Meraih 35 Juta Wisman pada 2024

Senin, 01 Juli 2019 - 09:01 WIB
Meraih 35 Juta Wisman...
Meraih 35 Juta Wisman pada 2024
A A A
Dony Oskaria
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional Republik Indonesia dan Ketua Pokja Industri Pariwisata Nasional KEIN RI

TARGET kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia hingga 2018 meleset cukup jauh. Boleh jadi terdapat beberapa kendala alami yang tak bisa kita hindari seperti bencana alam dan sejenisnya. Tapi usaha yang serius menuju angka yang dituju tentu haruslah dilandaskan pada konsentrasi dan fokus kebijakan yang jelas. Dalam hal ini Indonesia sangat bisa berkaca pada Prancis, misalnya. Bahkan Indonesia memang harus serius berguru pada sang juara seperti Prancis untuk mengangkat pariwisata ke level dunia.

Wisatawan asing datang bukan saja karena keindahan alamnya, tetapi lebih karena kreativitas negara tersebut dalam membangun ekosistem pariwisata, mulai dari pembenahan aksesibilitas dan amenitas, pengemasan yang berkelas sampai pada atraksi yang ikonik, yang dikembangkan dari beragam potensi yang dimiliki sebuah negara.

Lihat saja, World Tourism Organization mencatat, Prancis mampu menyedot wisman sebanyak 86,9 juta pada 2017, jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan penduduknya. Berikutnya dalam jajaran lima besar ada negara Spanyol sebanyak 81,8 juta wisman, Amerika Serikat 76,9 juta, China 60,7 juta, dan Italia 58,3 juta. Sementara kita hanya terealisasi 15,8 juta dari target 17 juta pada 2018. Tentu raihan sebanyak itu harus menjadi introspeksi bersama, terutama bagi pengambil kebijakan makro pariwisata dan stakeholders pariwisata di negeri ini.

Utamanya bagi pemerintah, sudah selayaknya langkah-langkah strategis dan terukur dirumuskan ulang untuk mengatasi lambatnya pertumbuhan wisman tersebut. Masalah pariwisata sebenarnya adalah masalah sederhana, yakni masalah destinasi. Untuk itu pemerintah sudah selayaknya meletakkan fokus utama pada urusan pengembangan destinasi sebagai langkah strategis awal. Bagaimana caranya?

Pertama, pemerintah menetapkan destinasi prioritas berdasarkan kriteria yang terkait langsung dengan sektor kepariwisataan, yakni kesiapan ekosistem pariwisata di setiap kawasan. Dalam konteks ini, kita akhirnya memahami mengapa perkembangan 10 Bali baru menjadi kurang signifikan untuk membantu target wisman. Karena pemerintah kurang memiliki justifikasi kepariwisataan yang kuat saat menetapkannya sehingga harus memulainya dari nol.

Mengapa misalnya pemerintah tidak memberi prioritas penyempurnaan ekosistem pariwisata untuk daerah-daerah yang memang sudah memberi kontribusi besar pada angka kunjungan wisman nasional selama ini? Sebut saja misalnya Jakarta, Bali, Bandung, Joglosemar, Bromo Tengger, Manado, atau Batam dan turunannya? Daerah-daerah tersebut sudah terbentuk ekosistem kepariwisataannya, bahkan beberapa di antaranya seperti Jakarta, Bali, Bandung, Joglo Semar terbukti sudah mumpuni. Pemerintah tinggal melengkapi ekosistemnya, merumuskan strategi pemasarannya, yakni dengan dilakukan market mapping terlebih dahulu, lalu membuat paket-paket yang sesuai, baru kemudian didorong dengan promosi dan pemasaran di target pasar destinasi masing-masing.

Melihat angka kontribusi wisman dari daerah-daerah tersebut, saya bahkan cukup yakin, pemberian prioritas pengembangan bisnis kepariwisataan di daerah-daerah tersebut secara serius, yaitu angka 35 juta wisman pada 2024, sangat mungkin untuk diraih. Karena daerah-daerah tersebut menguasai lebih dari 60% total wisman yang datang. Jika kita berkaca pada angka pertumbuhan tahunan wisman lima tahun ke belakang, angka terendah tercatat sekitar 7%, yakni dari tahun 2017 hingga 2018. Jika kita berangkat dengan asumsi pertumbuhan terendah tersebut, pertumbuhan 7% per tahun selama lima tahun mendatang akan mendatangkan sekitar 24 juta wisman pada 2024 sebagai angka natural.

Maka tersisa selisih sekitar 11 juta untuk mencapai angka 35 juta. Oleh karena itu pemerintah cukup membagi angka sisa tersebut dengan bilangan pembagi yang datang dari destinasi-destinasi daerah prioritas semisal dengan tujuh prioritas utama. Maka akan didapat angka 1,5 juta kebutuhan penambahan wisman secara rata-rata di setiap daerah utama, yang artinya sekitar 300.000 kenaikan per tahun dari angka kenaikan natural di atas karena dibagi menjadi lima tahun.

