Mengurai Benang Kusut Penjara Kita

Jum'at, 19 Juli 2019 - 06:10 WIB
Mengurai Benang Kusut...
Mengurai Benang Kusut Penjara Kita
A A A
M Nasir Djamil
Anggota Panitia Kerja RUU Pemasyarakatan DPR RI


"Prison itself is a tremendous education in the need for patience and perseverance. It is above all a test of one's commitment " (Nelson Mandela)

LEMBAGA Pemasyarakatan atau yang lebih dikenal dengan nama penjara, kini ibarat bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Sejumlah permasalahan kini mendera rumah besar para narapidana tersebut, mulai problem kelebihan kapasitas, sejumlah peristiwa penyiksaan yang dialami tahanan berisiko tinggi, pusat pengendalian narkoba, larinya napi, kerusuhan, petugas terlibat dengan napi dalam hal narkoba, hingga pungutan liar.

Dibutuhkan upaya yang sistemis dan komprehensif untuk menyelesaikannya, salah satunya mengubah undang-undang yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UUPAS) Kompleksnya persoalan penjara tentu tidak bisa diselesaikan secara instan. Namun memperbaiki sistem melalui ketentuan hukum yang ada, bukanlah sesuatu yang mudarat.

Idealnya, penjara itu rumah bagi mereka untuk merenung, memikirkan kesalahannya, kemudian menyadari betapa kebaikan lebih diutamakan dibanding keburukan. Seperti halnya Nelson Mandela yang menyebut penjara adalah tempat pendidikan yang luar biasa untuk melatih kesabaran dan ketekunan. Penjara adalah ujian komitmen seseorang.

Perubahan Paradigma

Senada dengan Mandela, tentu kita memang harus menempatkan penjara sebagai wadah untuk memperbaiki mereka yang pernah terjerat dalam pidana. Harus ada pergeseran paradigma pemidanaan, dari aliran retributif yang menitikberatkan pada pembalasan ke arah restoratif atau pemulihan. Pergeseran paradigma ini sesungguhnya bukan barang baru. Konsep keadilan restoratif merupakan bentuk reintegrasi sosial, sebagaimana yang dikenal sebagai sistem pemasyarakatan.

Pemasyarakatan sudah seharusnya menjadikan reintegrasi sosial sebagai tujuan yang akan dicapai. Reintegrasi sosial yang ingin diwujudkan adalah terintegrasinya hubungan antara terpidana dan masyarakat.

Oleh karena itu, pembinaan narapidana dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat. Seluruh elemen ini mempunyai kedudukan dan peran yang saling mendukung tercapainya tujuan pemasyarakatan.

Tujuan reintegrasi sosial dalam pelaksanaan pidana penjara memberikan perhatian yang seimbang antara masyarakat dan narapidana. Perilaku melanggar hukum dipandang sebagai gejala adanya keretakan hubungan antara pelanggar hukum dan masyarakat. Oleh karena itu, pembinaan terhadap narapidana harus ditujukan untuk dapat memperbaiki keretakan hubungan tersebut. Narapidana berhak mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk bersosialisasi dengan masyarakat.

Harapannya, penjara tidak lagi melahirkan dehumanisasi, tetapi justru menyiapkan kesiapan batin narapidana menjadi manusia seutuhnya yang dapat membaur dengan masyarakat. Sayangnya, fakta malah merekam banyak mantan narapidana justru kembali melakukan kejahatan di masyarakat setelah dinyatakan bebas. Penjara seolah menjadi tempat seseorang terjebak oleh kekerasan baru bagaikan spiral kejahatan.

Problem Sistem

Kondisi ini tidak lepas dari carut-marutnya pengelolaan lembaga pemasyarakatan (lapas). Hal ini berimbas dengan banyaknya kasus penyelewengan, bahkan pidana, yang justru terjadi di lembaga ini. Sebut saja insiden kerusuhan, pelanggaran aturan bagi terpidana, sampai pada peredaran narkoba terjadi dalam lapas. Harus diakui, ada sistem yang salah dalam pengelolaan lapas itu sendiri.

