Persatuan dan Rekonsiliasi Substantif
A
A
A
Eko Sulistyo
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
TIBA-tiba saja wacana rekonsiliasi bermunculan pascakeputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 27 Juni lalu yang mengakhiri sengketa pemilihan presiden (pilpres) dengan menolak permohonan kuasa hukum pasangan Prabowo-Sandi yang menganggap telah terjadi kecurangan secara terstruktur, masif, dan meluas. Kemunculan wacana rekonsiliasi ini pertanda positif karena persoalan persatuan bangsa kembali mengemuka setelah mengalami kerasnya pertarungan politik selama berlangsungnya pilpres.
Rekonsiliasi sebagai upaya untuk menurunkan tensi politik, menjaga perdamaian, keamanan, dan yang paling penting merajut kembali persatuan bangsa, menjadi langkah bijak agar kita sebagai bangsa tidak terjebak keributan politik tak berujung yang akan merugikan rakyat dan bangsa. Sobekan-sobekan kecil tenun kebangsaan dampak dari pilpres harus segera dijahit kembali dengan jalan rekonsiliasi sebelum melebar dan compang-camping.
Polarisasi Pascapilpres
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil Pilpres 2019 dengan peraih suara terbanyak adalah pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin yang mendapat 55,50% atau setara dengan 85.607.362 suara. Saingannya, Prabowo Subianto dan Siandiaga Uno, mendapat 68.650.239 suara sah atau 44,50% dari total suara sah. Namun, peta pemilih hasil Pilpres 2019 seperti terjadi penajaman yang menunjukkan polarisasi antara pemilih pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi di beberapa daerah.
Jokowi-Ma’ruf berhasil menang di 21 provinsi. Sementara Prabowo-Sandi menang di 13 provinsi. Kemenangan besar diperoleh Jokowi-Ma’ruf dari provinsi yang penduduk mayoritasnya merupakan agama minoritas. Di Bali, Jokowi-Ma’ruf memperoleh 91,68% suara, di Nusa Tenggara Timur (NTT) 77,07%, Papua mendapat 85,79%, dan di Papua Barat 85,89% suara.
Sementara kubu Prabowo-Sandi menang besar di beberapa provinsi yang kental dengan nuansa agama Islam seperti di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Banten, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Dengan hasil seperti itu, wajar jika wacana rekonsiliasi para elite politik terutama pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Prabowo Subianto layak didorong untuk kembali merajut persaudaraan dan kebangsaan. Sebagai tokoh bangsa dan patriot, keduanya pasti sangat peduli dengan situasi dan politik kebangsaan saat ini.
Seperti kita tahu bersama selama pilpres, politik kebangsaan telah tercederai oleh penggunaan sentimen identitas dan modus penyebaran hoaks, berita palsu, dan penyesatan informasi lewat media sosial. Akibatnya, masyarakat hanya percaya pada kebenaran dari lingkaran politiknya masing-masing. Inilah salah satu pekerjaan rumah bersama yang harus segera diselesaikan.
Ekspresi destruktif perpecahan politik itu muncul pada peristiwa 22 Mei di Jakarta dalam bentuk kerusuhan yang memakan korban nyawa dan harta benda. Kerusuhan 22 Mei menunjukkan bahwa potensi perpecahan bangsa karena pilpres adalah material dan nyata.
Rekonsiliasi Substantif
Polarisasi politik berbasis politik identitas berpotensi memecah belah masyarakat dan bangsa. Hal ini dipicu oleh kontestasi politik para pendukung pasangan calon selama dan pascapilpres. Ancaman itu memang baru letupan-letupan kecil seperti kerusuhan 22 Mei dan beberapa pernyataan untuk memisahkan diri seperti wacana referendum di Aceh dan Republik Sumatera.
Polarisasi politik ini telah menimbulkan kecemasan berbagai pihak. Respons publik agar para elite politik dan para pendukungnya bisa move on , melupakan kubu 01 dan kubu 02, tapi bersatu menjadi sila ketiga, "Persatuan Indonesia", kemudian mengemuka menjadi wacana rekonsiliasi. Dari wacana rekonsiliasi yang berkembang, muncul dua wacana utama.
Pertama, rekonsiliasi di antara para pimpinan elite politik pascapilpres dibutuhkan untuk menurunkan suhu politik, bukan sekadar sharing jabatan. Menurut Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, pihaknya mengupayakan rekonsiliasi dengan pihak-pihak yang berseberangan selama Pilpres 2019. Namun, rekonsiliasi yang dimaksud bukan melalui pembagian jabatan di eksekutif.
