PKB: Menjaga Momentum, Merawat Ibu Pertiwi

Jum'at, 23 Agustus 2019 - 07:06 WIB
PKB: Menjaga Momentum, Merawat Ibu Pertiwi
PKB: Menjaga Momentum, Merawat Ibu Pertiwi
A A A
Hasanuddin Ali
CEO and Founder Alvara Research Center

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tahun ini telah berusia 20 tahun. Bila diandaikan sebagai manusia maka PKB saat ini boleh dikatakan sebagai partai yang masuk dalam kategori partai generasi milenial dengan karakternya, yakni creative, confidence, dan connected.

Rasanya ini juga tercermin pada kiprah PKB selama ini. PKB menjadi salah satu partai yang digerakkan oleh anak-anak muda dan mampu membuktikan selama 10 tahun terakhir mampu bersaing secara kompetitif dengan partai-partai lainnya.

Partai yang didirikan oleh para kiai dan lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) ini dalam perjalanannya memang mampu bertahan dari terpaan badai sejarah, sekaligus mampu menunjukkan konsistennya dalam menjaga perolehan suara dari pemilu ke pemilu sejak pacareformasi hingga kini.

Meski sempat anjlok di Pemilu Legislatif 2009 karena konflik internal, perolehan suara PKB melonjak drastis di Pemilu 2014 dengan perolehan suara 11,3 juta suara atau setara dengan 47 kursi DPR.

Pada Pemilu 2019, perolehan suara PKB juga mengalami kenaikan, yakni 13,5 juta atau setara dengan 9,69% suara. Perolehan kursi PKB di DPR pun naik menjadi 58 kursi. Kenaikan jumlah suara dan kursi PKB selain didapatkan dari pemilih tradisional NU di Jawa, juga dipicu meningkatnya jumlah pemilih PKB di beberapa daerah di luar Jawa seperti Sulawesi Selatan dan NTT.

PKB dan partai-partai lain dalam lima tahun mendatang menghadapi tiga tantangan yang tidak mudah dalam kontestasi perpolitikan nasional. Pertama , hadirnya generasi baru pemilih Indonesia, yakni mereka yang lahir di atas tahun ‘90-an. Mereka ini generasi yang sangat "melek" informasi, percaya diri, dan kecanduuan internet.

PKB mendatang juga harus mampu menarik perhatian generasi baru muslim. Mereka adalah anak muda muslim kelas menengah yang tinggal di perkotaan. Menurut perhitungan Alvara Research Center, jumlah mereka pada 2020 mencapai 30,59 juta jiwa. Mereka memiliki semangat keberagaman yang tinggi, gadget freak , dan punya pendapatan yang cukup tinggi. Secara tradisi, mereka biasanya di luar spektrum PKB dan NU.

Kedua , lahirnya kompetensi baru berbasis Revolusi Industri 4.0. Banyak sekali kompetensi baru saat ini yang tidak kita temui pada 10 tahun lalu. Big data , artificial intelligence , robotika, adalah sedikit contoh kompetensi yang dibutuhkan hari ini dan masa mendatang.

Bonus demokrasi akan terjadi pada 2025-2030. Bonus ini akan benar-benar dinikmati oleh bangsa Indonesia jika tenaga kerja yang masuk usia produktif, tanpa menafikkan kompetensi yang lain, dibekali kemampuan kompetensi berbasis digital tersebut.

Selain itu, munculnya gairah anak-anak muda menjadi wirausaha harus diakomodasi dan diberi ruang agar terus berkembang hingga menjadi industri berskala nasional dan bisa bersaing dengan pemain-pemain global yang terus merangsek ke industri dalam negeri.

Ketiga, tren intoleransi dan radikalisme. Berakhirnya Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif 2019 tidak membuat tren intoleransi dan radikalisme surut. Sebaliknya, justru masa lima tahun mendatang adalah ujian yang paling berat, karena dampak Pilpres 2019 di mana isu populisme agama yang paling kuat berpengaruh akan memperkuat segregasi sosial masyarakat kita.

Peran PKB bersama NU dalam kondisi ini menjadi sangat penting, tidak hanya untuk meredam tren intoleransi dan radikalisme, tapi juga sekaligus menjadi perekat seluruh elemen bangsa tanpa kecuali.

Sebagai partai berbasis pemilih Islam terbesar di Indonesia, tentu PKB ke depan harus mampu menawarkan "obat" dan solusi untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut. Prasyarat pertama adalah soliditas partai harus tetap dijaga. Kedua , PKB harus mulai berani memasukkan kader-kader lintas sektor keilmuwan, tidak hanya hanya ilmu agama. PKB juga perlu mendorong kader-kader yang lahir di atas ‘80-an untuk mengisi pos-pos penting kepengurusan partai. Ketiga , gerak langkah PKB harus didasarkan pada program dan agenda yang membumi dan melayani semua target pemilihnya.

Di tengah tantangan-tantangan tersebut, PKB harus tetap menjaga pemilih tradisionalnya yaitu pemilih yang berlatar belakang NU. Mengapa demikian? Karena pemilih yang berlatar belakang NU jumlahnya sangat besar. Survei yang dilakukan Alvara Research Center sepanjang 2016-2019 menunjukkan bahwa pemilih muslim yang terafiliasi dengan NU konsisten dalam rentang 50-60%, sementara mereka yang mengaku menjadi anggota NU konsiten dalam rentang 35-40%. Dengan demikian, satu dari dua pemilih muslim Indonesia terafiliasi dengan NU.

Karena itu, strategi klasik paling tepat yang bisa diterapkan PKB adalah tetap mengamalkan kaidah fikih al-muhafadhah 'alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah , memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.

Bila ini strategi ini dijalankan dengan istikamah, PKB akan mampu menjadi jangkar politik kebangsaan Indonesia yang maju dan beradab tanpa harus tercerabut dari akar tradisi kehidupan kebangsaan kita, untuk terus merawat ibu pertiwi. Semoga!
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6749 seconds (0.1#10.140)