Banyaknya problem di lapas, jelas menambah daftar panjang kesalahan tata kelola lapas. Salah satu yang krusial adalah persoalan kelebihan kapasitas, yang kemudian melahirkan problem lainnya, seperti napi kabur, narkoba, sampai asusila dan kelainan seksual. Untuk itu, langkah pemerintah melakukan revisi terhadap UUPAS harus menjadi momentum untuk memperbaiki sistem di lapas ini.

Bagaimanapun, keberadaan UUPAS yang sudah berjalan 22 tahun ini patut ditinjau ulang. Kesalahan tata kelola yang berimbas pada problem akut di lapas boleh jadi bersumber dari keberadaan undang-undang yang usang. Pembentukan panitia kerja (panja) rancangan undang-undang pemasyarakatan di DPR pada Juni lalu harus menjadi pintu untuk mereformasi lapas.

Salah satu yang menurut penulis segera dipikirkan adalah terkait dualisme dalam pengelolaan lapas itu sendiri. KPK pernah menyatakan, salah satu penyebab kekacauan pengelolaan lapas akibat dualisme pengelolaan lapas.

Dualisme ini menjadi penyebab kondisi lapas kian memburuk sebelas tahun terakhir ini. Hal ini terbukti dengan berbagai persoalan mendasar yang disebut di atas yang tak pernah terselesaikan.

Badan Tunggal

Untuk itu, upaya memisahkan lapas dari urusan Kementerian Hukum dan HAM bisa menjadi solusi yang fundamental.

Pengelolaan lapas bisa dilakukan oleh badan tunggal, seperti Badan Pemasyarakatan Nasional (Bapasnas) yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Bapasnas ini pernah digulirkan pada era SBY yang direkomendasikan dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) pada 2012.

Hasil audit ini merekomendasikan agar lapas menjadi satu korporasi yang membawahi masalah tata laksana dan keuangan pemasyarakatan. Rekomendasi ini dilatarbelakangi hal yang sangat mendasar yang tidak dimiliki oleh Ditjen Pemasyarakatan selama ini, yakni sumber daya manusia, sarana dan prasarana kelembagaan, keuangan, perencanaan kegiatan, dan sebagainya. Rekomendasi BPK juga mencatat ada akibat-akibat yang mendasar dalam tubuh lapas, yakni masalah keamanan dan ketertiban. Masalahnya, Ditjen Pemasyarakatan tidak punya garis komando yang jelas untuk mengemban beban tersebut.

Keberadaan Bapasnas atau apa pun nama lembaganya, sudah menjadi keniscayaan untuk penyelesaian berbagai persoalan di lapas. Bagaimanapun, lapas harus menjadi tempat yang mendukung upaya pemulihan dari mereka yang terjerat pidana. Lapas harus menjadi wadah untuk mengembalikan harkat hidup para penghuninya sebelum mereka kembali di tengah masyarakat. Ada jutaan manusia para pencari keadilan yang berada di naungan lapas. Mereka berhak mendapatkan pelayanan yang baik dari manajemen pengelolaan lapas yang mandiri, profesional, dan total.

Untuk itu, upaya perubahan UUPAS menjadi momentum pembenahan lapas. Bagaimanapun, perbaikan UUPAS dimaksudkan untuk mengurai benang kusut di penjara dan pemenuhan terhadap hak-hak warga binaan yang selama ini tidak pernah terselesaikan akibat peraturan yang telah usang. Seperti halnya yang dikatakan Mandela, revisi terhadap aturan terkait lapas ini harus mampu mengembalikan manusia yang hidup di dalamnya dengan nilai-nilai kemanusiaannya. Menjadikan lapas lebih manusiawi agar mereka yang tinggal di dalamnya mampu menemukan dan menguatkan komitmennya menjadi manusia yang lebih baik, sebelum kembali ke tengah masyarakat. Semoga!
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0706 seconds (0.1#10.140)