Urgensi Kelembagaan Destinasi Superprioritas
A
A
A
Dony Oskaria
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional Republik Indonesia (KEIN RI), Ketua Pokja Industri Pariwisata Nasional KEIN RI
PEMERINTAH telah mengerucutkan fokus pengembangan destinasi dari 10 destinasi prioritas menjadi empat destinasi superprioritas, yaitu Toba, Borobudur, Mandalika, dan Labuhan Bajo. Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan alokasi fiskal yang tidak sedikit untuk mengakselerasi empat destinasi superprioritas tersebut.
Hanya, alokasi fiskal mayoritas ditujukan untuk pembangunan infrastruktur. Memang infrastruktur tak bisa dinafikan sebagai salah satu faktor utama kemajuan destinasi. Kendati demikian, infrastruktur bukan segalanya. Infrastruktur memang salah satu kunci penguatan aksesibilitas menuju dan sekitar destinasi, tapi kelembagaan pengelolaan destinasi juga tak kalah pentingnya.
Tanggung jawab pengemasan, penciptaan atraksi-atraksi pendukung, penentuan master plan dan pengadaan roadmap bisnis kepariwisataan di kawasan destinasi, desain branding, penentuan target pemasaran dan promosi, secara praktis akan ada di tangan pengelola atau Destination Management Organisation (DMO). Karena itu, DMO, pengelola, atau sisi kelembagaan juga tak kalah penting.
Dengan kata lain, pembenahan aksesibilitas dan infrastruktur fisik destinasi superprioritas harus berbarengan dengan pengentasan soal kelembagaan pengelolaan destinasi. Tak ada atraksi di kawasan destinasi yang berkembang pesat dengan sendirinya tanpa dikelola oleh lembaga tersendiri yang fokus mengembangkannya.
Jadi pembenahan infrastruktur sebaiknya paralel dengan penyiapan kelembagaan kepariwisataan di kawasan destinasi. Dan, pengembangan kelembagaan destinasi superprioritas memerlukan regulasi, insentif, dan dukungan dari SDM kepariwisataan yang andal dan profesional. Kelembagaan yang muncul dalam bentuk badan pengelola tersebut bisa dari pihak mana saja, BUMN, BUMD, Bumdes, Pokdarwis, atau swasta sekalipun, semuanya bisa menjadi pengelola.
Sebut saja Toba misalnya. Di Toba terdapat sangat banyak atraksi, baik atraksi alam, budaya, maupun atraksi buatan. Namun, mayoritas destinasi pendukung tersebut belum memiliki pengelola. Paling banter pihak dinas terkait menempatkan UPT yang digawangi satu ASN yang hanya mengurus tiket.
Sementara dari sisi pengembangan bisnisnya praktis tak tersentuh, mulai dari perencanaan desain atraksi, desain kawasan destinasi, pemasaran, promosi, dan lainnya. Jadi, saya kira, selain fokus mengakselerasi infrastruktur, pemerintah pusat dan daerah juga sebaiknya segera pula bersepakat soal pengelola destinasi utama dan pengelola destinasi-destinasi pendukung di kawasan destinasi superprioritas tersebut.
Jika sudah bersepakat, maka kemudian harus disiapkan regulasi pendukung yang menguatkannya secara hukum, menyiapkan insentif disentif yang tepat, dan memberikan target-target bisnis wisata dalam angka tertentu kepada mereka, jika ada uang daerah atau pusat yang disertakan kepada mereka, atau target-target tertentu lainnya, yang terkait dengan rencana pencapaian dari destinasi superprioritas dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu, pemerintah pusat maupun daerah tak perlu dibuat repot lagi mengurus segala persoalan yang ada di destinasi.
Masalah saat ini, badan pengelola yang berupa Otoritas Pariwisata di Toba malah diberi lahan tersendiri yang kurang terkait langsung dengan kawasan Danau sehingga tercerabut dari kewajibannya untuk mengembangkan kawasan Toba secara kawasan. Artinya, Otoritas Pariwisata Toba sejatinya jangan diperlakukan seperti DMO yang mengurus satu destinasi, tapi menjadi pengelola kawasan Toba secara keseluruhan di mana tanggung jawab strategis pengembangan Danau Toba ada di tangannya. Dengan lain perkataan, Badan Otoritas harus diposisikan sebagai koordinator untuk semua DMO yang ada di kawasan Toba.
