Rekonsiliasi Bukan Negosiasi
A
A
A
Lasarus Jehamat Dosen Sosiologi FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT
WACANA rekonsiliasi elite politik seusai pemilihan presiden (pilpres) yang diinisiasi banyak pihak sudah keluar dari jalur utamanya. Sebab rekonsiliasi telah disusupi beragam kepentingan. Yang paling mutakhir ialah keinginan beberapa pihak yang mengajukan syarat rekonsiliasi.
Disebutkan, jika Joko Widodo (Jokowi) yang terpilih menjadi presiden periode 2019-2024 ingin melakukan rekonsiliasi dengan Prabowo Subianto, ia harus membebaskan kasus hukum yang menjerat pendukung Prabowo. Selain itu Jokowi mesti memfasilitasi kepulangan Habib Rizieq Shihab dari Arab Saudi ke Indonesia (Sindonews.com, 9/7).
Syarat demikian tidak saja keluar dari esensi rekonsiliasi, tetapi justru mencederai keinginan banyak pihak untuk kembali merajut persatuan. Sebab jika banyak yang mengajukan syarat rekonsiliasi, sulit rasanya menemukan jalan keluar untuk sebuah kata sepakat.
Rekonsiliasi mempersyaratkan kenihilan syarat. Artinya rekonsiliasi sedapat mungkin bebas dari beragam kepentingan. Dengan begitu semua pihak yang berekonsiliasi dalam posisi yang sama.
Problem utama rekonsiliasi dalam politik Indonesia ialah hilangnya kesadaran akan makna rekonsiliasi itu. Kesadaran rekonsiliasi perlu dibangun agar pihak-pihak yang terlibat di dalamnya paham akan posisi dan status.
Jika kesadaran akan posisi dan status masing-masing tidak dihitung dan urung dipertimbangkan, niscaya yang muncul ke permukaan adalah negosiasi. Padahal rekonsiliasi tidak sama dengan negosiasi. Perbedaannya, jika rekonsiliasi menuntut pertemuan tanpa syarat, negosiasi justru menuntut syarat-syarat tertentu. Jika rekonsiliasi menihilkan masuknya beragam kepentingan, negosiasi justru mempromosikan kepentingan pihak masing-masing.
Rekonsiliasi Politik
Mengutip Arendt, Schaap (2005), terdapat hubungan yang sangat dekat antara persahabatan di satu sisi dengan kemanusiaan di sisi yang lain. Di sana keterbukaan dan kesenangan terhadap orang lain menjadi syarat utama.
Schaap mengatakan, rekonsiliasi melampaui toleransi. Artinya rekonsiliasi tidak mempertimbangkan dosa dan kesalahan masa lalu dan kemudian mengambil keputusan berdasarkan beban kesalahan masa lalu itu. Jika masih mengingat kesalahan masa lalu, hal itu disebut toleransi. Dalam bahasa Schaap, dibutuhkan pertemuan yang agonistik di sana.
Pertemuan agonistik ialah pertemuan dari mereka yang pernah berkontestasi untuk menemukan jalan bersama. Dalam agonistik politik, peleburan kepentingan menjadi sesuatu yang harus diupayakan (Kalyvas, 2009).
Dalam rekonsiliasi, tidak hanya aspek politik yang harus dikerjakan, tetapi juga aspek psikologis (Whittaker, 1999). Meski begitu aspek politik dan psikologis dilakukan secara bersamaan. Sebab dalam politik elektoral, menang atau kalah adalah pilihan imperatif. Kalau bukan menang, pasti kalah. Sebaliknya kalau tidak kalah, pasti menang yang hadir.
Bukan Negosiasi
Berbagai pernyataan di atas membawa kita sampai pada pemahaman bahwa rekonsiliasi memang menuntut kenihilan syarat. Rekonsiliasi harus dibangun tanpa syarat. Sebab syarat-syarat yang diajukan merupakan hambatan pelaksanaan rekonsiliasi itu sendiri.
