MPR Bisa Jadi Penengah Sengketa Kewenangan Lembaga Negara DPD-DPR

Minggu, 14 Juli 2019 - 11:05 WIB
MPR Bisa Jadi Penengah...
MPR Bisa Jadi Penengah Sengketa Kewenangan Lembaga Negara DPD-DPR
A A A
JAKARTA - Keberhasilan proses amandemen UUD 1945 di satu sisi menjadi wujud cita-cita Reformasi. Namun di sisi lain muncul permasalahan yang tak terduga, yakni sengketa kewenangan antarlembaga negara.

Dalam kurun waktu 2003 hingga 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) sedikitnya menerima permohonan 25 kasus sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan berbagai lembaga negara.

Dalam sistem bikameral khususnya berkaitan dengan fungsi legislasi, terjadi sengketa pelaksanaan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Anggota DPD terpilih, Abdul Kholik menuturkan, dalam Pasal 22 D UUD 1945, DPD memiliki kewenangan mengajukan dan ikut membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

"Kewenangan tersebut dirasa sangat lemah oleh DPD karena bentuk keterlibatan sangat terbatas dan tidak memiliki hak untuk ikut menentukan persetujuan pengambilan keputusan dan tidak mendapatkan ruang yang memadahi untuk terlibat dalam pembahasan suatu RUU di DPR," ujar Kholik yang menjadikan persoalan ini sebagai desertasi dengan judul "Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Sistem Bikameral di Indonesia Studi Terhadap Kewenangan DPD RI dengan DPR RI dalam Fungsi Legislasi" di sela ujian terbuka Program Doktoral Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (13/7/2019).

Dijelaskan, mekanisme penyelesaian sengketa yang ada sekarang yaitu melalui jalur yudisial yakni Mahkamah Konstitusi (MK). Faktanya selama ini tidak efektif karena bersinggungan dengan kewenangan DPR dalam pembentulan undang-undang. Karena itu, ke depan MPR diminta mengambil peran dalam menengahi sengketa antara lembaga tinggi negara, khususnya DPD dan DPR," tuturnya.

Menurut senator terpilih dari Dapil Jawa Tengah ini, MPR bisa menjadi penengah dalam sengketa kewenangan lembaga negara karena pertama, MPR memiliki kewenangan yang lebih tinggi dibanding lembaga negara lain, yaitu menetapkan dan mengubah UUD, melantik presiden, memberhentikan presiden.

Kedua, unsur di MPR adalah anggota DPR dan anggota DPD. Secara tidak langsung, MPR mengikat DPR dan DPD. MPR adalah lembaga permusyawaratan bukan perwakilan. "Tupoksi MPR sesuai atau pas sebagai penengah sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sengketa antar lembaga negara bisa dibahas di MPR," jelasnya.

Setelah tercapai kesepakatan atau solusi dari sengketa itu, lanjut Abdul Kholik, baru kemudian diselesaikan secara hukum atau menjadi rujukan dalam pembuatan undang-undang. "Kita ingin mengembalikan fungsi MPR menjadi lembaga permusyawaratan rakyat, tempat menyelesaikan masalah-masalah ketatanegaraan," tegas Kholik yang dinyatakan lulus dengan nilai nyaris sempurna 3,9.

Sekretaris Jenderal MPR Ma'ruf Cahyono yang menjadi salah satu anggota dewan penguji mengatakan bahwa penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara bisa melalui jalur non judicial. Dalam hal ini, MPR sebagai penengah sebelum menempuh penyelesaian sengketa kewenangan melalui yudisial di MK. Penyelesaian di MPR dilakulan dengan model dialogis dan musyawarah untuk mencapai mufakat.

"Hasil penelitian untuk disertasi itu merekomendasikan MPR sebagai penengah dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara. MPR menjadi mediator dan fasilitator. Namun disain ini akan disesuaikan tidak seperti yang ada dalam penyelesaian sengketa kasus yang lain," jelas Ma'ruf.

Oleh karena itu, lanjut Ma'ruf, MPR perlu diposisikan sebagai lembaga negara yang lebih tinggi dibanding lembaga negara yang lain. Dengan kedudukan yang lebih tinggi maka produk MPR dipatuhi lembaga negara lain. "Jika timbul persoalan pada saat semua lembaga memiliki kewenangan yang sejajar maka sulit untuk diselesaikan," paparnya.

Ma'ruf berharap hasil penelitian disertasi Abdul Kholik ini menjadi masukan bagi MPR terkait sengketa kewenangan antara DPR dan DPD. Saat ini MPR membuka ruang untuk menerima masukan, aspirasi dan pikiran-pikiran. "Bagi MPR pikiran dalam disertasi ini bisa menjadi bahan untuk ditelaah lebih lanjut. Menjadi rujukan bagi Badan Pengkajian dan Lembaga Pengkajian di MPR," katanya.

Sidang terbuka promosi doktor dipimpin Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Prof Dr Gunarto dan dihadiri Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0629 seconds (0.1#10.140)