Kompensasi atas Pemadaman Listrik

Senin, 26 Agustus 2019 - 06:37 WIB
Kompensasi atas Pemadaman Listrik
Kompensasi atas Pemadaman Listrik
A A A
Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian YLKI

WARGA se-Jabodetabek, bahkan warga Jawa Barat, Banten, dan sebagian Jawa Tengah pada Ahad (04/08), masygul dan gundah gulana. Pasalnya, aliran listrik PT PLN padam total, alias blackout, rata-rata lebih dari 5 (lima) jam lamanya. Konsumen listrik meradang karena dirugikan akibat pemadaman tersebut. Maka itu, akibat pemadaman tersebut, PT PLN akan memberikan kompensasi kepada konsumen, rata-rata 35% dari biaya abonemen/biaya beban atau pemakaian minimal.

Kompensasi tersebut akan dieksekusi per 01 September 2019 untuk pemakaian listrik edisi Agustus 2019. Sebagai contoh, untuk listrik golongan R1 2.200 VA (Volt Ampere), akan mendapatkan kompensasi/diskon sebesar Rp45.000-an, sedangkan untuk golongan 900 VA berkisar Rp16.000-an. Total kompensasi yang akan diberikan mencapai nominal yang lumayan fantastis, yakni Rp863 miliar, hampir Rp1 triliun! Angka kompensasi ini merupakan terbesar dalam sejarah pemberian kompensasi sejak periode 2003 sampai sekarang.

Ada beberapa catatan terkait hal ini, yakni: pertama, kompensasi itu diberikan kepada konsumen bukan karena kasuistis saja, tetapi merupakan mandatory regulasi, yakni perintah Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 27/2017 perihal Tingkat Mutu Pelayanan (TMP). Kewajiban memberikan kompensasi ini sejatinya merupakan disinsentif (baca: hukuman) kepada PT PLN atas ketidakmampuannya memenuhi TMP (semacam standar pelayanan minimal) yang harus dipenuhi sebagai operator penyedia ketenagalistrikan di Indonesia.

Kedua, skema TMP dengan kompensasinya mempunyai sejarah panjang dan sejatinya merupakan kebijakan yang inovatif dan prokonsumen sebab kompensasi di bidang ketenagalistrikan digulirkan sejak 2003 sampai sekarang. Jadi, terhitung sudah 18 tahun lamanya. Spirit dari skema TMP/kompensasi adalah operator ketenagalistrikan (PT PLN) agar meningkatkan keandalannya dan itu harus dinyatakan/dideklarasikan kepada publik, khususnya kepada konsumen listrik.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terlibat aktif dalam proses penggodokan/pembuatan TMP ini. YLKI mendesakkan kebijakan ini kepada Kementerian ESDM/Ditjen Ketenagalistrikan sebagai konsekuensi kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada 2002. Waktu itu kenaikan TDL tidak bisa dihindari, mengingat subsidi listrik sudah sangat besar. Sebenarnya manajemen PT PLN tidak setuju/menolak dengan kewajiban memberikan kompensasi ini karena bisa memberatkan finansial PT PLN.

Ketiga, waktu itu indikator TMP ada 13 item , dan jika PT PLN tidak mampu memenuhi tiga item indikator yang dijanjikan, maka PT PLN wajib memberikan kompensasi kepada konsumen. Tiga indikator itu adalah: lamanya pemadaman, kesalahan baca meter, dan jumlah gangguan. Kompensasi untuk hal tersebut sebesar 10% dari biaya abonemen/biaya beban.Saat ini kompensasi bukan hanya pada tiga item, yakni terdapat 6 (enam) item, yaitu: lama gangguan, jumlah gangguan, kecepatan perubahan daya, kesalahan baca kWh meter, koreksi kesalahan rekening, dan kecepatan pelayanan sambung baru. Dan, kompensasinya bukan hanya 10% lagi, tetapi 35%! Dengan demikian, Ditjen Ketenagalistrikan sudah meng-upgrade terkait indikator TMP dan besaran kompensasinya itu.

Memang jika dilihat besaran dan bahkan kerugian riil konsumen, kompensasi ini terasa sangat kecil. Namun, sebagai bentuk disinsentif kepada PT PLN, sebagai pengelola pelayanan publik di sektor ketenagalistrikan; kebijakan ini merupakan wujud keberpihakan pemerintah pada konsumen listrik. Dan, bukan karena akibat pemadaman total saja PT PLN wajib memberikan kompensasi, tetapi terhadap gagalnya pemenuhan TMP tersebut, khususnya untuk enam indikator TMP. Sebagai contoh, berdasar laporan PT PLN pada Kementerian ESDM (2017) PT PLN telah menggelontorkan kompensasi sebesar Rp30 miliar untuk konsumen listrik di seluruh Indonesia.