Nah, saat ini mayoritas destinasi di Danau Toba belum memiliki pengelola. Jadi tugas Badan Otoritas adalah menyiapkan roadmappembentukan DMO-DMO di setiap destinasi pendukung yang ada di kawasan Danau Toba. Selain itu, Badan Otoritas juga berfungsi sebagai pembuat masterplan pariwisata kawasan Toba, akan dikembangkan seperti apa kawasan tersebut, berapa lama targetnya untuk menyiapkan kawasan agar bisa dijual, negara mana saja target pasarnya, bagaimana model branding dan promosinya, dan semua tetek bengek urusan pengembangan destinasi Toba.Dan, itu semua harus diawali dengan pemberian wewenang otoritatif kepada Badan Otoritas untuk berkoordinasi dengan siapa pun yang dibutuhkan dalam rangka pengembangan kawasan Toba.
Hal yang sama terjadi dengan Badan Otoritas di Borobudur. Lembaga ini berfungsi sebagai satuan kerja Kementerian Pariwisata dan diberi lahan di salah satu kawasan pegunungan Yogya. Sampai hari ini belum ada pergerakan yang berarti, bahkan urusan status lahan pun belum ada titik terang sama sekali.
Sementara itu, wewenang koordinatif yang dimiliki Badan Otoritas Borobudur ini tak mengikat sama sekali, padahal salah satu fungsi utamanya adalah menjadi koordinator pengembangan kawasan Joglosemar. Walhasil, tak ada para pihak di sana yang merasa perlu untuk mendengarkan, apalagi bekerja sama dengan Badan Otoritas Borobudur dalam rangka pengembangan kawasan Joglosemar.
Untungnya, DMO seperti pengelola kawasan Borobudur dan Prambanan, yang digawangi oleh BUMN TWC, sudah berpikir sampai ke sana, yakni menyiapkan masterplan pengembangan kawasan Joglosemar alias tidak hanya kawasan Borobudur. Walaupun sebenarnya tugas ini adalah milik Badan Otoritas Regional yang berfungsi menyiapkan destinasi-destinasi, dari nol sampai layak jual, untuk kemudian di-branding, dipromosikan, dan dijual oleh Kementerian Pariwisata.
Jadi ada baiknya, pemerintah meninjau ulang beberapa kebijakan terkait dengan penetapan Badan Otoritas ini, baik terkait dengan pemberian lahan maupun dengan cakupan wewenang (scope of authority) yang telah diberikan.
Kondisi berbeda terjadi di Mandalika karena telah ada BUMN sekelas ITDC yang menggawanginya. Hasilnya setidaknya sudah bisa dilihat. Berkat presensi ITDC, lahirlah rencana event internasional sekelas Grand Prix di Mandalika. Mengapa? Karena, Mandalika ada yang mengurus.
ITDC telah menyiapkan roadmap pariwisata untuk kawasan Mandalika. Mereka benar-benar berkonsentrasi untuk itu sehingga melahirkan salah satu terobosan pengadaan event berskala internasional di Mandalika. Lihat saja perbedaannya di saat Mandalika belum memiliki Badan Pengelola atau DMO, Mandalika seperti kawasan tak terurus.
Persoalannya, ITDC sebagai DMO tentu hanya terikat dengan luas kawasan yang dipercayakan kepada mereka seperti Nusa Dua, Bali yang juga dikelola oleh ITDC. Lantas bagaimana dengan kawasan di luar lokasi yang mereka kuasai? Bagaimana dengan grand design kepariwisataan regionalnya? Lagi-lagi di sinilah sebenarnya peran yang diharapkan dari Badan Otoritas.
Bahkan jika perlu berhemat kelembagaan, cukup satu Badan Otoritas untuk Mandalika dan Labuan Bajo, yang incharge dan bertanggung jawab menyiapkan landasan konseptual dan program strategis untuk mengembangkan kedua kawasan tersebut secara komprehensif, bukan per destinasi, termasuk menyiapkan DMO-DMO di setiap destinasi di dua kawasan tersebut.
Setelah itu, perkara pengembangan per destinasi cukup diserahkan kepada DMO yang telah terbentuk tersebut. Fungsi Badan Otoritas sebatas koordinator lintas DMO saja jika destinasi dan DMO-nya telah terbentuk. Semoga.