Catatan penting yang mesti diikuti di sana ialah rekonsiliasi harus dibangun dalam suasana komunikasi yang jujur dan terbuka. Komunikasi antarpihak harus dimulai dari elite politik dan elite kekuasaan. Tujuannya agar rakyat dan masyarakat dapat mengikuti model dan pola komunikasi yang telah dibangun elite tersebut.
Disebutkan bahwa tugas rekonsiliasi memang bukan hanya menjadi monopoli elite politik. Dengan kata lain, semua pihak harus mendukung langkah dan kebijakan setiap yang keras mengupayakan persatuan Indonesia.
Benar bahwa pertarungan dua atau lebih kelompok berdampak tidak hanya secara politik, tetapi juga sosial. Secara sosial, hukum kekeluargaan nyaris hilang berantakan. Persatuan menjadi harga mahal di sana. Kekuatan sosial melemah karena polarisasi politik. Di titik yang lebih ekstrem, konflik bahkan dilakukan secara terbuka. Meski demikian rekonsiliasi tidak dapat dipaksakan untuk mempromosikan satu dua kepentingan sekelompok orang atau elite tertentu.
Seperti didiskusikan di bagian awal di atas, rekonsiliasi berbeda dengan negosiasi. Kita tidak sedang berdagang kekuasaan. Rekonsiliasi dengan tuntutan ini dan itu bukan rekonsiliasi, tetapi negosiasi.
Yang merasakan dampak sakit karena kontestasi tentu bukan hanya satu dua kelompok. Sakit karena kontestasi tentu dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Maka esensi rekonsiliasi ialah menyatukan semua bangsa dengan semua golongan.
Masalahnya menjadi runyam karena dalam konteks politik elektoral, perbedaan direduksi hanya sebagai musuh. Dalam konteks keberagaman itu kita lupa. Lupa bahwa bangsa kita memang berbeda.
Itulah alasan mengapa usaha berdamai dengan perbedaan menjadi sesuatu yang urgen dan perlu saat ini. Berdamai dengan perbedaan jelas tidak dilakukan dengan cara mencari kesamaan. Persamaan kita ialah bahwa kita beda.
Seperti disampaikan Schaap, rekonsiliasi menuntut semua pihak sering terlibat dalam wacana dan praktik wacana tanpa henti. Di sana perbedaan dan inkonsensus tidak dibaca sebagai hambatan, tetapi terutama menjadi prasyarat untuk rekonsiliasi.
Dua hal mesti dilakukan saat ini. Pertama, membangun kembali benang kusut relasi sosial masyarakat yang terfragmentasi. Kedua, membuktikan janji di awal kampanye. Yang pertama berkaitan dengan pembangunan kembali kekuatan sosial yang terpecah dan nyaris hancur karena realitas fragmentatif pemilu dan kedua berhubungan dengan praksis politik kejujuran. Rekonsiliasi berada di dua level itu.
Kita terlampau naif jika tidak memikirkan keindonesiaan kita. Bangsa ini tidak hanya bertahan karena lima tahunan. Bangsa ini akan bertahan dalam keberbedaan itu.
Perbedaan itulah yang kurang atau bahkan tidak diingat oleh sebagian elemen politik negara ini. Sekarang perbedaan justru menjadi kartu penting politik nasional. Politik identitas kental dipraktikkan di sana.
Budaya saling menghargai harus dibangun kembali dalam kerangka pembangunan Indonesia. Budaya saling menghargai selama ini hilang. Kehilangan budaya itu berdampak pada munculnya banyak masalah di masyarakat.
Usaha bersama semua komponen tentu diperlukan agar pembangunan di semua aspek, termasuk di aspek politik, tersebut bisa berjalan dengan baik dan kelak mendapatkan hasil maksimal. Jika pembangunan telah dilakukan, masyarakat percaya bahwa Indonesia pasti tidak akan pecah, apalagi bubar.
Semua pihak didorong untuk membangun narasi dan praktik damai selepas kontestasi kemarin. Hal tersebut diperlukan karena masyarakat kita sesungguhnya tidak suka berkonflik. Itulah esensi rekonsiliasi.