Kedua, wacana bahwa rekonsiliasi harus menyelesaikan dampak pilpres berupa polarisasi di tengah masyarakat. Bagi ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU, dibutuhkan rekonsiliasi sosial di mana semua pihak bisa bersatu kembali karena Indonesia itu lebih penting dibandingkan dengan apa pun.
Dalam konteks ini, pernyataan Jokowi saat penetapan sebagai presiden terpilih 2019-2024 di KPU yang ingin mengajak Prabowo dan Sandiaga Uno untuk bersama-sama membangun negeri adalah langkah bijak untuk memulai rekonsiliasi di tingkatan elite politik. Selanjutnya, Jokowi juga mengajak rakyat Indonesia bisa melupakan perbedaan politik yang sempat membelah pendukung 02 dan 01.
Persatuan bangsa sendiri sebenarnya punya makna rekonsiliatif. Rekonsiliasi dalam bingkai persatuan adalah cara merawat dan merajut persatuan dengan melibatkan tidak hanya elite politik nasional, juga politisi lokal, agamawan, dan seluruh masyarakat yang mencintai Indonesia yang damai. Rekonsiliasi sebagai metode kembali merajut persatuan bangsa harus dimaknai sebagai "rekonsiliasi substantif" yang melibatkan seluruh komponen bangsa secara sukarela tanpa paksaan melalui dialog.
Komitmen menjaga persatuan bangsa adalah amanat konstitusional dan amanat dari sila ketiga Pancasila, "Persatuan Indonesia". Ancaman bagi persatuan bangsa berarti ancaman bagi Pancasila dan konstitusi negara. Persatuan nasional, meminjam istilah Bung Hatta, tidak boleh menjadi "per-sate-an."
Persatuan adalah rumah yang selalu terbuka untuk bekerja sama memajukan bangsa. Persatuan nasional adalah modal dasar untuk masa depan Indonesia agar bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Tidak ada negara yang maju dan sejahtera jika rakyatnya terpecah belah. Rekonsiliasi substantif sebagai upaya merajut persatuan bangsa akan menjadi ajang pembuktian Presiden Jokowi sebagai pemimpin tipe solidarity-maker (pemersatu) yang menjadi visi pemerintahannya. Untuk merajut persatuan bangsa, maka Jokowi selalu siap mengawalnya dengan cara-cara dialog, persuasif, dan partisipasi semua komponen bangsa.
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
TIBA-tiba saja wacana rekonsiliasi bermunculan pascakeputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 27 Juni lalu yang mengakhiri sengketa pemilihan presiden (pilpres) dengan menolak permohonan kuasa hukum pasangan Prabowo-Sandi yang menganggap telah terjadi kecurangan secara terstruktur, masif, dan meluas. Kemunculan wacana rekonsiliasi ini pertanda positif karena persoalan persatuan bangsa kembali mengemuka setelah mengalami kerasnya pertarungan politik selama berlangsungnya pilpres.
Rekonsiliasi sebagai upaya untuk menurunkan tensi politik, menjaga perdamaian, keamanan, dan yang paling penting merajut kembali persatuan bangsa, menjadi langkah bijak agar kita sebagai bangsa tidak terjebak keributan politik tak berujung yang akan merugikan rakyat dan bangsa. Sobekan-sobekan kecil tenun kebangsaan dampak dari pilpres harus segera dijahit kembali dengan jalan rekonsiliasi sebelum melebar dan compang-camping.
Polarisasi Pascapilpres
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil Pilpres 2019 dengan peraih suara terbanyak adalah pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin yang mendapat 55,50% atau setara dengan 85.607.362 suara. Saingannya, Prabowo Subianto dan Siandiaga Uno, mendapat 68.650.239 suara sah atau 44,50% dari total suara sah. Namun, peta pemilih hasil Pilpres 2019 seperti terjadi penajaman yang menunjukkan polarisasi antara pemilih pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi di beberapa daerah.
Jokowi-Ma’ruf berhasil menang di 21 provinsi. Sementara Prabowo-Sandi menang di 13 provinsi. Kemenangan besar diperoleh Jokowi-Ma’ruf dari provinsi yang penduduk mayoritasnya merupakan agama minoritas. Di Bali, Jokowi-Ma’ruf memperoleh 91,68% suara, di Nusa Tenggara Timur (NTT) 77,07%, Papua mendapat 85,79%, dan di Papua Barat 85,89% suara.
Sementara kubu Prabowo-Sandi menang besar di beberapa provinsi yang kental dengan nuansa agama Islam seperti di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Banten, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Dengan hasil seperti itu, wajar jika wacana rekonsiliasi para elite politik terutama pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Prabowo Subianto layak didorong untuk kembali merajut persaudaraan dan kebangsaan. Sebagai tokoh bangsa dan patriot, keduanya pasti sangat peduli dengan situasi dan politik kebangsaan saat ini.