Setiap tiga bulan, manajemen PT PLN wajib memberikan update kemampuan pemenuhan terhadap 16 indikator TMP tersebut, dan jumlah kompensasi yang diberikan konsumen. Namun, pada dasarnya konsumen tidak ingin mendapatkan kompensasi (sebesar apa pun) dari PT PLN. Yang diinginkan konsumen adalah ada pasokan ketenagalistrikan secara terus-menerus dengan kualitas yang baik, sebagaimana mandat UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.Dengan kata lain, konsumen tidak ingin pasokan listrik mati, tegangan naik-turun, dan apalagi padam blackout. Harapan konkret konsumen dan atau mandat UU Ketenagalistrikan adalah keandalan PT PLN dalam memasok dan melayani konsumen listrik, di semua strata pelanggan. Sebab, pemadaman total adalah kecelakaan yang paling fatal di bidang ketenagalistrikan, sebagaimana sebuah pesawat mengalami crash landing dengan korban massal.

Bukan hanya di Indonesia listrik bisa mengalami padam total. Data menunjukkan, sejak 2011 terdapat 22 negara di dunia yang mengalami padam total, dari mulai 1 jam sampai lebih dari 24 jam, tak terkecuali di negara maju seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Australia. Di Thailand pada 2013 terjadi padam total dengan durasi waktu 10 jam. Di Indonesia pada 1997 listrik pernah padam total se-Jawa Bali, kemudian 2005 padam total di Jakarta, dan terakhir kejadian pada 4 Agustus lalu.Sebagaimana mandat UU Ketenagalistrikan dan ekspektasi masyarakat konsumen, YLKI mendorong 3 (tiga) hal. Pertama, agar PT PLN terus meningkatkan keandalan infrastrukturnya, baik di level hulu (pembangkitan) atau level hilir seperti transmisi, gardu induk, gardu distribusi, dan jaringannya. PT PLN juga harus bersinergi kuat untuk melakukan upaya sosialisasi "trauma pohon sengon" agar tidak menjadi pemicu down aliran listrik, apalagi jika mengakibatkan blackout sistem besar seperti sistem Pulau Jawa, Bali, dan Madura (Jamali). Bahkan sistem Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Pemda, kepolisian, bahkan TNI juga harus bersama-sama mengawal jaringan listrik besar seperti transmisi agar tidak dianeksasi oknum yang tak bertanggung jawab.

Demikian juga warga seharusnya ikut menjaga jaringan dan infrastruktur ketenagalistrikan, bukan malah melakukan vandalisme demi kepentingan ekonomi semata. Sesuai mandat UU Ketenagalistrikan, semua pihak wajib menjaga infrastruktur ketenagalistrikan, bukan hanya kewajiban PT PLN. Kedua, agar Kementerian ESDM lebih serius dalam mengawal kebijakan ketenagalistrikan dan kinerja PT PLN. Sebab, peristiwa blackout bukan hanya tanggung jawab PT PLN selaku operator, tetapi juga tanggung jawab Kementerian ESDM sebagai regulator. Peristiwa blackout juga merupakan bentuk kegagalan Kementerian ESDM dalam mengawal keandalan PT PLN.

Di Jepang saat listrik blackout selama 15 menit, menteri ESDM Jepang membungkuk selama 15 menit sebagai bentuk permintaan maaf pada rakyat. Atas pemadaman kemarin, apa yang dilakukan menteri ESDM sebagai regulator? Urgensi yang lain, idealnya Kementerian ESDM juga meningkatkan besaran kompensasi yang diberikan kepada konsumen seiring dengan implementasi struktur tarif yang telah berbasis keekonomiannya (tarif nonsubsidi).

Terakhir, seharusnya sektor pelayanan publik yang lain diberlakukan kebijakan yang sama, bukan hanya pada PT PLN. Jika gagal melayani konsumen sesuai standar pelayanan yang ditetapkan, operator wajib memberikan kompensasi seperti jalan tol, PDAM, atau bahkan sektor telekomunikasi. Kompensasi di sektor ketenagalistrikan, dan PT PLN sebagai garda depannya, adalah preseden positif yang patut diadopsi oleh operator pelayanan publik lain. Lebih dari itu, jika konsumen belum puas dengan formulasi besaran kompensasi yang diberikan, konsumen bisa melakukan gugatan, baik secara personal dan atau kelompok (class action) kepada operator yang bersangkutan sebagaimana dijamin oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5629 seconds (0.1#10.140)