Sebenarnya jika ditelusuri, kunci sukses Prancis adalah karena negara tersebut sangat "fokus" mengembangkan destinasi-destinasi yang ingin mereka jual dengan cara membenahi ekosistem pariwisata di setiap kawasan destinasi, yakni menyiapkan 4A faktor kunci pariwisata di kawasan-kawasan prioritasnya. A yang pertama adalah aksesibilitas yang baik sehingga bisa dikunjungi wisatawan di sepanjang tahun dengan moda apa pun. Infrastruktur transportasi darat, udara, dan laut dibangun tak hanya di kota-kota, tapi juga langsung ke objek wisata.

Begitu pula dengan infrastruktur telekomunikasi yang juga dibangun sampai ke puncak gunung. Wisatawan dengan mudah mengunjungi tempat-tempat wisata di Prancis, tak hanya di kota, tetapi hingga ke pegunungan. Turis bisa menikmati olahraga musim dingin di puncak Alpen dengan tetap eksis di medsos dan berkomunikasi dengan keluarga.

A kedua, akomodasi, yang juga dibangun dengan perencanaan yang baik, termasuk untuk remaja yang berkantong cekak. Prancis tak hanya membangun jaringan hotel dan resor terbaik, tetapi juga menyediakan sarana kemping yang tersebar di seluruh wilayahnya, terutama untuk wisatawan yang menyukai aktivitas alam dengan biaya lebih murah. Lalu A ketiga adalah amenitas atau fasilitas publik. Selain dibangun berjajaran butik dan fasilitas perbelanjaan yang penuh barang-barang branded kelas atas, ada pula sarana seperti restoran dan tempat nongkrong di kafe-kafe pinggir jalan. Selain itu ada kios-kios berderet menjajakan suvenir murah, taman-taman kota hingga toilet bersih.

Adapun A keempat adalah atraksi. Prancis tak berpuas diri hanya karena memiliki keunggulan destinasi wisata yang lumayan lengkap, mulai dari alam pantai, gunung, sungai, danau, agrowisata hingga wisata sejarah dengan museum-museum yang tertata apik. Lebih dari itu Prancis juga mengintegrasikan semua potensi wisatanya dengan atraksi menarik dan event akbar yang reguler, yang membuat wisatawan ketagihan datang dan datang lagi.

Ajang balap sepeda akbar Tour de France, misalnya, bisa menggerakkan turis menjelajahi berbagai destinasi wisata dan destinasi kulinernya, entah bersama keluarga atau teman. Tur selama 23 hari yang memiliki 21 panggung tersebut tentu menarik antusiasme masyarakat dunia sekaligus sukses besar secara komersial. Faktor kuncinya, antara lain, meski bersifat lokal, pestanya akbar dan disiarkan lewat berbagai media di seluruh dunia. Event tersebut diliput stasiun televisi di 180 negara, 76 stasiun radio dari 25 negara, 450 koran dan kantor berita foto, serta berbagai media internet dari 26 negara. Total akreditasi yang diberikan kepada wartawan saja mencapai 3.600.

Pembangunan sistem dan jaringan atraksi yang ikonik, kreatif, terintegrasi, dan terjadwal reguler seperti di Prancis tentu saja wajib ditiru Pemerintah RI. Apalagi kalender event kita masih terbilang minim. Salah satu atraksi yang perlu dikembangkan lebih baik, misalnya, adalah Java Jazz Festival yang sebenarnya sudah menjadi ikon puncak festival jazz di ASEAN. Pada perhelatan ke-15 tahun ini diperkirakan ada 115.000 penonton yang ikut menikmati Jakarta International BNI Java Jazz Festival di Jakarta yang berlangsung pada 1-3 Maret lalu.

Tentu saja atraksi yang sukses tidak berdiri sendiri. Pemerintah mau tak mau akan dituntut untuk lebih kreatif. Jika tahun lalu gagal meraih target kunjungan wisman dengan alasan ada bencana alam, ke depan pemerintah harus lebih rajin untuk introspeksi dan berbenah. Misalnya pemerintah harus mengambil hikmah dari program 10 destinasi unggulan Bali baru yang nyaris tak bergerak karena minim dukungan pemda. Untuk itu, ke depan, pemerintah pusat harus tegas mewajibkan daerah-daerah destinasi prioritas untuk menyelenggarakan event unik, menarik, dan masif sebulan sekali dan untuk provinsi event akbar enam bulan sekali, misalnya.

Jika ada sekitar 7 daerah prioritas yang punya event berkelas internasional setahun beberapa kali, akan sangat banyak nama Indonesia digaungkan di level dunia. Model yang sama kemudian bisa diduplikasi ke seluruh Indonesia, ke 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Tanah Air. Artinya suatu waktu di masa depan nanti akan ada 6.236 event kreatif yang bisa digelar reguler dalam setahun atau rata-rata 183 event dalam 1 provinsi. Artinya lagi dalam 1 provinsi bisa digelar event reguler setiap dua hari secara bergilir di wilayahnya yang bisa dikunjungi wisatawan sepanjang tahun. Dengan demikian target kunjungan wisman 35 juta pada 2024 juta sangat mungkin untuk diraih.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0667 seconds (0.1#10.140)