Konstitusionalitas Pemindahan Ibu Kota Negara

Rabu, 28 Agustus 2019 - 07:40 WIB
Konstitusionalitas Pemindahan Ibu Kota Negara
Konstitusionalitas Pemindahan Ibu Kota Negara
A A A
M Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII), Staf Bidang Etika dan Hukum UII, Mahasiswa Pascasarjana FH UII

WACANA pemindahan ibu kota yang muncul-redup selama beberapa dekade terakhir kini menjadi kenyataan. Secara resmi Presiden Joko Widodo pada Senin, 26 Agustus 2019, mengumumkan bahwa ibu kota baru terletak di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Gagasan Presiden Joko Widodo ini diisukan ke publik secara resmi pertama kali pada momentum Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2019.

Bentuk sepak terjang Presiden Joko Widodo selama ini dalam memindahkan ibu kota negara tersebut seperti "memohon izin dan mengumumkan wilayah ibu kota baru yang paling ideal" dapat dipandang sebagai langkah politis. Di samping langkah politis tersebut sebenarnya terdapat langkah formal yang tidak kalah pentingnya untuk menyukseskan gagasan ini, yaitu langkah yuridis.

Konstitusionalitas Pemindahan Ibu Kota
Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), sebagai dasar hukum tertinggi dalam bernegara, hanya menyebutkan ketentuan ibu kota di dalam dua pasal. Pertama, Pasal 2 ayat (2) yang menyebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. Kedua, Pasal 23G ayat (1) yang menegaskan Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.

Meskipun di dalam konstitusi tidak diatur secara rinci mengenai ibu kota negara, praktiknya ibu kota negara selama ini memang ditetapkan melalui undang-undang. Penetapan Jakarta sebagai ibu kota negara dapat ditemukan di antaranya di dalam 1) Undang-Undang Nomor 10/1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya Tetap sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan Nama Jakarta.

Kemudian, Undang-Undang Nomor 11/1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Negara Republik Indonesia Jakarta; 3) Undang-Undang Nomor 34/1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Negara Republik Indonesia Jakarta; 4) Undang-Undang Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU 29/2007).

Beberapa regulasi lain yang berkaitan dengan ibu kota negara pun ditetapkan melalui undang-undang. Karenanya, Presiden tidak dapat memutus secara sepihak pemindahan ibu kota tanpa melibatkan DPR. Hal ini menjadi konsekuensi logis atas ketentuan konstitusi Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Indonesia, yang menerapkan indirect democracy, menurut Bagir Manan, sebagai negara demokratis maka kebijakan-kebijakan yang penting yang akan dilaksanakan oleh presiden (eksekutif) seharusnya mendapat kesepakatan lebih dulu dengan lembaga perwakilan (legislatif) sebagai bentuk checks and balances. Artinya, perpindahan ibu kota negara adalah kebijakan yang harus diputuskan bersama-sama presiden dan DPR dan hal ini menjadi syarat konstitusional untuk merealisasikan kebijakan ini.

Kebutuhan Regulasi
Secara yuridis, ada beberapa regulasi yang dibutuhkan dalam rangka pemindahan ibu kota ini. Pertama, undang-undang tentang perubahan UU Nomor 29/2007. Kedua, undang-undang tentang pernyataan bahwa Kalimantan Timur ditetapkan sebagai ibu kota negara baru serta mengubah undang-undang yang mengatur Provinsi Kalimantan Timur yang lama.

Ketiga
, mengubah beberapa undang-undang yang mengatur terkait kelembagaan negara. Hal ini perlu dilakukan apabila lembaga tersebut tetap berkedudukan di Jakarta. Harus dilakukan penyesuaian. Hal ini disebabkan di dalam undang-undang disebutkan bahwa lembaga negara tersebut berkedudukan di ibu kota negara.

Untuk menjamin pelaksanaan kebutuhan regulasi tersebut, menurut Bayu Dwi Anggodo, sebaiknya pelaksanaannya diajukan dalam satu paket agar terjaga konsistensi antarregulasi serta dapat terselesaikan dalam waktu bersamaan. Paket regulasi tentang pemindahan ibu kota negara sebaiknya juga diajukan kepada DPR periode 2019-2024 mengingat DPR periode 2014-2019 akan segara mengakhiri masa tugas sehingga tidak efektif lagi untuk membahas paket regulasi yang strategis ini.

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, pemindahan ibu kota negara bukanlah hal yang terlarang menurut konstitusi, tetapi proses dan cara-caranya telah dipraktikkan selama ini, yaitu penetapannya dengan undang-undang.

Dengan begitu, kebijakan pemindahan ibu kota negara harus diputuskan bersama-sama presiden dengan DPR dan hal ini menjadi syarat konstitusional dalam rangka merealisasikan kebijakan ini. Selain itu, perlu penyesuaian beberapa regulasi yang dapat diajukan dalam satu paket regulasi agar terjaga konsistensinya.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3746 seconds (0.1#10.140)