Cemaran Plastik dan Ancaman Kesehatan Reproduksi

Sabtu, 06 Juli 2019 - 07:59 WIB
Cemaran Plastik dan...
Cemaran Plastik dan Ancaman Kesehatan Reproduksi
A A A
Sejak ditemukan awal abad ini, plas­tik telah menjadi bagian tak ter­pi­sahkan dari manusia modern. Diproduksi dari sisa minyak bumi yang dipolimerisasi, plas­tik mudah diproduksi, murah, sangat fleksibel untuk di­ben­tuk menjadi aneka benda ke­butuhan manusia, dengan ce­pat menggantikan fungsi shel­lac (isolator kabel listrik), daun pisang, kertas, gelas, dan kayu. Tuntutan kehidupan masa kini yang menghendaki keprak­tis­an membuat plastik menjadi pilihan. Ibu-ibu sudah terbiasa pergi ke pasar tanpa membawa keranjang belanja.

Rantang sebagai wadah makanan tidak di­sukai karena perlu dicuci se­be­lum dan sesudah pema­kai­an. Daun pisang susah didapat, membungkus dengan daun pisang memerlukan keteram­pilan. Gelas dari kaca rentan pecah, terutama untuk anak-anak. Mungkin dua dekade terakhir ini kita jarang melihat seseorang membeli makanan tanpa plastik sebagai pem­bungkus, bahkan meski ma­kanan tersebut panas dan ber­kuah. Adakah akibat dari se­mua hal ini terhadap kesehatan manusia?

Plastik sebenarnya dibagi dalam tujuh kategori, pada ba­gian bawah setiap botol plastik misalnya, kategori plastik da­pat dilihat dari nomor di dalam lambang segitiga sama sisi. Dari tujuh kategori tadi, yang akan kita bahas di sini hanya yang terkait dengan kandu­ng­an phthalates dan bisphenol saja, yaitu nomor 1 dan 7.

Jenis plastik yang mengandung phtha­lates adalah nomor satu, yaitu polyethylene terephthalate (PET), hampir semua botol minuman kemasan berada da­lam kategori ini. Jenis plastik yang mengandung bisphenol pada umumnya termasuk ka­tegori nomor tujuh, kategori ini dibuat untuk jenis resin cam­puran yang tidak bisa di­kategorikan pada nomor satu sampai enam. Contoh dari ka­tegori ini meliputi produk je­ri­gen, botol minuman, wadah ma­kanan, ember dan kontai­ner lainnya yang dipakai untuk beban lebih berat.

Bagaimana Plastik Memengaruhi Sistem Hormon?

Sejak lama dikenal bahwa bahan kimia berefek kepada sistem hormon makhluk hi­dup. Zat-zat kimia ini dikenal de­ngan sebutan endocrine di­srup­ting chemicals (EDCs), ter­masuk plastik, pestisida dan logam berat. Efek dari EDCs ini bervariasi karena sistem hor­mon memengaruhi hampir se­luruh sistem dalam tubuh ma­nusia. Sudah diketahui efeknya terhadap perubahan perilaku, alergi, dan gangguan sistem imun, serta diabetes dan ke­ge­mukan. Bahasan pada tulisan ini dibatasi pada cemaran plas­tik dan kaitannya de­ngan as­pek re­produksi manusia.

Manusia ter­pa­par EDCs melalui ma­kanan yang di­cer­na, debu dan air me­lalui perna­pas­an atau­pun kon­tak ku­lit. EDCs juga bisa ditu­run­kan pada ja­nin melalui plasenta ataupun air susu ibu.

Ibu hamil dan anak dalam per­tum­buhan adalah kelompok yang paling rentan ter­hadap pa­par­an ini dan efeknya baru akan timbul jauh di kemudian hari. EDCs-ter­masuk phthalates dan bis­p­he­nol dalam plastik me­miliki efek meniru atau menghalangi re­sep­tor pene­ri­ma sensor
hor­mon pada sel tubuh manusia. Dengan kata lain, menim­bul­kan kekacauan dalam sistem hormon di mana tinggi ren­dahnya kadar hor­mon dalam darah berfungsi se­bagai sinyal terhadap target organ.

Dalam hal reproduksi target organ adalah ovarium, uterus (wa­nita), serta testis (laki-laki). Kon­disi salah sinyal terus-menerus ini kemudian bisa berakibat pada naik/tu­run­nya pembelahan sel, se­lan­jutnya terjadi percepatan per­tum­buh­an jaringan atau sebaliknya perlambatan atau gagal tum­buh jaringan.

Beberapa penelitian sudah menemukan mikroplastik da­lam sebagian besar makanan hasil laut hampir di seluruh dunia. Tahun lalu peneliti dari Vienna menemukan mikro­plas­tik dalam feses delapan sukarelawan dari dua negara. Pertengahan tahun ini bah­kan sudah terpublikasi dalam riset bahwa rata-rata kita mengon­sumsi 5 gram plastik setiap ming­gunya, setara de­ngan se­buah kartu kre­dit.

Sistem Hormon pada Manusia

Hormon memiliki peran penting untuk sistem repro­duk­si manusia. Hormon seks pada wanita, antara lain estro­gen, pada laki-laki adalah hor­mon-hormon androgen antara lain testosteron. Hormon di­sek­resi oleh glandula pitutuary dan hypothalamus, baik pada wanita maupun pria.
Seperti yang telah dise­but­kan, karena EDCs meng­ha­langi koneksi antara hormon dan penerimanya (reseptor), atau me­niru hormon sehingga meng­­ganggu fungsi normal dari hor­mon.

