenahi saluran air dan penataan jaringan utilitas secara terpadu. Misal, dengan lebar trotoar 5 meter, di bagian atas, penataan trotoar meliputi penempatan halte bus, bangku istirahat, pohon peneduh, lampu penerang, papan iklan, rambu dan lampu lalu lintas, serta jalur sepeda selebar 1,2 meter.
Pada bagian bawah trotoar dibangun saluran air primer/makro berdiameter 3 meter, di sisi kiri untuk perkabelan (secara berurutan dari atas ke bawah-kabel listrik, telepon, serat optik) dan di sisi kanan untuk perpipaan (pipa gas, air bersih, air limbah).
Infrastruktur pejalan kaki (trotoar, ramp, zebra cross, penyeberang swakendali/pelican crossing, jembatan/jalan bawah tanah penyeberangan) dirancang ramah untuk anak-anak, ibu hamil, lansia, dan disabilitas. Permukaan trotoar tidak naik-turun atau terputus-putus oleh jalan keluar/masuk ke/dari bangunan, menyatu dan menerus rata, serta menghubungkan ke/dari stasiun kereta api, halte dan terminal bus ke/dari sekolah, pasar, pusat perbelanjaan, perkantoran, dan/atau taman.
Kelima, warga didorong berjalan kaki 5-7 menit di trotoar yang lebar, aman, dan nyaman ke sekolah, pasar, kantor, tempat ibadah, atau taman. Bahwa berjalan kaki itu sehat bagi kesehatan tubuh, kita dapat berinteraksi dengan warga, mengenal kondisi kota, turut mengurangi kemacetan lalu lintas, dan menurunkan pencemaran udara.
Untuk menjamin kelancaran dan kenyamanan berjalan kaki, tentu pemerintah kota harus tegas menegakkan aturan hukum untuk menertibkan seluruh kegiatan yang tidak ada hubungan dengan berjalan kaki.
Pemerintah harus menggencarkan bulan tertib trotoar sebagai bagian dari edukasi kepada masyarakat sekaligus membangun budaya berjalan kaki. Membangun kota ramah pejalan kaki merupakan sebuah keharusan, bukan pilihan.
(shf)