Cegah Korupsi, Hapus Dinasti dalam Partai Politik

Jum'at, 16 Agustus 2019 - 12:40 WIB
Cegah Korupsi, Hapus Dinasti dalam Partai Politik
Cegah Korupsi, Hapus Dinasti dalam Partai Politik
A A A
KOORDINATOR Divisi Korupsi Politik pada Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menyatakan, pelaksanaan hingga kemajuan dan kemunduran demokrasi di Indonesia salah satunya sangat bergantung pada partai politik.

Sayangnya, sistem kepartaian Indonesia saat ini belum ideal. Menurut Donal, posisi partai politik sebagai badan publik berdasarkan Undang-Undang (UU) Partai Politik pun seolah terkungkung dalam hegemoni aktor tertentu.

Karenanya, untuk memperbaiki sistem kepartaian di Indonesia, partai politik harus dikembalikan ke posisi tersebut. “Partai politik harus dikembalikan sebagai organisasi berserikatnya pu blik, tidak menjadi instrumen berserikatnya keluarga dan elite-elite tertentu.

Problem hari ini kan kita menemukan partai politik seolah menjadi tempat berkumpulnya keluarga sehingga terbentuklah dinasti politik yang terjadi di lingkungan internal partai,” papar Donal kepada KORAN SINDO.

Partai politik sebagai milik publik pun bisa dilihat dari aspek pendanaan partai politik dan suara yang diberikan masyarakat baik saat pemilu legislatif, pemilihan presiden, maupun pemilihan kepala daerah.

Pendanaan partai politik, ujar Donal, diberikan baik secara langsung kepartai politik maupun tidak langsung melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk logistik kampanye, debat calon, maupun alat peraga.

“Dana yang diberikan kepada partai, baik secara langsung maupun tidak langsung, itu berasal dari rakyat. Hak rakyat harus dijaga dan dikembalikan serta dikonversi dengan demokrasi di tubuh partai menjadi lebih baik,” desaknya.

Donal memaparkan, persoalan korupsi para kepala daerah, pejabat daerah, hingga pimpinan dan anggota DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang sebelumnya diusung dan dicalonkan partai politik memang sangat kompleks.

Aspeknya mencakup korupsi birokrasi, korupsi budgeting , perizinan, maupun legislasi yang berujung terciptanya korupsi politik. Dari temuan ICW, selama ini untuk pencegahan korupsi baik tataran pemerintah pusat maupun daerah ternyata program yang ditawarkan pemerintah pusat hanya mengarah pada reformasi sektor birokrasi seperti e-budgeting, e-procurement, perizinan elektronik, dan dengan lelang jabatan.

Bagi ICW, tutur Donal, reformasi selama ini yang dilakukan pemerintah pusat hingga tingkat daerah hanya setengah jalan dan tidak menjadi obat mujarab untuk mencegah korupsi. Dengan kata-kata lain, hanya reformasi setengah persoalan. Akibatnya tentu saja belum signifikan untuk menggeser atau mengurangi korupsi di daerah.

“Kenapa itu bukan obat mujarab bagi persoalan korupsi? Karena ternyata sumber penting yang tidak pernah disentuh adalah mereformasi sistem kepartaian. Wilayah korupsi politik yang akarnya adalah pada sistem kepartaian tidak pernah diperbaiki oleh pemerintah,” tunjuknya.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ali Munhanif menyatakan, melihat data kader partai politik yang menjadi pelaku korupsi yang ditangani KPK menunjukkan korupsi yang telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia memang sangat luar biasa.

Data itu pun menunjukkan indeks untuk membangun good governance semakin buruk. Karenanya, bisa disimpulkan juga bahwa kini belum ada tanda-tanda pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki sistem pencegahan dan penanggulangan korupsi yang sepadan dengan harapan rakyat.

“Menurut saya, harus ada mekanisme internal pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang betul-betul bekerja untuk antikorupsi. Sistem itu harus dibarengi law enforcement yang tegas, dari level atas sampai bawah, yang memiliki komitmen gerakan emoh korupsi.

Ini juga harus konsisten dijalankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tidak sekadar komitmen,” ucap Ali kepada KORAN SINDO. Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menggariskan, pola korupsi memang bervariasi pada setiap level pemerintahan.

Tapi, tampaknya tetap memiliki alur yang sama yakni melibatkan pihak swasta, bekerja sama dengan aktor di pemerintahan dan legislatif. Di semua level pemerintahan, baik pusat maupun daerah, sangat diperlukan sebuah sistem internal yang mendorong tumbuhnya mentalitas bahwa korupsi adalah dosa kriminal yang tidak termaafkan secara sosial.

“Sebuah budaya emoh korupsi yang terbangun secara gradual, dari unit terkecil kantor hingga sistem pengawasan pemerintahan secara nasional,” ujarnya. (Sabir Laluhu)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5246 seconds (0.1#10.140)