Sejumlah Kebijakan Pemerintah Diharapkan Sinkron dengan Daerah
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kebijakan antara pemerintah maupun daerah dinilai kerap tidak sinkron. Bisa jadi ribuan masalah serupa dengan kasus berbeda kemungkinan terjadi, namun tidak terekspos media massa.
Hal tersebut dikatakan Pegiat Media Sosial, Rudi S Kamri. Menurutnya, penyebabnya adalah tidak adanya komunikasi konstruktif yang dibangun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda).
"Akibatnya, banyak kebijakan strategis pemerintah pusat atau kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak dijalankan sesuai dengan tujuan mulia yang diinginkan," kata Rudi melalui pers rilis, Minggu (21/7/2019).
Permasalahan atas ketisaksinkronan ini yang terbaru yakni terjadinya polemik panas di media massa antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly dengan Wali kota Tangerang, Banten, Arief R Wismansyah.
"Ujungnya, masyarakat luas yang dirugikan atas silang sengkarut yang terjadi. Contoh lain adalah rencana besar Presiden Joko Widodo untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif," ucapnya.
Menurut Rudi, reformasi perizinan dengan cara memangkas secara signifikan birokrasi perizinan di tingkat pusat, khususnya yang dilakukan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada kenyataannya tidak semua pemda mengikuti langkah positif yang dilakukan pemerintah pusat.
Karenanya sambung dia, berdampak iklim investasi yang kondusif seperti harapan Presiden Jokowi tidak kunjung terealisasi. Banyak hal yang menjadi biang keladi tidak sinkronnya kebijakan pemerintah pusat dan pemda.
"Salah satunya adalah belum terbentuknya etos kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) secara menyeluruh sehingga adagium, "kalau bisa dipersulit mengapa harus dimudahkan?” terus terpelihara. Mindset koruptif seperti ini masih menjadi virus menjijikkan yang terjadi di berbagai daerah," ungkapnya.
"Belum lagi ada kepentingan politik yang melatarbelakanginya. Bahkan kepala daerah dari kubu koalisi yang berbeda dengan koalisi pendukung Presiden terkadang ada kesengajaan untuk menggergaji kebijakan pemerintah pusat," sambungnya.
Diakui Rudi, dampak pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung juga bisa berpotensi menimbulkan langkah kebijakan yang sengaja dibuat berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat. Tujuan mempersulit birokrasi perizinan di level daerah dalam hal ini adalah untuk kepentingan mengumpulkan modal untuk membiayai perhelatan kontestasi pilkada.
"Belum lagi adanya indikasi ribuan peraturan daerah (perda) yang tidak sinkron dengan peraturan pemerintah pusat. Intinya banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya ketidaksinkronan kebijakan pemerintah pusat dan pemda," jelasnya.
Pertanyaannya kata Rudi, siapa yang berkewajiban menjadi alat Presiden untuk memonitor agar kebijakannya dilaksanakan atau menjaga sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemda?
"Era administrasi pemerintahan Presiden Soeharto ada jabatan otonom di luar kementerian yang dibuat Presiden untuk melakukan tugas khusus melakukan kegiatan monitoring dan pengawasan jalannya kebijakan pemerintah pusat, yaitu Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden," tuturnya.
Dijelaskan, Rudi, kita ingat sosok tokoh Jawa Barat Solichin Gautama Purwanegara atau Mang Ihin lama menduduki jabatan tersebut. Tapi setelah rezim Orde Baru tumbang, jabatan ini hilang.
Baru kemudian di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibentuk Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang dijabat Kuntoro Mangkusubroto.
"Namun saat masuk ke administrasi pemerintahan Presiden Jokowi, jabatan ini pun dihapuskan. Saya sangat berharap tugas pokok dan fungsi (tupoksi) monitoring dan pengawasan pembangunan ini dilakukan oleh Kantor Staf Kepresidenan, tapi realitanya instansi itu hanya fokus menjadi lembaga think-thank dari Presiden Jokowi," katanya.
Karenanya menurut dia, dengan kenyataan tersebut, diharapkan pada periode pemerintahan Presiden Jokowi lima tahun ke depan, mau membentuk badan khusus atau lembaga setingkat kementerian negara yang bertugas melakukan monitoring dan pengawasan arah pembangunan nasional serta melakukan sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan pemda.
"Terbentuknya lembaga ini akan memudahkan Presiden untuk melakukan pengawasan, monitoring dan evaluasi kebijakan yang strategis. Sebetulnya dua tahun lalu tokoh nasional, Suhendra Hadikuntono pernah mengusulkan terbentuknya Badan Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah," pungkasnya.
