Berkurban pada Era Kemerdekaan

Kamis, 08 Agustus 2019 - 07:53 WIB
Berkurban pada Era Kemerdekaan
Berkurban pada Era Kemerdekaan
A A A
There is no life without sacrifice (tiada hidup tanpa pengorbanan), kata Bung Karno. Kata-kata itu diucapkannya pada saat beliau diminta memberi amanah salat Idul Adha di Masjid Baitur Rahim, Istana Negara, Jakarta, 1 April 1966. Dikutip pula kata-kata ahli falsafah Inggris, Sir Oliver Lodge: no sacrifice is wasted.

Artinya, tiada pengorbanan hilang percuma, sia-sia, tanpa arti. Kiranya, terkait dengan dua momentum, yakni Idul Adha 1440 H dan ulang tahun ke-74 proklamasi kemerdekaan RI, kata-kata bijak dua tokoh dunia itu pantas diaktualisasikan ke dalam kehidupan bernegara Indonesia.

Pada hari Ahad (11 Agustus 2019), Idul Adha kembali dirayakan oleh umat Islam di seluruh penjuru Tanah Air. Pada saat demikian, terkenang sejarah peristiwa berkurban. Dua hamba Allah swt (Ibrahim as dan Ismail as) bapak dan anak, diuji Allah swt dengan ujian mahaberat.

Namun, keduanya ikhlas, sabar, dan sukses menghadapinya. Peristiwa itu terlukis amat indah dalam Alquran. Dilukiskan, ketika Ismail as menginjak usia remaja, sang ayah (Ibrahim as), diperintah Allah swt lewat mimpi agar mengurbankan Ismail as, putra kesayangannya. Berkurban dalam pengertiannya spiritual-religius, yakni menyembelih demi kedekatan dan ketaatan kepada-Nya.

Dapat dibayangkan bagaimana konflik batin bergejolak pada diri Ibrahim as, antara kecintaan kepada anak dan ketaatan pada perintah Ilahi. Ibrahim as telah bertahun-tahun mendambakan anak sebagai generasi penerusnya. Tiba-tiba, diperintahkan-Nya agar anak kesayangannya dikurbankan, disembelih, oleh tangannya sendiri.

Untuk melaksanakan perintah itu, Ibrahim as, mengetuk hati putranya dengan dialog, jalinan komunikasi efektif antara sang ayah dan anak, dalam bingkai keimanan dan kasih sayang.

"Wahai anakku, buah hatiku, sesungguhnya ayah melihat dalam mimpi bahwa saya diperintahkan Allah swt menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa yang akan menjadi keputusanmu." Jawab Ismail as, "Wahai ayahku yang tercinta, laksanakanlah apa yang telah Allah swt perintahkan kepadamu. Insya Allah, ayahanda akan menyaksikan bahwa ananda sabar serta tabah menghadapi ujian itu."

Singkat cerita. Dalam perjalanan menuju Mina, tempat akan dilaksanakannya penyembelihan, godaan-godaan setan datang, berkali-kali, di Ula, Wustho, dan Aqobah. Setiap godaan ditepisnya. Setan dilempari batu, rayuannya tidak digubris.

Ketika perintah penyembelihan dilaksanakan, tiba-tiba Ismail as diganti dengan seekor domba besar (kibas). Allah berfirman: "Dan Kami tebus dia, yaitu Ismail dengan suatu sembelihan yang besar". Itulah prolog sejarah berkurban.

Sebagai epilognya, disyariatkan bagi orang mampu supaya melaksanakan kurban setahun sekali pada hari raya Idul Adha. Bagaimana aktualisasi berkurban pada era kemerdekaan?

Pertama, berkurban itu perintah Allah swt. Penyembelihan anak oleh Bapak, berdasarkan logika, akal-pikiran, sungguh tidak mudah dicerna akal sehat. Nyata bahwa berkurban bukanlah urusan logika semata. Keimanan dan akidah di atas segalanya. Sepadan dengan hakikat berkurban, hakikat kemerdekaan adalah rahmat Allah swt.

Karenanya, kemerdekaan wajib diisi amalan berkurban demi rida Allah swt. Kehormatan Ibrahim as dan anak keturunannya menjadi imam, pemimpin, idola umat, diraihnya dalam kerukunan dan keimanan total Ibrahim as bersama istri dan anaknya. Totalitas ketaatan kepada Allah swt wajib diaktualisasikan oleh segenap komponen bangsa dalam mengisi kemerdekaan.

"Perhatikanlah ketika Allah menguji Ibrahim, dengan berbagai kalimat perintah dan harapan, maka semuanya dapat diselesaikan dengan sempurna. Maka Allah berfirman, "Sesunggunya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata, dan saya mohon juga buat keturunanku. Allah berfirman, janjiku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim" (QS Al-Baqarah: 124).

Kedua, berkurban itu sifatnya universal. Di dalamnya terkandung nilai dan semangat pembebasan dari dominasi hawa nafsu duniawi. Berkurban adalah membunuh kebatilan, diikuti berbagi kasih sayang, keadilan, kebahagiaan kepada sesama manusia.

Berkurban memiliki makna mulia, ketika esensi berkurban dapat ditangkap dengan kejernihan kalbu. Berkurban bukanlah sekadar ritual tanpa makna atau tradisi tanpa arti. Berkurban merupakan peneguhan keimanan, penghayatan dan pengamalan makna kehidupan.

Bangsa Indonesia tidak boleh terbelenggu oleh kehidupan duniawi semata. Visi bernegara, yakni Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil, makmur, wajib diupayakan bersama melalui kesediaan berkurban, berupa jiwa-raga, harta-benda, dan pemikiran progresif-kebangsaan.

Ketiga, makna berkurban wajib diaktualisasikan. Pada zaman modern, era industri 4.0, era serbadigital, serbaponsel, serbainternet, serba-online , serbacanggih, tampak jelas bahwa penyakit cinta dunia telah merebak dan mewabah mencemari kehidupan manusia.

Nilai manusia ditentukan seberapa besar nilai materiilnya. Dikemukakan cendekiawan Inggris, Roospole, bahwa masyarakat modern banyak terjangkiti penyakit kejiwaan.

Mereka sakit karena di satu pihak membutuhkan moralitas-spritual (moral-agama), di pihak lain moralitas-spiritual dicampakkannya. Inilah akar terjadinya krisis multidimensional.

Agar bangsa Indonesia terbebaskan dari krisis multidimensional, maka kadar moralitas-spiritual, profesionalitas dan ketakwaannya mesti ditingkatkan. Pendidikan agama, kebangsaan, dan moralitas-Pancasila wajib dikedepankan kembali.

Ingatlah, "Daging-daging dan darah binatang kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi apa yang akan sampai kepada-Nya hanyalah ketakwaan. Demikianlah dia memperuntukkan binatang ternak itu bagimu semoga kamu mengagungkan Allah. Allah berkenan dengan petunjuk-Nya kepadamu, lalu berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS Al-Hajj: 37). Selamat berkurban. Wallahu’alam.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0732 seconds (0.1#10.140)