Cemaran Plastik dan Ancaman Kesehatan Reproduksi
A
A
A
Sejak ditemukan awal abad ini, plastik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari manusia modern. Diproduksi dari sisa minyak bumi yang dipolimerisasi, plastik mudah diproduksi, murah, sangat fleksibel untuk dibentuk menjadi aneka benda kebutuhan manusia, dengan cepat menggantikan fungsi shellac (isolator kabel listrik), daun pisang, kertas, gelas, dan kayu. Tuntutan kehidupan masa kini yang menghendaki kepraktisan membuat plastik menjadi pilihan. Ibu-ibu sudah terbiasa pergi ke pasar tanpa membawa keranjang belanja.
Rantang sebagai wadah makanan tidak disukai karena perlu dicuci sebelum dan sesudah pemakaian. Daun pisang susah didapat, membungkus dengan daun pisang memerlukan keterampilan. Gelas dari kaca rentan pecah, terutama untuk anak-anak. Mungkin dua dekade terakhir ini kita jarang melihat seseorang membeli makanan tanpa plastik sebagai pembungkus, bahkan meski makanan tersebut panas dan berkuah. Adakah akibat dari semua hal ini terhadap kesehatan manusia?
Plastik sebenarnya dibagi dalam tujuh kategori, pada bagian bawah setiap botol plastik misalnya, kategori plastik dapat dilihat dari nomor di dalam lambang segitiga sama sisi. Dari tujuh kategori tadi, yang akan kita bahas di sini hanya yang terkait dengan kandungan phthalates dan bisphenol saja, yaitu nomor 1 dan 7.
Jenis plastik yang mengandung phthalates adalah nomor satu, yaitu polyethylene terephthalate (PET), hampir semua botol minuman kemasan berada dalam kategori ini. Jenis plastik yang mengandung bisphenol pada umumnya termasuk kategori nomor tujuh, kategori ini dibuat untuk jenis resin campuran yang tidak bisa dikategorikan pada nomor satu sampai enam. Contoh dari kategori ini meliputi produk jerigen, botol minuman, wadah makanan, ember dan kontainer lainnya yang dipakai untuk beban lebih berat.
Bagaimana Plastik Memengaruhi Sistem Hormon?
Sejak lama dikenal bahwa bahan kimia berefek kepada sistem hormon makhluk hidup. Zat-zat kimia ini dikenal dengan sebutan endocrine disrupting chemicals (EDCs), termasuk plastik, pestisida dan logam berat. Efek dari EDCs ini bervariasi karena sistem hormon memengaruhi hampir seluruh sistem dalam tubuh manusia. Sudah diketahui efeknya terhadap perubahan perilaku, alergi, dan gangguan sistem imun, serta diabetes dan kegemukan. Bahasan pada tulisan ini dibatasi pada cemaran plastik dan kaitannya dengan aspek reproduksi manusia.
Manusia terpapar EDCs melalui makanan yang dicerna, debu dan air melalui pernapasan ataupun kontak kulit. EDCs juga bisa diturunkan pada janin melalui plasenta ataupun air susu ibu.
Ibu hamil dan anak dalam pertumbuhan adalah kelompok yang paling rentan terhadap paparan ini dan efeknya baru akan timbul jauh di kemudian hari. EDCs-termasuk phthalates dan bisphenol dalam plastik memiliki efek meniru atau menghalangi reseptor penerima sensor
hormon pada sel tubuh manusia. Dengan kata lain, menimbulkan kekacauan dalam sistem hormon di mana tinggi rendahnya kadar hormon dalam darah berfungsi sebagai sinyal terhadap target organ.
Dalam hal reproduksi target organ adalah ovarium, uterus (wanita), serta testis (laki-laki). Kondisi salah sinyal terus-menerus ini kemudian bisa berakibat pada naik/turunnya pembelahan sel, selanjutnya terjadi percepatan pertumbuhan jaringan atau sebaliknya perlambatan atau gagal tumbuh jaringan.
Beberapa penelitian sudah menemukan mikroplastik dalam sebagian besar makanan hasil laut hampir di seluruh dunia. Tahun lalu peneliti dari Vienna menemukan mikroplastik dalam feses delapan sukarelawan dari dua negara. Pertengahan tahun ini bahkan sudah terpublikasi dalam riset bahwa rata-rata kita mengonsumsi 5 gram plastik setiap minggunya, setara dengan sebuah kartu kredit.