Hal tersebut dikatakan Pegiat Media Sosial, Rudi S Kamri. Menurutnya, penyebabnya adalah tidak adanya komunikasi konstruktif yang dibangun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda).
"Akibatnya, banyak kebijakan strategis pemerintah pusat atau kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak dijalankan sesuai dengan tujuan mulia yang diinginkan," kata Rudi melalui pers rilis, Minggu (21/7/2019).
Permasalahan atas ketisaksinkronan ini yang terbaru yakni terjadinya polemik panas di media massa antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly dengan Wali kota Tangerang, Banten, Arief R Wismansyah.
"Ujungnya, masyarakat luas yang dirugikan atas silang sengkarut yang terjadi. Contoh lain adalah rencana besar Presiden Joko Widodo untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif," ucapnya.
Menurut Rudi, reformasi perizinan dengan cara memangkas secara signifikan birokrasi perizinan di tingkat pusat, khususnya yang dilakukan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada kenyataannya tidak semua pemda mengikuti langkah positif yang dilakukan pemerintah pusat.
Karenanya sambung dia, berdampak iklim investasi yang kondusif seperti harapan Presiden Jokowi tidak kunjung terealisasi. Banyak hal yang menjadi biang keladi tidak sinkronnya kebijakan pemerintah pusat dan pemda.
"Salah satunya adalah belum terbentuknya etos kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) secara menyeluruh sehingga adagium, "kalau bisa dipersulit mengapa harus dimudahkan?” terus terpelihara. Mindset koruptif seperti ini masih menjadi virus menjijikkan yang terjadi di berbagai daerah," ungkapnya.
"Belum lagi ada kepentingan politik yang melatarbelakanginya. Bahkan kepala daerah dari kubu koalisi yang berbeda dengan koalisi pendukung Presiden terkadang ada kesengajaan untuk menggergaji kebijakan pemerintah pusat," sambungnya.
Diakui Rudi, dampak pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung juga bisa berpotensi menimbulkan langkah kebijakan yang sengaja dibuat berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat. Tujuan mempersulit birokrasi perizinan di level daerah dalam hal ini adalah untuk kepentingan mengumpulkan modal untuk membiayai perhelatan kontestasi pilkada.
"Belum lagi adanya indikasi ribuan peraturan daerah (perda) yang tidak sinkron dengan peraturan pemerintah pusat. Intinya banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya ketidaksinkronan kebijakan pemerintah pusat dan pemda," jelasnya.
Pertanyaannya kata Rudi, siapa yang berkewajiban menjadi alat Presiden untuk memonitor agar kebijakannya dilaksanakan atau menjaga sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemda?
"Era administrasi pemerintahan Presiden Soeharto ada jabatan otonom di luar kementerian yang dibuat Presiden untuk melakukan tugas khusus melakukan kegiatan monitoring dan pengawasan jalannya kebijakan pemerintah pusat, yaitu Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden," tuturnya.
Dijelaskan, Rudi, kita ingat sosok tokoh Jawa Barat Solichin Gautama Purwanegara atau Mang Ihin lama menduduki jabatan tersebut. Tapi setelah rezim Orde Baru tumbang, jabatan ini hilang.
Baru kemudian di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibentuk Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang dijabat Kuntoro Mangkusubroto.
"Namun saat masuk ke administrasi pemerintahan Presiden Jokowi, jabatan ini pun dihapuskan. Saya sangat berharap tugas pokok dan fungsi (tupoksi) monitoring dan pengawasan pembangunan ini dilakukan oleh Kantor Staf Kepresidenan, tapi realitanya instansi itu hanya fokus menjadi lembaga think-thank dari Presiden Jokowi," katanya.
Karenanya menurut dia, dengan kenyataan tersebut, diharapkan pada periode pemerintahan Presiden Jokowi lima tahun ke depan, mau membentuk badan khusus atau lembaga setingkat kementerian negara yang bertugas melakukan monitoring dan pengawasan arah pembangunan nasional serta melakukan sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan pemda.
"Terbentuknya lembaga ini akan memudahkan Presiden untuk melakukan pengawasan, monitoring dan evaluasi kebijakan yang strategis. Sebetulnya dua tahun lalu tokoh nasional, Suhendra Hadikuntono pernah mengusulkan terbentuknya Badan Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah," pungkasnya.
(maf)