Grasi untuk Kepentingan Korban

Selasa, 16 Juli 2019 - 07:01 WIB
Grasi untuk Kepentingan...
Grasi untuk Kepentingan Korban
A A A
JAKARTA - Seto Mulyadi
Ketua Umum LPAI, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

SAAT persidangan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jakarta International School beberapa tahun silam, saya sempat dihadirkan sebagai saksi ahli di pengadilan. Pemeriksaan di ruang sidang difokuskan pada pengetahuan saya tentang kondisi psikologis korban selama saya memberikan pendampingan psikologis kepadanya.

Tak bisa dimungkiri, sebagai profesional yang bekerja dengan nalar keilmuan dan hati penuh empati, kasus dan sesi pemeriksaan saya di persidangan itu memberikan kesan begitu mendalam pada diri saya. Ada dorongan dari dalam diri yang mengharuskan saya untuk terus memberikan perhatian pada perjalanan kasus itu dari waktu ke waktu.

Suasana batin mirip roller coaster. Setelah putusan pengadilan negeri keluar, saya merasa tenang. Namun, begitu mengetahui isi putusan ban­ding yang 180 derajat berbeda, seketika tensi saya naik dan sempat membuat pusing kepala. Berlanjut ke kasasi, vonis bersalah dijatuhkan kepada terdakwa, hati saya akhirnya terasa sejuk kembali. Selesai sudah. Demikian pikiran saya saat itu.

Namun, bagai disambar petir, saya terkejut bukan main saat membaca berita bahwa Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada terdakwa Neil Bantleman. Saya telusuri tidak hanya media nasional, tapi juga media asing. Bahkan termasuk media Kanada sendiri.

Kanada adalah negara asal Neil Bantleman. Dari situ pikiran negatif saya bertanya-tanya, apakah ada unsur-unsur di luar hukum yang berpengaruh pada putusan tersebut, bahkan sejak jauh-jauh hari, agar grasi dikeluarkan bagi Neil. Juga, saat warta nasional tentang grasi bagi Neil baru keluar pada Jumat (12/7), media Kanada tampaknya sudah lebih dulu menulis laporan sejak sekian waktu sebelumnya. Saya yang awam politik hanya bisa termangu mencoba mencari pemahaman dari semua informasi itu.

Saat ini saya tidak lagi terlalu merisaukan putusan atas diri pelaku. Namun, hal yang patut untuk dikaji, dan saya rasa ini jauh lebih penting, adalah seberapa jauh sesungguhnya grasi bagi terpidana kekerasan seksual terhadap anak benar-benar seirama dengan konteks holistik bagaimana negara menyikapi kejahatan jenis tersebut?

Tentu merupakan harapan semua pihak bahwa keadilan yang dilahirkan di Istana adalah sesuai dengan keadilan yang diputuskan di ruang sidang dan harmonis pula dengan keadilan yang merekah di tengah-tengah masyarakat.

Titik awal untuk itu semua adalah kesamaan persepsi yang patut dibangun atas hakikat grasi itu sendiri. Intinya, grasi bukan penghapusan kesalah­an. Grasi bukan merupakan persetujuan pimpinan nasional atas klaim si pelaku kekerasan seksual terhadap anak bahwa dia tidak pernah melakukan perbuatan jahat. Makna yang benar, dengan mengajukan grasi, berarti terpidana mengakui dirinya bersalah.

Grasi, dengan demikian, bisa dipandang sebagai refleksi peradaban yang luhur suatu negara, yakni berupa secercah kebaikan bagi seseorang yang telah dihukum karena melaku­kan perbuatan jahat dan kemudian melakukan pertobatan. Tentu, tidak langsung setiap terpidana yang mengajukan permohonan grasi akan dikabulkan oleh presiden.

Grasi adalah sebuah manifestasi betapa nilai kemanusiaan dapat melampaui waktu kerja sang pengadil di mahkamah hukum. Karena itulah sebagai hak prerogatif presiden, grasi tentu dihargai. Namun, grasi bagi terpidana kejahatan seksual pada anak, dalam hal ini Neil Bantleman, justru sarat akan masalah. Setidaknya ada tiga alasan untuk menyatakan demikian.

Pertama, Presiden Jokowi pada 2016 menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa. Terlepas kritik tentang parameter yang digunakan Presiden sebagai dasar penetapan status kejahatan luar biasa itu, dia tampak ingin menegaskan bahwa pada masalah kejahatan seksual pada anak, negara sebagaimana isi Nawacita akan hadir jauh lebih serius lagi. Hadir untuk menciptakan keamanan bagi masyarakat, hadir dengan ketegasan ekstra bagi pelaku, dan hadir dengan keberpihakan utama bagi korban.

Sejajar dengan itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) saat itu pun menyebut Indonesia berada dalam situasi darurat kejahatan seksual terhadap anak. Penetapan itu pun bisa diperdebatkan. Terlepas dari hal tersebut, publik memperoleh penguatan pemahaman akan kegentingan terkait kehidupan anak-anak Indonesia yang tentu saja harus ditangani secara lebih sungguh-sungguh.