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional Republik Indonesia (KEIN RI), Ketua Pokja Industri Pariwisata Nasional KEIN RI
PEMERINTAH telah mengerucutkan fokus pengembangan destinasi dari 10 destinasi prioritas menjadi empat destinasi superprioritas, yaitu Toba, Borobudur, Mandalika, dan Labuhan Bajo. Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan alokasi fiskal yang tidak sedikit untuk mengakselerasi empat destinasi superprioritas tersebut.
Hanya, alokasi fiskal mayoritas ditujukan untuk pembangunan infrastruktur. Memang infrastruktur tak bisa dinafikan sebagai salah satu faktor utama kemajuan destinasi. Kendati demikian, infrastruktur bukan segalanya. Infrastruktur memang salah satu kunci penguatan aksesibilitas menuju dan sekitar destinasi, tapi kelembagaan pengelolaan destinasi juga tak kalah pentingnya.
Tanggung jawab pengemasan, penciptaan atraksi-atraksi pendukung, penentuan master plan dan pengadaan roadmap bisnis kepariwisataan di kawasan destinasi, desain branding, penentuan target pemasaran dan promosi, secara praktis akan ada di tangan pengelola atau Destination Management Organisation (DMO). Karena itu, DMO, pengelola, atau sisi kelembagaan juga tak kalah penting.
Dengan kata lain, pembenahan aksesibilitas dan infrastruktur fisik destinasi superprioritas harus berbarengan dengan pengentasan soal kelembagaan pengelolaan destinasi. Tak ada atraksi di kawasan destinasi yang berkembang pesat dengan sendirinya tanpa dikelola oleh lembaga tersendiri yang fokus mengembangkannya.
Jadi pembenahan infrastruktur sebaiknya paralel dengan penyiapan kelembagaan kepariwisataan di kawasan destinasi. Dan, pengembangan kelembagaan destinasi superprioritas memerlukan regulasi, insentif, dan dukungan dari SDM kepariwisataan yang andal dan profesional. Kelembagaan yang muncul dalam bentuk badan pengelola tersebut bisa dari pihak mana saja, BUMN, BUMD, Bumdes, Pokdarwis, atau swasta sekalipun, semuanya bisa menjadi pengelola.
Sebut saja Toba misalnya. Di Toba terdapat sangat banyak atraksi, baik atraksi alam, budaya, maupun atraksi buatan. Namun, mayoritas destinasi pendukung tersebut belum memiliki pengelola. Paling banter pihak dinas terkait menempatkan UPT yang digawangi satu ASN yang hanya mengurus tiket.
Sementara dari sisi pengembangan bisnisnya praktis tak tersentuh, mulai dari perencanaan desain atraksi, desain kawasan destinasi, pemasaran, promosi, dan lainnya. Jadi, saya kira, selain fokus mengakselerasi infrastruktur, pemerintah pusat dan daerah juga sebaiknya segera pula bersepakat soal pengelola destinasi utama dan pengelola destinasi-destinasi pendukung di kawasan destinasi superprioritas tersebut.
Jika sudah bersepakat, maka kemudian harus disiapkan regulasi pendukung yang menguatkannya secara hukum, menyiapkan insentif disentif yang tepat, dan memberikan target-target bisnis wisata dalam angka tertentu kepada mereka, jika ada uang daerah atau pusat yang disertakan kepada mereka, atau target-target tertentu lainnya, yang terkait dengan rencana pencapaian dari destinasi superprioritas dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu, pemerintah pusat maupun daerah tak perlu dibuat repot lagi mengurus segala persoalan yang ada di destinasi.
Masalah saat ini, badan pengelola yang berupa Otoritas Pariwisata di Toba malah diberi lahan tersendiri yang kurang terkait langsung dengan kawasan Danau sehingga tercerabut dari kewajibannya untuk mengembangkan kawasan Toba secara kawasan. Artinya, Otoritas Pariwisata Toba sejatinya jangan diperlakukan seperti DMO yang mengurus satu destinasi, tapi menjadi pengelola kawasan Toba secara keseluruhan di mana tanggung jawab strategis pengembangan Danau Toba ada di tangannya. Dengan lain perkataan, Badan Otoritas harus diposisikan sebagai koordinator untuk semua DMO yang ada di kawasan Toba.