Sebagai contoh bila yang terganggu adalah hor­mon es­tro­gen, maka efeknya bisa se­perti kondisi estrogen ber­le­bihan. Dalam jangka panjang, efek stimulasi terus-menerus ini bisa menimbulkan tumor atau kanker, baik pada payu­dara, indung telur, mau­pun rahim. Tumor pada rahim men­jadi mioma uteri, pada indung telur berupa kista, pada pa­yu­dara berupa tumor jinak (fi­broa­denoma) ataupun ganas (karcinoma).

Angka kejadian keganasan terkait sistem hormon (kanker payudara, rahim, prostat, tes­ti­kel, dan tiroid) di dunia terus meningkat selama 40-50 ta­hun terakhir. Di Indonesia, ka­n­ker payudara adalah kanker ter­be­sar dan pembunuh ter­ba­nyak pada wanita, me­nempati ham­pir separuh kasus tumor pada pe­rem­puan, serta mengalami kenaikan 10% setiap tahun sejak 2011, serta muncul da­lam usia yang semakin muda (WHO, 2013). Sementara ang­ka mio­ma uteri, mencapai se­pertiga kas­us tumor kan­du­ngan de­ngan jumlah kasus 127 pasien, separuh penderita ber­usia 40 sampai de­ngan 50 ta­hun (Pa­sing­gi, 2015) . Mio­ma uteri berada da­lam posisi per­ta­ma tu­mor jinak kan­du­ng­an. Pada umum­nya men­yebabkan per­da­rahan dan memerlukan pe­ng­angkatan rahim.

Beberapa fakta men­du­kung keterkaitan fenomena ini de­ngan cemaran plastik. Kista in­dung telur dikaitkan de­ngan tingginya kadar bis­phenol (BPA) dalam tubuh. Phthalates ada­lah salah satu zat yang me­nyebabkan per­ubah­an jenis ke­lamin, di mana ba­nyak spesies berubah ke­la­min menjadi be­tina. Dua zat ini sudah terbukti memengaruhi sistem endo­krin pada hewan-hewan liar, menyebabkan kan­ker testis, deformasi kelamin, rendahnya produksi sperma, dan keman­dul­an. Diduga de­mikian pula efeknya pada ma­nusia se­hing­ga menimbulkan tumor ganas ataupun jinak seperti yang su­dah disebutkan.

Alternatif Solusi

Kesadaran akan ancaman ini masihlah sangat rendah, penggunaan plastik sulit di­le­paskan dari kehidupan ma­nu­sia modern. Bahkan akhir-ak­hir ini masyarakat sudah meng­gunakan plastik PET untuk wa­dah makanan, juga untuk ma­kanan panas, seperti bakso. Su­hu panas akan melarutkan se­ba­gian plastik ke dalam ma­kanan, dan konsumsi m­a­kan­an akan memberi jalan un­tuk ma­suk­nya phthalates ke dalam tubuh.

Di proyek bangunan, para pe­ker­ja menggantung plas­­tik berisi kopi atau teh panas mereka. Da­lam pengola­h­an ma­kanan, kita juga sering me­lihat para penjual menggunakan ember plastik sebagai penam­pung bahan ma­kan­an lang­sung setelah digo­reng/rebus dan panas. Perilaku ini po­ten­sial memaparkan bis­phenol ke dalam makanan, dan selan­jutnya ke tubuh kon­su­men. Ironis, ketika higiene sanitasi digalakkan dan sudah mulai dipatuhi, tapi kesadaran akan ancaman jangka panjang peng­gunaan bahan plastik ini di­abaikan.

Meski peringatan oleh WHO tersebut sudah dibuat sejak 2013, tidak banyak ka­la­ngan memahami bahaya ini. Terutama tidak di kalangan para dokter, karena yang di­anggap faktor risiko secara tradisional hanya pemakaian kontrasepsi hormonal atau rokok. Isu EDCs lebih banyak disadari di kalangan pemerhati lingkungan, tapi mereka tidak memiliki data tentang dampak yang ditimbulkan pada ma­nusia. Riset-riset terpadu ke­se­hatan dan lingkungan terkait dampak phthalates dan bis­phenol di Indonesia, perlu di­inisiasi. Pengawasan kenaikan angka keganasan dan faktor risikonya juga perlu dikaji ulang dengan memasukkan pola peng­gunaan plastik.

Efek samping organofosfat pada masa lalu berhasil di­tu­run­­kan, setelah peng­gu­na­a­n­nya dibatasi. Diperlukan upaya yang serius dan konsisten, bah­kan kebijakan yang radikal, se­perti denda terhadap pema­kai­an, pelarangan total, atau peng­hentian produksi, untuk me­ngu­rangi dampak ini. Stan­da­rdisasi pengolahan ma­kan­an de­­ngan peralatan yang food gra­de dan penggantian me­nye­lu­ruh kemasan makanan perlu di­mulai. Mungkin bisa diha­rap­kan angka kejadian ke­ga­nas­an da­lam 10 sampai dengan 15 ta­hun ke depan, bisa me­nurun.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7650 seconds (0.1#10.140)