Sistem Hormon pada Manusia
Hormon memiliki peran penting untuk sistem reproduksi manusia. Hormon seks pada wanita, antara lain estrogen, pada laki-laki adalah hormon-hormon androgen antara lain testosteron. Hormon disekresi oleh glandula pitutuary dan hypothalamus, baik pada wanita maupun pria.
Seperti yang telah disebutkan, karena EDCs menghalangi koneksi antara hormon dan penerimanya (reseptor), atau meniru hormon sehingga mengganggu fungsi normal dari hormon.
Sebagai contoh bila yang terganggu adalah hormon estrogen, maka efeknya bisa seperti kondisi estrogen berlebihan. Dalam jangka panjang, efek stimulasi terus-menerus ini bisa menimbulkan tumor atau kanker, baik pada payudara, indung telur, maupun rahim. Tumor pada rahim menjadi mioma uteri, pada indung telur berupa kista, pada payudara berupa tumor jinak (fibroadenoma) ataupun ganas (karcinoma).
Angka kejadian keganasan terkait sistem hormon (kanker payudara, rahim, prostat, testikel, dan tiroid) di dunia terus meningkat selama 40-50 tahun terakhir. Di Indonesia, kanker payudara adalah kanker terbesar dan pembunuh terbanyak pada wanita, menempati hampir separuh kasus tumor pada perempuan, serta mengalami kenaikan 10% setiap tahun sejak 2011, serta muncul dalam usia yang semakin muda (WHO, 2013). Sementara angka mioma uteri, mencapai sepertiga kasus tumor kandungan dengan jumlah kasus 127 pasien, separuh penderita berusia 40 sampai dengan 50 tahun (Pasinggi, 2015) . Mioma uteri berada dalam posisi pertama tumor jinak kandungan. Pada umumnya menyebabkan perdarahan dan memerlukan pengangkatan rahim.
Beberapa fakta mendukung keterkaitan fenomena ini dengan cemaran plastik. Kista indung telur dikaitkan dengan tingginya kadar bisphenol (BPA) dalam tubuh. Phthalates adalah salah satu zat yang menyebabkan perubahan jenis kelamin, di mana banyak spesies berubah kelamin menjadi betina. Dua zat ini sudah terbukti memengaruhi sistem endokrin pada hewan-hewan liar, menyebabkan kanker testis, deformasi kelamin, rendahnya produksi sperma, dan kemandulan. Diduga demikian pula efeknya pada manusia sehingga menimbulkan tumor ganas ataupun jinak seperti yang sudah disebutkan.
Alternatif Solusi
Kesadaran akan ancaman ini masihlah sangat rendah, penggunaan plastik sulit dilepaskan dari kehidupan manusia modern. Bahkan akhir-akhir ini masyarakat sudah menggunakan plastik PET untuk wadah makanan, juga untuk makanan panas, seperti bakso. Suhu panas akan melarutkan sebagian plastik ke dalam makanan, dan konsumsi makanan akan memberi jalan untuk masuknya phthalates ke dalam tubuh.
Di proyek bangunan, para pekerja menggantung plastik berisi kopi atau teh panas mereka. Dalam pengolahan makanan, kita juga sering melihat para penjual menggunakan ember plastik sebagai penampung bahan makanan langsung setelah digoreng/rebus dan panas. Perilaku ini potensial memaparkan bisphenol ke dalam makanan, dan selanjutnya ke tubuh konsumen. Ironis, ketika higiene sanitasi digalakkan dan sudah mulai dipatuhi, tapi kesadaran akan ancaman jangka panjang penggunaan bahan plastik ini diabaikan.
Meski peringatan oleh WHO tersebut sudah dibuat sejak 2013, tidak banyak kalangan memahami bahaya ini. Terutama tidak di kalangan para dokter, karena yang dianggap faktor risiko secara tradisional hanya pemakaian kontrasepsi hormonal atau rokok. Isu EDCs lebih banyak disadari di kalangan pemerhati lingkungan, tapi mereka tidak memiliki data tentang dampak yang ditimbulkan pada manusia. Riset-riset terpadu kesehatan dan lingkungan terkait dampak phthalates dan bisphenol di Indonesia, perlu diinisiasi. Pengawasan kenaikan angka keganasan dan faktor risikonya juga perlu dikaji ulang dengan memasukkan pola penggunaan plastik.
