LPSK Sayangkan Pemberian Grasi bagi Terpidana Kasus Kekerasan Seksual Anak
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyayangkan pemberian grasi oleh Presiden Jokowi bagi terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jakarta International School (JIS), Neil Amstrong, warga Kanada.
Di satu sisi, presiden telah menandatangani Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah bahkan menetapkan kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa karena dapat mengancam dan membahayakan jiwa anak.
Namun, di sisi lain, Presiden Jokowi memberikan pengampunan terhada terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang merupakan mantan guru JIS tersebut. Pemberian grasi bagi terpidana kejahatan seksual terhadap anak ini menuai banyak pertanyaan di publik. Karena itulah, dasar pertimbangan atas pemberian grasi oleh presiden terhadap terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak dipertanyakan.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo berpendapat, pada kasus ini, LPSK mendesak sebaiknya pemerintah memberikan penjelasan kepada publik mengenai pertimbangan apa saja di balik pemberian grasi bagi terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak itu.
Meski memang, lanjut Hasto, pemberian grasi merupakan kewenangan presiden. Akan tetapi, pemberian grasi terhadap terpidana kasus kekerasan seksual tersebut hendaknya dapat memerhatikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga. (Baca juga: Dapat Grasi, Terpidana Kasus Asusila di JIS Bebas dari Penjara )
Karena beberapa tahun sebelumnya, pemerintah telah menyatakan kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa, mengingat dampak yang dihasilkan, yang kemudian diiringi dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak. (Baca juga: Ini Kata LPSK Soal Vonis untuk 2 Terdakwa Kasus JIS )
Menurut Hasto, pemberian grasi ini kontraproduktif dengan semangat pemerintah sendiri dalam mencegah dan melindungi anak-anak dari para pelaku kejahatan seksual. Oleh sebab itulah, ke depan, pemberian grasi oleh pemerintah seharusnya dapat dilakukan dengan lebih memerhatikan rasa keadilan bagi korban.
Di satu sisi, presiden telah menandatangani Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah bahkan menetapkan kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa karena dapat mengancam dan membahayakan jiwa anak.
Namun, di sisi lain, Presiden Jokowi memberikan pengampunan terhada terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang merupakan mantan guru JIS tersebut. Pemberian grasi bagi terpidana kejahatan seksual terhadap anak ini menuai banyak pertanyaan di publik. Karena itulah, dasar pertimbangan atas pemberian grasi oleh presiden terhadap terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak dipertanyakan.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo berpendapat, pada kasus ini, LPSK mendesak sebaiknya pemerintah memberikan penjelasan kepada publik mengenai pertimbangan apa saja di balik pemberian grasi bagi terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak itu.
Meski memang, lanjut Hasto, pemberian grasi merupakan kewenangan presiden. Akan tetapi, pemberian grasi terhadap terpidana kasus kekerasan seksual tersebut hendaknya dapat memerhatikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga. (Baca juga: Dapat Grasi, Terpidana Kasus Asusila di JIS Bebas dari Penjara )
Karena beberapa tahun sebelumnya, pemerintah telah menyatakan kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa, mengingat dampak yang dihasilkan, yang kemudian diiringi dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak. (Baca juga: Ini Kata LPSK Soal Vonis untuk 2 Terdakwa Kasus JIS )
Menurut Hasto, pemberian grasi ini kontraproduktif dengan semangat pemerintah sendiri dalam mencegah dan melindungi anak-anak dari para pelaku kejahatan seksual. Oleh sebab itulah, ke depan, pemberian grasi oleh pemerintah seharusnya dapat dilakukan dengan lebih memerhatikan rasa keadilan bagi korban.
(pur)