DPR Optimistis RUU Pertanahan Segera Disahkan

Rabu, 24 Juli 2019 - 06:08 WIB
DPR Optimistis RUU Pertanahan Segera Disahkan
DPR Optimistis RUU Pertanahan Segera Disahkan
A A A
JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan sudah berlangsung selama tujuh tahun sejak 2012 silam. Hingga kini, RUU tersebut masih dibahas di Komisi II DPR. Meski masih terdapat pro dan kontra, Komisi II optimistis RUU ini bisa segera disahkan DPR pada periode ini yang akan berakhir pada September 2019 mendatang.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan DPR, Herman Khaeron mengatakan sebagian besar anggota Komisi II juga sudah memiliki semangat yang sama untuk menyelesaikan RUU ini. Apalagi, dari 15 bab yang ada, lima bab awal yang menjadi substansi sudah selesai dibahas.

”Itu sudah kami selesaikan. Sepuluh yang lain adalah bab pendukung. Isinya tentang Reforma Agraria, PPSL (Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap), tentang sanksi administratif, sanksi hukum, pembentukan PPMS di bidang pertanahan. Dan saya kira pasal-pasal peralihan itu adalah sebagai pendukung,” ujar Herman Khaeron dalam Diskusi Forum Legislasi bertema ”Tarik Ulur UU Pertanahan” di Media Center MPR/DPR, Senayan, Selasa (23/7/2019).

Herman mengatakan, RUU ini memang agak sensitif karena menyangkut soal tanah dan air, dua hal yang hajat hidup masyarakat banyak. Karena itu, RUU ini menjadi ”seksi” sehingga banyak elemen masyarakat yang ingin berpartisipasi untuk turut serta berkontribusi dalam penyempurnaan undang-undang ini.

”Harapan kami demikian bahwa seluruh lapisan masyarakat dapat berpartisipasi di dalam penyempurnaan terhadap rancangan undang-undang ini,” katanya.

Dijelaskan, RUU adalah inisiatif DPR yang sudah masuk pada prioritas dan program legislasi nasional (prolegnas) periode 2009-2014. Selanjutnya pada periode 2015-2019 kembali masuk menjadi prioritas.

”Sehingga dalam periode ini rancangan undang-undang ini sudah empat tahun berjalan dan sudah akan mengakhiri masa keberadaannya,” paparnya.

Dikatakan Wakil Ketua Komisi II ini, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang menjadi acuan dalam urusan pertanahan, sudah tidak cukup mampu memberikan rasa keadilan di bidang pertanahan bagi masyarakat. ”Oleh karena itu, saya mengedapankan UU ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat,” katanya.

Selain itu, RUU ini merupakan amanat TAP MPR Nomor 9/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. ”Ini amanah yang sudah lama, tentu harus diwujudkan di dalam peraturan perundang-undangan yang mencukupi, yang memadai agar bisa mengatur sektor pertanahan yang di dalamnya juga terkandung sumber daya alam,” katanya.

Herman menegaskan bahwa RUU ini juga sudah dibahas antara DPR dengan presiden, dan presiden telah mengeluarkan AMPRES (Amanah Presiden) kepada empat kementerian, yakni Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) sebagai koordinator, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Plt Biro Hukum dan Humas ATR-BPN, Andi Tenrisau mengatakan banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan dalam hal pertanahan. Salah satunya adalah UU yang mengamanatkan bahwa pengaturan hak milik harus dengan undang-undang. ”Sampai sekarang itu belum, itu kami sangat tunggu,” katanya.

Begitu pula Amanat TAP MPR No 9/2001 Pasal 7 yang mengamanatkan perlu pengaturan lebih lanjut tetang pelaksaan pembaruan agraria. Dalam konteks lainnya, pengaturan pertanahan atau agraria selama ini masih ada ketimpangan struktur penguasaan pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan yang belum ideal.

”Masih ada juga tumpang tindih pengaturan tentang sumber daya agraria. Kita tahu semua ada senketa konflik pertahanan juga masih belum secepatnya yang kita harapkan untuk diselesaikan,” katanya. Karena itu, pihaknya sangat mengharapkan RUU ini bisa diselesaikan DPR periode ini.

Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul menambahkan, ya hanya menambahkan, gagasan dasar RUU ini tidak untuk mengantikan UU Nomor 5 Tahun 1960. ”Ini penting agar prisip-prinsip penting agar UU No 5 tahun 1960 tetap dijaga,” tuturnya.

Dalam RUU ini, ada sejumlah pembaharuan di antaranya soal mekanisme penyelesaian sengketa, adanya lembaga penjamin sertifikat, dan juga adanya bank tanah. ”Inilah yang saya kira pembaruan-pembaruan untuk menjawab beberapa persoalan yang selama ini muncul konkret. Kalau bicara tentang lembaga penyelesaian sengketa itu berarti salah satu jawaban terhadap permasalahan mengenai konflik-konflik yang selama ini terjadi di masyarakat konflik pertanahan,” katanya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5354 seconds (0.1#10.140)