Efek samping organofosfat pada masa lalu berhasil diturunkan, setelah penggunaannya dibatasi. Diperlukan upaya yang serius dan konsisten, bahkan kebijakan yang radikal, seperti denda terhadap pemakaian, pelarangan total, atau penghentian produksi, untuk mengurangi dampak ini. Standardisasi pengolahan makanan dengan peralatan yang food grade dan penggantian menyeluruh kemasan makanan perlu dimulai. Mungkin bisa diharapkan angka kejadian keganasan dalam 10 sampai dengan 15 tahun ke depan, bisa menurun.
Rantang sebagai wadah makanan tidak disukai karena perlu dicuci sebelum dan sesudah pemakaian. Daun pisang susah didapat, membungkus dengan daun pisang memerlukan keterampilan. Gelas dari kaca rentan pecah, terutama untuk anak-anak. Mungkin dua dekade terakhir ini kita jarang melihat seseorang membeli makanan tanpa plastik sebagai pembungkus, bahkan meski makanan tersebut panas dan berkuah. Adakah akibat dari semua hal ini terhadap kesehatan manusia?
Plastik sebenarnya dibagi dalam tujuh kategori, pada bagian bawah setiap botol plastik misalnya, kategori plastik dapat dilihat dari nomor di dalam lambang segitiga sama sisi. Dari tujuh kategori tadi, yang akan kita bahas di sini hanya yang terkait dengan kandungan phthalates dan bisphenol saja, yaitu nomor 1 dan 7.
Jenis plastik yang mengandung phthalates adalah nomor satu, yaitu polyethylene terephthalate (PET), hampir semua botol minuman kemasan berada dalam kategori ini. Jenis plastik yang mengandung bisphenol pada umumnya termasuk kategori nomor tujuh, kategori ini dibuat untuk jenis resin campuran yang tidak bisa dikategorikan pada nomor satu sampai enam. Contoh dari kategori ini meliputi produk jerigen, botol minuman, wadah makanan, ember dan kontainer lainnya yang dipakai untuk beban lebih berat.
Bagaimana Plastik Memengaruhi Sistem Hormon?
Sejak lama dikenal bahwa bahan kimia berefek kepada sistem hormon makhluk hidup. Zat-zat kimia ini dikenal dengan sebutan endocrine disrupting chemicals (EDCs), termasuk plastik, pestisida dan logam berat. Efek dari EDCs ini bervariasi karena sistem hormon memengaruhi hampir seluruh sistem dalam tubuh manusia. Sudah diketahui efeknya terhadap perubahan perilaku, alergi, dan gangguan sistem imun, serta diabetes dan kegemukan. Bahasan pada tulisan ini dibatasi pada cemaran plastik dan kaitannya dengan aspek reproduksi manusia.
Manusia terpapar EDCs melalui makanan yang dicerna, debu dan air melalui pernapasan ataupun kontak kulit. EDCs juga bisa diturunkan pada janin melalui plasenta ataupun air susu ibu.
Ibu hamil dan anak dalam pertumbuhan adalah kelompok yang paling rentan terhadap paparan ini dan efeknya baru akan timbul jauh di kemudian hari. EDCs-termasuk phthalates dan bisphenol dalam plastik memiliki efek meniru atau menghalangi reseptor penerima sensor
hormon pada sel tubuh manusia. Dengan kata lain, menimbulkan kekacauan dalam sistem hormon di mana tinggi rendahnya kadar hormon dalam darah berfungsi sebagai sinyal terhadap target organ.
Dalam hal reproduksi target organ adalah ovarium, uterus (wanita), serta testis (laki-laki). Kondisi salah sinyal terus-menerus ini kemudian bisa berakibat pada naik/turunnya pembelahan sel, selanjutnya terjadi percepatan pertumbuhan jaringan atau sebaliknya perlambatan atau gagal tumbuh jaringan.
Beberapa penelitian sudah menemukan mikroplastik dalam sebagian besar makanan hasil laut hampir di seluruh dunia. Tahun lalu peneliti dari Vienna menemukan mikroplastik dalam feses delapan sukarelawan dari dua negara. Pertengahan tahun ini bahkan sudah terpublikasi dalam riset bahwa rata-rata kita mengonsumsi 5 gram plastik setiap minggunya, setara dengan sebuah kartu kredit.
Sistem Hormon pada Manusia
Hormon memiliki peran penting untuk sistem reproduksi manusia. Hormon seks pada wanita, antara lain estrogen, pada laki-laki adalah hormon-hormon androgen antara lain testosteron. Hormon disekresi oleh glandula pitutuary dan hypothalamus, baik pada wanita maupun pria.