Nah, saat ini mayoritas destinasi di Danau Toba belum memiliki pengelola. Jadi tugas Badan Otoritas adalah menyiapkan roadmappembentukan DMO-DMO di setiap destinasi pendukung yang ada di kawasan Danau Toba. Selain itu, Badan Otoritas juga berfungsi sebagai pembuat masterplan pariwisata kawasan Toba, akan dikembangkan seperti apa kawasan tersebut, berapa lama targetnya untuk menyiapkan kawasan agar bisa dijual, negara mana saja target pasarnya, bagaimana model branding dan promosinya, dan semua tetek bengek urusan pengembangan destinasi Toba.Dan, itu semua harus diawali dengan pemberian wewenang otoritatif kepada Badan Otoritas untuk berkoordinasi dengan siapa pun yang dibutuhkan dalam rangka pengembangan kawasan Toba.
Hal yang sama terjadi dengan Badan Otoritas di Borobudur. Lembaga ini berfungsi sebagai satuan kerja Kementerian Pariwisata dan diberi lahan di salah satu kawasan pegunungan Yogya. Sampai hari ini belum ada pergerakan yang berarti, bahkan urusan status lahan pun belum ada titik terang sama sekali.
Sementara itu, wewenang koordinatif yang dimiliki Badan Otoritas Borobudur ini tak mengikat sama sekali, padahal salah satu fungsi utamanya adalah menjadi koordinator pengembangan kawasan Joglosemar. Walhasil, tak ada para pihak di sana yang merasa perlu untuk mendengarkan, apalagi bekerja sama dengan Badan Otoritas Borobudur dalam rangka pengembangan kawasan Joglosemar.
Untungnya, DMO seperti pengelola kawasan Borobudur dan Prambanan, yang digawangi oleh BUMN TWC, sudah berpikir sampai ke sana, yakni menyiapkan masterplan pengembangan kawasan Joglosemar alias tidak hanya kawasan Borobudur. Walaupun sebenarnya tugas ini adalah milik Badan Otoritas Regional yang berfungsi menyiapkan destinasi-destinasi, dari nol sampai layak jual, untuk kemudian di-branding, dipromosikan, dan dijual oleh Kementerian Pariwisata.
Jadi ada baiknya, pemerintah meninjau ulang beberapa kebijakan terkait dengan penetapan Badan Otoritas ini, baik terkait dengan pemberian lahan maupun dengan cakupan wewenang (scope of authority) yang telah diberikan.
Kondisi berbeda terjadi di Mandalika karena telah ada BUMN sekelas ITDC yang menggawanginya. Hasilnya setidaknya sudah bisa dilihat. Berkat presensi ITDC, lahirlah rencana event internasional sekelas Grand Prix di Mandalika. Mengapa? Karena, Mandalika ada yang mengurus.
ITDC telah menyiapkan roadmap pariwisata untuk kawasan Mandalika. Mereka benar-benar berkonsentrasi untuk itu sehingga melahirkan salah satu terobosan pengadaan event berskala internasional di Mandalika. Lihat saja perbedaannya di saat Mandalika belum memiliki Badan Pengelola atau DMO, Mandalika seperti kawasan tak terurus.
Persoalannya, ITDC sebagai DMO tentu hanya terikat dengan luas kawasan yang dipercayakan kepada mereka seperti Nusa Dua, Bali yang juga dikelola oleh ITDC. Lantas bagaimana dengan kawasan di luar lokasi yang mereka kuasai? Bagaimana dengan grand design kepariwisataan regionalnya? Lagi-lagi di sinilah sebenarnya peran yang diharapkan dari Badan Otoritas.
Bahkan jika perlu berhemat kelembagaan, cukup satu Badan Otoritas untuk Mandalika dan Labuan Bajo, yang incharge dan bertanggung jawab menyiapkan landasan konseptual dan program strategis untuk mengembangkan kedua kawasan tersebut secara komprehensif, bukan per destinasi, termasuk menyiapkan DMO-DMO di setiap destinasi di dua kawasan tersebut.
Setelah itu, perkara pengembangan per destinasi cukup diserahkan kepada DMO yang telah terbentuk tersebut. Fungsi Badan Otoritas sebatas koordinator lintas DMO saja jika destinasi dan DMO-nya telah terbentuk. Semoga.
(whb)