Pernyataan Presiden dan KPAI itu menjadi fondasi kuat tentang bagaimana kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak harus disikapi. Fondasi itu pula yang—tanpa pengecualian—sudah semestinya menjadi pijak­an mutlak oleh negara saat berhadapan dengan terpidana Neil Bantleman.

Kedua, hasil penelitian. Ada sangat banyak riset tentang kemapanan perilaku predator seksual. Salah satu yang meyakinkan adalah studi yang mengambil data antara 1958 hingga 1974. Dari penelitian itu diketahui bahwa lebih dari 40% pelaku kejahatan seksual terhadap anak mengulangi perbuatan jahat mereka. Residivisme itu meliputi kejahatan seksual, kejahatan disertai kekerasan, dan gabungan keduanya. Angka 40% itu fantastis.

Apalagi saat dihubungkan dengan asumsi “kejahatan seksual terhadap anak adalah fenomena gunung es”, sangat mengerikan membayangkan betapa banyaknya para monster buas yang akan kembali memviktimisasi anak-anak (dan orang dewasa) setelah mengakhiri masa hukuman mereka.

Persentase sedemikian tinggi juga memperkuat keraguan saya selama ini akan kemanjuran program rehabilitasi bagi pelaku. Rehabilitasi juga tidak dipandang sebagai jendela kesempatan yang bisa dimanfaatkan pelaku untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab. Perasaan ragu saya akan kemujaraban rehabilitasi bagi predator seksual itu pula yang semakin memperteguh keyakinan saya bahwa hukuman lebih keras terhadap pelaku adalah resep yang paling didambakan oleh para korban. Ini bukan tanpa alasan.

Salah satunya dikemukakan oleh seorang bocah perempuan korban di Tangerang yang saya kunjungi di rumah sakit. Sambil menahan kepedihan yang bercampur amarah, anak itu membisikkan apa yang dia inginkan, “Dia [pelaku] harus dihukum mati!”

Alasan ketiga, penting kira­nya kita bahas pula tren penghukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Menjelang akhir 2016 eksekutif dan wakil rakyat bersepakat untuk melakukan revisi kedua atas Undang-Undang Perlindungan Anak. Hasilnya adalah UU Nomor 17/2016. Undang-undang ini menandai ketegasan hukum yang luar biasa terhadap para pelaku kejahatan seksual pada anak.

Walau masih terkesan garang sebatas di atas kertas, UU Nomor 17/2016 secara khusus memuat sejumlah bentuk pemberatan sanksi bagi para pemangsa anak-anak ini. Isi undang-undang tersebut satu tarikan napas dengan sekian banyak undang-undang serupa di negara-negara lain, yakni menerapkan filosofi retributif dan incapacitation terhadap jenis kejahatan yang satu ini. Tiga tahun berlalu, kesungguhan pemerintah untuk mengimplementasikan UU Nomor 17/2016 masih terus dinantikan oleh masyarakat luas, khususnya para korban dan keluarganya.

Membaca ulang tiga alasan di atas, dengan sebutan-sebutan selantang itu, data setinggi itu, dan ancaman sanksi seberat itu, tentu masyarakat luas telanjur membangun keyakinan penuh bahwa tiada ampun bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Indonesia, setidaknya terhitung sejak 2016, adalah neraka bagi para pre­dator dan calon predator seksual.

Dengan ketetapan hati seperti itu, adalah wajar manakala publik merasa grasi Presiden bagi Neil Bantleman merupakan sebuah anti­klimaks yang patut disesalkan. Lebih lagi, grasi itu tentu bertolak belakang dengan harapan para korban dan keluarganya. Rangkaian proses hukum yang diselenggarakan dengan gagah berani di ruang-ruang sidang seolah terbanting oleh grasi tersebut.

Grasi bagi Neil Bantleman menjadi preseden bagi grasi-grasi berikutnya yang ternyata bisa saja diberikan kepada para drakula pemangsa anak-anak. Grasi itu—yang besar kemungkinan tidak disertai dengan sistem pemantauan atas diri pelaku—memantik pertanyaan tentang seberapa jauh anak-anak, termasuk di Kanada, akan terlindungi dari kemungkinan vikti­misasi berulang dari si pelaku.

Grasi bagi Neil Bantleman mempertanyakan sikap konsekuen pemimpin eksekutif di Tanah Air: seberapa teguh pendekatan ekologis (ecological approach) senantiasa diletakkan di posisi paling depan pada setiap masalah atau kasus anak?

Jelas, arah jarum jam Neil Bantleman tidak mungkin untuk diputar mundur. Yang paling dapat dilakukan adalah langkah koreksi secara luas dan serius tentang penghitungan pemberian grasi di masa depan, terutama bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Adalah di pundak Presiden tersandang tanggung jawab puncak untuk senantiasa melindungi anak-anak Indonesia. Dan, di pundak Presiden pulalah tergelantung martabat serta kedaulatan hukum nasional di mata internasional.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0747 seconds (0.1#10.140)