Seperti yang telah disebutkan, karena EDCs menghalangi koneksi antara hormon dan penerimanya (reseptor), atau meniru hormon sehingga mengganggu fungsi normal dari hormon.
Sebagai contoh bila yang terganggu adalah hormon estrogen, maka efeknya bisa seperti kondisi estrogen berlebihan. Dalam jangka panjang, efek stimulasi terus-menerus ini bisa menimbulkan tumor atau kanker, baik pada payudara, indung telur, maupun rahim. Tumor pada rahim menjadi mioma uteri, pada indung telur berupa kista, pada payudara berupa tumor jinak (fibroadenoma) ataupun ganas (karcinoma).
Angka kejadian keganasan terkait sistem hormon (kanker payudara, rahim, prostat, testikel, dan tiroid) di dunia terus meningkat selama 40-50 tahun terakhir. Di Indonesia, kanker payudara adalah kanker terbesar dan pembunuh terbanyak pada wanita, menempati hampir separuh kasus tumor pada perempuan, serta mengalami kenaikan 10% setiap tahun sejak 2011, serta muncul dalam usia yang semakin muda (WHO, 2013). Sementara angka mioma uteri, mencapai sepertiga kasus tumor kandungan dengan jumlah kasus 127 pasien, separuh penderita berusia 40 sampai dengan 50 tahun (Pasinggi, 2015) . Mioma uteri berada dalam posisi pertama tumor jinak kandungan. Pada umumnya menyebabkan perdarahan dan memerlukan pengangkatan rahim.
Beberapa fakta mendukung keterkaitan fenomena ini dengan cemaran plastik. Kista indung telur dikaitkan dengan tingginya kadar bisphenol (BPA) dalam tubuh. Phthalates adalah salah satu zat yang menyebabkan perubahan jenis kelamin, di mana banyak spesies berubah kelamin menjadi betina. Dua zat ini sudah terbukti memengaruhi sistem endokrin pada hewan-hewan liar, menyebabkan kanker testis, deformasi kelamin, rendahnya produksi sperma, dan kemandulan. Diduga demikian pula efeknya pada manusia sehingga menimbulkan tumor ganas ataupun jinak seperti yang sudah disebutkan.
Alternatif Solusi
Kesadaran akan ancaman ini masihlah sangat rendah, penggunaan plastik sulit dilepaskan dari kehidupan manusia modern. Bahkan akhir-akhir ini masyarakat sudah menggunakan plastik PET untuk wadah makanan, juga untuk makanan panas, seperti bakso. Suhu panas akan melarutkan sebagian plastik ke dalam makanan, dan konsumsi makanan akan memberi jalan untuk masuknya phthalates ke dalam tubuh.
Di proyek bangunan, para pekerja menggantung plastik berisi kopi atau teh panas mereka. Dalam pengolahan makanan, kita juga sering melihat para penjual menggunakan ember plastik sebagai penampung bahan makanan langsung setelah digoreng/rebus dan panas. Perilaku ini potensial memaparkan bisphenol ke dalam makanan, dan selanjutnya ke tubuh konsumen. Ironis, ketika higiene sanitasi digalakkan dan sudah mulai dipatuhi, tapi kesadaran akan ancaman jangka panjang penggunaan bahan plastik ini diabaikan.
Meski peringatan oleh WHO tersebut sudah dibuat sejak 2013, tidak banyak kalangan memahami bahaya ini. Terutama tidak di kalangan para dokter, karena yang dianggap faktor risiko secara tradisional hanya pemakaian kontrasepsi hormonal atau rokok. Isu EDCs lebih banyak disadari di kalangan pemerhati lingkungan, tapi mereka tidak memiliki data tentang dampak yang ditimbulkan pada manusia. Riset-riset terpadu kesehatan dan lingkungan terkait dampak phthalates dan bisphenol di Indonesia, perlu diinisiasi. Pengawasan kenaikan angka keganasan dan faktor risikonya juga perlu dikaji ulang dengan memasukkan pola penggunaan plastik.
Efek samping organofosfat pada masa lalu berhasil diturunkan, setelah penggunaannya dibatasi. Diperlukan upaya yang serius dan konsisten, bahkan kebijakan yang radikal, seperti denda terhadap pemakaian, pelarangan total, atau penghentian produksi, untuk mengurangi dampak ini. Standardisasi pengolahan makanan dengan peralatan yang food grade dan penggantian menyeluruh kemasan makanan perlu dimulai. Mungkin bisa diharapkan angka kejadian keganasan dalam 10 sampai dengan 15 tahun ke depan, bisa menurun.
(nag)