Rekonsiliasi Bukan Negosiasi

Sabtu, 13 Juli 2019 - 06:37 WIB
Rekonsiliasi Bukan Negosiasi
Rekonsiliasi Bukan Negosiasi
A A A
Lasarus Jehamat Dosen Sosiologi FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT

WACANA rekonsiliasi elite politik seusai pemilihan presi­den (pilpres) yang diinisiasi banyak pihak sudah keluar dari jalur utama­nya. Se­bab rekonsiliasi telah disusupi beragam kepenting­an. Yang paling mutakhir ialah keingin­an beberapa pihak yang meng­ajukan syarat rekonsiliasi.

Disebutkan, jika Joko Widodo (Jokowi) yang terpilih menjadi presiden periode 2019-2024 ingin melakukan rekonsiliasi dengan Prabowo Subianto, ia harus mem­bebas­kan kasus hukum yang men­jerat pendukung Prabowo. Se­lain itu Jokowi mesti mem­fasilitasi kepulangan Habib Rizieq Shihab dari Arab Saudi ke Indonesia (Sindonews.com, 9/7).

Syarat demikian tidak saja keluar dari esensi rekonsiliasi, tetapi justru mencederai ke­ingin­an banyak pihak untuk kembali merajut persatuan. Sebab jika banyak yang meng­ajukan syarat rekonsiliasi, sulit rasanya mene­mukan jalan keluar untuk sebuah kata sepakat.

Rekonsiliasi memper­sya­rat­kan kenihilan syarat. Arti­nya rekonsiliasi sedapat mung­kin bebas dari beragam kepen­tingan. Dengan begitu semua pihak yang berekonsiliasi da­lam posisi yang sama.

Problem utama rekonsiliasi dalam politik Indonesia ialah hilangnya kesadaran akan mak­na rekonsiliasi itu. Kesa­dar­an rekonsiliasi perlu di­bangun agar pihak-pihak yang terlibat di dalamnya paham akan posisi dan status.

Jika kesadaran akan posisi dan status masing-masing tidak dihitung dan urung di­pertimbangkan, niscaya yang muncul ke permukaan adalah negosiasi. Padahal rekonsiliasi tidak sama dengan negosiasi. Perbedaannya, jika rekonsiliasi menuntut pertemuan tanpa syarat, negosiasi justru me­nun­tut syarat-syarat tertentu. Jika rekonsiliasi menihilkan masuknya beragam kepen­ting­an, negosiasi justru mem­pro­mo­sikan kepentingan pihak masing-masing.

Rekonsiliasi Politik

Mengutip Arendt, Schaap (2005), terdapat hubungan yang sangat dekat antara per­saha­bat­an di satu sisi de­ngan kema­nusia­­an di sisi yang lain. Di sana ke­ter­bukaan dan kese­nang­an terha­dap orang lain menjadi syarat utama.

Schaap me­nga­ta­kan, rekon­siliasi melampaui tole­ransi. Arti­nya re­kon­­siliasi tidak mem­pertim­bang­kan dosa dan ke­salahan masa lalu dan ke­mudian meng­ambil kepu­tusan berda­sar­kan beban kesa­lahan masa lalu itu. Jika masih meng­ingat kesalahan masa lalu, hal itu disebut toleransi. Dalam bahasa Schaap, di­butuhkan pertemuan yang agonistik di sana.

Pertemuan agonistik ialah pertemuan dari mereka yang pernah berkontestasi untuk menemukan jalan bersama. Dalam agonistik politik, pele­bur­an kepentingan menjadi se­suatu yang harus diupayakan (Kalyvas, 2009).

Dalam rekonsiliasi, tidak hanya aspek politik yang harus dikerjakan, tetapi juga aspek psikologis (Whittaker, 1999). Meski begitu aspek politik dan psikologis dilakukan secara bersamaan. Sebab dalam politik elektoral, menang atau kalah adalah pilihan imperatif. Kalau bukan menang, pasti kalah. Sebaliknya kalau tidak kalah, pasti menang yang hadir.

Bukan Negosiasi

Berbagai pernyataan di atas membawa kita sampai pada pemahaman bahwa rekon­siliasi memang menuntut kenihilan syarat. Rekonsiliasi harus di­bangun tanpa syarat. Sebab syarat-syarat yang diajukan merupakan hambatan pelak­sana­an rekonsiliasi itu sendiri.