Seperti kita tahu bersama selama pilpres, politik kebangsaan telah tercederai oleh penggunaan sentimen identitas dan modus penyebaran hoaks, berita palsu, dan penyesatan informasi lewat media sosial. Akibatnya, masyarakat hanya percaya pada kebenaran dari lingkaran politiknya masing-masing. Inilah salah satu pekerjaan rumah bersama yang harus segera diselesaikan.
Ekspresi destruktif perpecahan politik itu muncul pada peristiwa 22 Mei di Jakarta dalam bentuk kerusuhan yang memakan korban nyawa dan harta benda. Kerusuhan 22 Mei menunjukkan bahwa potensi perpecahan bangsa karena pilpres adalah material dan nyata.
Rekonsiliasi Substantif
Polarisasi politik berbasis politik identitas berpotensi memecah belah masyarakat dan bangsa. Hal ini dipicu oleh kontestasi politik para pendukung pasangan calon selama dan pascapilpres. Ancaman itu memang baru letupan-letupan kecil seperti kerusuhan 22 Mei dan beberapa pernyataan untuk memisahkan diri seperti wacana referendum di Aceh dan Republik Sumatera.
Polarisasi politik ini telah menimbulkan kecemasan berbagai pihak. Respons publik agar para elite politik dan para pendukungnya bisa move on , melupakan kubu 01 dan kubu 02, tapi bersatu menjadi sila ketiga, "Persatuan Indonesia", kemudian mengemuka menjadi wacana rekonsiliasi. Dari wacana rekonsiliasi yang berkembang, muncul dua wacana utama.
Pertama, rekonsiliasi di antara para pimpinan elite politik pascapilpres dibutuhkan untuk menurunkan suhu politik, bukan sekadar sharing jabatan. Menurut Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, pihaknya mengupayakan rekonsiliasi dengan pihak-pihak yang berseberangan selama Pilpres 2019. Namun, rekonsiliasi yang dimaksud bukan melalui pembagian jabatan di eksekutif.
Kedua, wacana bahwa rekonsiliasi harus menyelesaikan dampak pilpres berupa polarisasi di tengah masyarakat. Bagi ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU, dibutuhkan rekonsiliasi sosial di mana semua pihak bisa bersatu kembali karena Indonesia itu lebih penting dibandingkan dengan apa pun.
Dalam konteks ini, pernyataan Jokowi saat penetapan sebagai presiden terpilih 2019-2024 di KPU yang ingin mengajak Prabowo dan Sandiaga Uno untuk bersama-sama membangun negeri adalah langkah bijak untuk memulai rekonsiliasi di tingkatan elite politik. Selanjutnya, Jokowi juga mengajak rakyat Indonesia bisa melupakan perbedaan politik yang sempat membelah pendukung 02 dan 01.
Persatuan bangsa sendiri sebenarnya punya makna rekonsiliatif. Rekonsiliasi dalam bingkai persatuan adalah cara merawat dan merajut persatuan dengan melibatkan tidak hanya elite politik nasional, juga politisi lokal, agamawan, dan seluruh masyarakat yang mencintai Indonesia yang damai. Rekonsiliasi sebagai metode kembali merajut persatuan bangsa harus dimaknai sebagai "rekonsiliasi substantif" yang melibatkan seluruh komponen bangsa secara sukarela tanpa paksaan melalui dialog.
Komitmen menjaga persatuan bangsa adalah amanat konstitusional dan amanat dari sila ketiga Pancasila, "Persatuan Indonesia". Ancaman bagi persatuan bangsa berarti ancaman bagi Pancasila dan konstitusi negara. Persatuan nasional, meminjam istilah Bung Hatta, tidak boleh menjadi "per-sate-an."
Persatuan adalah rumah yang selalu terbuka untuk bekerja sama memajukan bangsa. Persatuan nasional adalah modal dasar untuk masa depan Indonesia agar bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Tidak ada negara yang maju dan sejahtera jika rakyatnya terpecah belah. Rekonsiliasi substantif sebagai upaya merajut persatuan bangsa akan menjadi ajang pembuktian Presiden Jokowi sebagai pemimpin tipe solidarity-maker (pemersatu) yang menjadi visi pemerintahannya. Untuk merajut persatuan bangsa, maka Jokowi selalu siap mengawalnya dengan cara-cara dialog, persuasif, dan partisipasi semua komponen bangsa.
(wib)