WACANA rekonsiliasi elite politik seusai pemilihan presiden (pilpres) yang diinisiasi banyak pihak sudah keluar dari jalur utamanya. Sebab rekonsiliasi telah disusupi beragam kepentingan. Yang paling mutakhir ialah keinginan beberapa pihak yang mengajukan syarat rekonsiliasi.
Disebutkan, jika Joko Widodo (Jokowi) yang terpilih menjadi presiden periode 2019-2024 ingin melakukan rekonsiliasi dengan Prabowo Subianto, ia harus membebaskan kasus hukum yang menjerat pendukung Prabowo. Selain itu Jokowi mesti memfasilitasi kepulangan Habib Rizieq Shihab dari Arab Saudi ke Indonesia (Sindonews.com, 9/7).
Syarat demikian tidak saja keluar dari esensi rekonsiliasi, tetapi justru mencederai keinginan banyak pihak untuk kembali merajut persatuan. Sebab jika banyak yang mengajukan syarat rekonsiliasi, sulit rasanya menemukan jalan keluar untuk sebuah kata sepakat.
Rekonsiliasi mempersyaratkan kenihilan syarat. Artinya rekonsiliasi sedapat mungkin bebas dari beragam kepentingan. Dengan begitu semua pihak yang berekonsiliasi dalam posisi yang sama.
Problem utama rekonsiliasi dalam politik Indonesia ialah hilangnya kesadaran akan makna rekonsiliasi itu. Kesadaran rekonsiliasi perlu dibangun agar pihak-pihak yang terlibat di dalamnya paham akan posisi dan status.
Jika kesadaran akan posisi dan status masing-masing tidak dihitung dan urung dipertimbangkan, niscaya yang muncul ke permukaan adalah negosiasi. Padahal rekonsiliasi tidak sama dengan negosiasi. Perbedaannya, jika rekonsiliasi menuntut pertemuan tanpa syarat, negosiasi justru menuntut syarat-syarat tertentu. Jika rekonsiliasi menihilkan masuknya beragam kepentingan, negosiasi justru mempromosikan kepentingan pihak masing-masing.
Rekonsiliasi Politik
Mengutip Arendt, Schaap (2005), terdapat hubungan yang sangat dekat antara persahabatan di satu sisi dengan kemanusiaan di sisi yang lain. Di sana keterbukaan dan kesenangan terhadap orang lain menjadi syarat utama.
Schaap mengatakan, rekonsiliasi melampaui toleransi. Artinya rekonsiliasi tidak mempertimbangkan dosa dan kesalahan masa lalu dan kemudian mengambil keputusan berdasarkan beban kesalahan masa lalu itu. Jika masih mengingat kesalahan masa lalu, hal itu disebut toleransi. Dalam bahasa Schaap, dibutuhkan pertemuan yang agonistik di sana.
Pertemuan agonistik ialah pertemuan dari mereka yang pernah berkontestasi untuk menemukan jalan bersama. Dalam agonistik politik, peleburan kepentingan menjadi sesuatu yang harus diupayakan (Kalyvas, 2009).
Dalam rekonsiliasi, tidak hanya aspek politik yang harus dikerjakan, tetapi juga aspek psikologis (Whittaker, 1999). Meski begitu aspek politik dan psikologis dilakukan secara bersamaan. Sebab dalam politik elektoral, menang atau kalah adalah pilihan imperatif. Kalau bukan menang, pasti kalah. Sebaliknya kalau tidak kalah, pasti menang yang hadir.
Bukan Negosiasi
Berbagai pernyataan di atas membawa kita sampai pada pemahaman bahwa rekonsiliasi memang menuntut kenihilan syarat. Rekonsiliasi harus dibangun tanpa syarat. Sebab syarat-syarat yang diajukan merupakan hambatan pelaksanaan rekonsiliasi itu sendiri.
