Melingkupi Banyak Aspek, Pengesahan RUU Pertanahan Perlu Ditunda

Selasa, 09 Juli 2019 - 18:54 WIB
Melingkupi Banyak Aspek,...
Melingkupi Banyak Aspek, Pengesahan RUU Pertanahan Perlu Ditunda
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan kini masih dibahas di DPR dan perlu lebih mendalam lagi dibahas karena menyangkut kepentingan banyak sektor sumber daya alam, seperti hutan, tambang dan sebagainya, dan bukan hanya masalah tanah semata.

Hal ini dikatakan oleh Guru Besar Institut Pertanian (IPB) Bogor, Hariadi Kartodihardjo, ketika dimintai tanggapannya atas RUU Pertanahan, Selasa (9/7/2019).

"Mengingat pentingnya UU Pertanahan tersebut, maka sebaiknya pembahasan RUU Pertanahan dilanjutkan pada periode DPR selanjutnya. Saat ini pun pembahasna tidak efektif karena banyak anggota DPR yang tidak konsentrasi lagi," kata Hariadi Kartodihardjo.

Hariadi menjelaskan, pembahasan RUU Pertanahan jangan tergesa-gesa dangan waktu yang terbatas, mengingat urgensi kepentingan UU tersebut.

"Menurut pandangan saya, lebih baik dimatangkan dan diselesaikan secara holistik di periode mendatang. Undang-undang ini nantinya harus mampu mengisi kekosongan atau kelemahan yang ada dalam Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960," ucap Hariadi.

Mengenai pandangan keseluruhan atas RUU Pertanahan ini, Hariadi menilai, RUU Pertanahan terkesan lebih membangun penguatan lingkup kewenangan kementerian yang membidangi pertanahan dan tata ruang, daripada menjawab kebutuhan sebuah beleid menyeluruh yang mengatur tanah seperti diharapkan dalam naskah akademik rancangan ini.

"Yakni meminimalkan ketidaksinkronan undang-undang sektoral terkait bidang pertanahan maupun menegaskan berbagai penafsiran yang telah menyimpang dari falsafah dan prinsip dasar Undang-Undang Pokok Agraria," tuturnya.

Lebih lanjut Hariadi menjelaskan, dalam dokumen naskah akademik RUU Pertanahan tanggal 17 Oktober 2017, yang dimaksud melengkapi dan menyempurnakan Undang-Undang Agraria adalah menguatkan isinya karena kemunculan aturan itu dulu tidak bisa melengkapi ketentuan pokok mengenai sumber daya alam lain selain tanah.

"Sampai kemudian lahir undang-undang sektoral seperti Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang Sumber Daya Air, yang semuanya berbasis lahan," ungkapnya.

Akibat kondisi itu dijelaskan dia, Undang-Undang Pokok Agraria tidak bisa menjadi “payung” atau platform bagi pengelolaan sumber daya alam selain tanah. Bukan hanya itu, tumbuhnya berbagai undang-undang sektoral mengakibatkan Undang-Undang Pokok Agraria terdegradasi dan menyimpang dari tujuan awalnya sebagai lex generalis bagi landasan kerja semua sektor berbasis sumber daya alam.

"Dalam praktiknya, antara Undang-Undang Pokok Agraria dengan berbagai undang-undang sektoral itu punya, setidaknya, enam perbedaan semangat, falsafah maupun prinsip-prinsip yang berkaitan dengan orientasi, keberpihakan, pengelolaan dan implementasinya, perlindungan hak asasi manusia, pengaturan good governance, hubungan orang dan sumberdaya alam hingga hubungan antara negara dan sumber daya alam," jelasnya.

"Hal itu menjadi penyebab undang-undang sektoral tidak sinkron, yang kemudian mendasari lahirnya Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam," sambungnya.

Hariadi memaparkan, Ketetapan MPR itu menentukan arah kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dengan, antara lain, kajian ulang terhadap berbagai peraturan yang berkaitan dengan dua soal itu.

Dengan demikian menurutnya, penyempurnaan Undang-Undang Pokok Agraria dibuat untuk sinkronisasi kebijakan antar sektor yang terkait dengan pertanahan. Selain itu juga untuk melengkapi dan menegaskan berbagai penafsiran yang menyimpang, seperti enam perbedaan semangat, falsafah, dan prinsip-prinsip dasar yang telah digariskan oleh undang-undang itu seperti disebut di atas.

"Draf RUU Pertanahan tampak belum memenuhi harapan itu. Dalam draf, hak pengelolaan menjadi kewenangan negara dengan turunan instansi pemerintah, pemerintah daerah, bank tanah atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara/Daerah," ujarnya.

Kata Hariadi, mereka punya kewenangan menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, menggunakan dan memanfaatkannya, memanfaatkan bagian tanah sebagai hak pengelolaan untuk dikerjasamakan dengan pihak lain, serta menentukan tarif dan menerima uang pemasukan dari pihak ketiga.

"Instansi pemerintah wajib mendaftarkan bidang tanah dan kawasan ke dalam sistem pendaftaran tanah nasional untuk kemudian mendapatkan hak atas tanah atau hak pengelolaan. Namun, terselipnya kata 'kawasan' di sana membuatnya tak lagi sesuai dengan hak pengelolaan yang dalam rancangan ini hanya untuk objek tanah tanpa objek kawasan," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6395 seconds (0.1#10.140)