Catatan penting yang mesti diikuti di sana ialah rekonsiliasi harus dibangun dalam suasana komunikasi yang jujur dan ter­buka. Komunikasi antarpihak harus dimulai dari elite politik dan elite kekuasaan. Tujuan­nya agar rakyat dan masya­ra­kat dapat mengikuti model dan pola komunikasi yang telah dibangun elite tersebut.

Disebutkan bahwa tugas rekonsiliasi memang bukan hanya menjadi monopoli elite politik. Dengan kata lain, se­mua pihak harus mendukung langkah dan kebijakan setiap yang keras mengupayakan per­satuan Indonesia.

Benar bahwa pertarungan dua atau lebih kelompok ber­dampak tidak hanya secara po­litik, tetapi juga sosial. Secara sosial, hukum kekeluargaan nyaris hilang berantakan. Per­satuan menjadi harga mahal di sana. Kekuatan sosial melemah karena polarisasi politik. Di titik yang lebih ekstrem, kon­flik bah­kan dilakukan secara terbuka. Meski demikian re­kon­siliasi tidak dapat dipak­sa­kan untuk mempromosikan satu dua ke­pentingan sekelom­pok orang atau elite tertentu.

Seperti didiskusikan di bagian awal di atas, rekon­siliasi berbeda dengan ne­gosiasi. Kita tidak se­dang berdagang kekua­sa­an. Rekonsiliasi dengan tun­tutan ini dan itu bu­kan rekon­siliasi, tetapi negosiasi.

Yang merasakan dampak sakit karena kontestasi tentu bukan hanya satu dua kelom­pok. Sakit karena kon­testasi tentu dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Maka esensi rekonsiliasi ialah menyatu­kan semua bangsa dengan semua golongan.

Masalahnya menjadi ru­nyam karena dalam konteks politik elektoral, perbedaan di­reduksi hanya sebagai mu­suh. Dalam konteks kebera­gam­an itu kita lupa. Lupa bahwa bangsa kita memang berbeda.

Itulah alasan mengapa usaha berdamai dengan per­beda­an menjadi sesuatu yang urgen dan perlu saat ini. Ber­damai dengan perbedaan jelas tidak dilakukan dengan cara mencari kesamaan. Per­sama­an kita ialah bahwa kita beda.

Seperti disampaikan Schaap, rekonsiliasi menuntut semua pi­hak sering terlibat dalam wacana dan praktik wacana tanpa henti. Di sana perbedaan dan inkon­sen­sus tidak dibaca se­bagai ham­batan, tetapi ter­utama menjadi prasyarat untuk rekonsiliasi.

Dua hal mesti dilakukan saat ini. Pertama, membangun kem­bali benang kusut relasi sosial masyarakat yang ter­fragmen­tasi. Kedua, mem­buk­tikan janji di awal kampanye. Yang per­tama berkaitan de­ngan pem­bangunan kembali kekuat­an sosial yang terpecah dan nyaris hancur karena rea­litas frag­men­tatif pemilu dan kedua ber­hu­bungan dengan praksis politik kejujuran. Rekonsiliasi berada di dua level itu.

Kita terlampau naif jika tidak memikirkan ke­indo­ne­si­a­­an kita. Bangsa ini tidak hanya ber­tahan karena lima tahunan. Bangsa ini akan bertahan da­lam keberbedaan itu.

Perbedaan itulah yang ku­rang atau bahkan tidak diingat oleh sebagian elemen politik ne­gara ini. Sekarang perbeda­an justru menjadi kartu pen­ting politik nasional. Politik identitas kental dipraktikkan di sana.

Budaya saling menghargai harus dibangun kembali dalam kerangka pembangunan Indo­nesia. Budaya saling meng­har­gai selama ini hilang. Ke­hilangan budaya itu berdam­pak pada munculnya banyak masalah di masyarakat.

Usaha bersama semua kom­ponen tentu diperlukan agar pembangunan di semua aspek, termasuk di aspek politik, ter­sebut bisa berjalan dengan baik dan kelak mendapatkan hasil maksimal. Jika pembangunan telah dilakukan, masyarakat percaya bahwa Indonesia pasti tidak akan pecah, apalagi bubar.

Semua pihak didorong untuk membangun narasi dan praktik damai selepas kontes­tasi kema­rin. Hal tersebut diperlukan ka­rena masyarakat kita sesung­guh­nya tidak suka berkonflik. Itulah esensi rekonsiliasi.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5716 seconds (0.1#10.140)