Catatan penting yang mesti diikuti di sana ialah rekonsiliasi harus dibangun dalam suasana komunikasi yang jujur dan terbuka. Komunikasi antarpihak harus dimulai dari elite politik dan elite kekuasaan. Tujuannya agar rakyat dan masyarakat dapat mengikuti model dan pola komunikasi yang telah dibangun elite tersebut.
Disebutkan bahwa tugas rekonsiliasi memang bukan hanya menjadi monopoli elite politik. Dengan kata lain, semua pihak harus mendukung langkah dan kebijakan setiap yang keras mengupayakan persatuan Indonesia.
Benar bahwa pertarungan dua atau lebih kelompok berdampak tidak hanya secara politik, tetapi juga sosial. Secara sosial, hukum kekeluargaan nyaris hilang berantakan. Persatuan menjadi harga mahal di sana. Kekuatan sosial melemah karena polarisasi politik. Di titik yang lebih ekstrem, konflik bahkan dilakukan secara terbuka. Meski demikian rekonsiliasi tidak dapat dipaksakan untuk mempromosikan satu dua kepentingan sekelompok orang atau elite tertentu.
Seperti didiskusikan di bagian awal di atas, rekonsiliasi berbeda dengan negosiasi. Kita tidak sedang berdagang kekuasaan. Rekonsiliasi dengan tuntutan ini dan itu bukan rekonsiliasi, tetapi negosiasi.
Yang merasakan dampak sakit karena kontestasi tentu bukan hanya satu dua kelompok. Sakit karena kontestasi tentu dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Maka esensi rekonsiliasi ialah menyatukan semua bangsa dengan semua golongan.
Masalahnya menjadi runyam karena dalam konteks politik elektoral, perbedaan direduksi hanya sebagai musuh. Dalam konteks keberagaman itu kita lupa. Lupa bahwa bangsa kita memang berbeda.
Itulah alasan mengapa usaha berdamai dengan perbedaan menjadi sesuatu yang urgen dan perlu saat ini. Berdamai dengan perbedaan jelas tidak dilakukan dengan cara mencari kesamaan. Persamaan kita ialah bahwa kita beda.
Seperti disampaikan Schaap, rekonsiliasi menuntut semua pihak sering terlibat dalam wacana dan praktik wacana tanpa henti. Di sana perbedaan dan inkonsensus tidak dibaca sebagai hambatan, tetapi terutama menjadi prasyarat untuk rekonsiliasi.
Dua hal mesti dilakukan saat ini. Pertama, membangun kembali benang kusut relasi sosial masyarakat yang terfragmentasi. Kedua, membuktikan janji di awal kampanye. Yang pertama berkaitan dengan pembangunan kembali kekuatan sosial yang terpecah dan nyaris hancur karena realitas fragmentatif pemilu dan kedua berhubungan dengan praksis politik kejujuran. Rekonsiliasi berada di dua level itu.
Kita terlampau naif jika tidak memikirkan keindonesiaan kita. Bangsa ini tidak hanya bertahan karena lima tahunan. Bangsa ini akan bertahan dalam keberbedaan itu.
Perbedaan itulah yang kurang atau bahkan tidak diingat oleh sebagian elemen politik negara ini. Sekarang perbedaan justru menjadi kartu penting politik nasional. Politik identitas kental dipraktikkan di sana.
Budaya saling menghargai harus dibangun kembali dalam kerangka pembangunan Indonesia. Budaya saling menghargai selama ini hilang. Kehilangan budaya itu berdampak pada munculnya banyak masalah di masyarakat.
Usaha bersama semua komponen tentu diperlukan agar pembangunan di semua aspek, termasuk di aspek politik, tersebut bisa berjalan dengan baik dan kelak mendapatkan hasil maksimal. Jika pembangunan telah dilakukan, masyarakat percaya bahwa Indonesia pasti tidak akan pecah, apalagi bubar.
Semua pihak didorong untuk membangun narasi dan praktik damai selepas kontestasi kemarin. Hal tersebut diperlukan karena masyarakat kita sesungguhnya tidak suka berkonflik. Itulah esensi rekonsiliasi.
(kri)