Dana Desa Masih Dibahas
A
A
A
PEMAPARAN pemerintah seputar dana transfer daerah dan dana desa dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 sulit dimengerti oleh wakil rakyat yang bermarkas di Senayan, Jakarta Pusat. Dalam rapat panja antara Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dengan pemerintah tidak menghasilkan kesepakatan hingga rapat usai. Pihak Banggar menilai materi pemerintah yang disampaikan Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Astera Primanto Bhakti, tidak jelas target yang dituju untuk tahun depan. Materi yang disampaikan pemerintah lebih banyak menampilkan gambar-gambar. Selanjutnya, rapat pembahasan dana transfer daerah dan dana desa kembali akan digelar pada awal pekan depan.
Terlepas dari masalah pemaparan seputar dana transfer daerah dan dana desa untuk RAPBN 2020 oleh pemerintah yang dipertanyakan pihak Banggar DPR RI, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sanjojo mengklaim berkat dana desa pembangunan di desa terus bergeliat, seiring peran para kepala daerah yang terus berinovasi dalam membangun daerahnya. Selain itu, dana desa pun dinilai telah menurunkan angka kemiskinan di desa yang lebih besar dari penurunan angka kemiskinan di kota. Pada 2018, ekonomi perdesaaan mengalami pertumbuhan sekitar 5,87% yang dibarengi peningkatan pendapat per kapita warga desa sepanjang 2014 - 2017. Dengan demikian penambahan dana desa dari tahun ke tahun sangat beralasan, tahun depan diusulkan sebesar Rp75 triliun atau naik sekitar Rp5 triliun dari tahun ini yang disepakati Rp70 triliun.
Sejak pertama kali dikucurkan pada 2015 dana desa sudah mencapai Rp257 triliun hingga tahun ini. Rinciannya, pada 2015 dilokasikan Rp 20,76 triliun, setahun kemudian 2016 dicairkan sebesar Rp 46,98 triliun. Pada 2017 dan 2018 dikucurkan masing-masing Rp60 triliun, pada 2019 alokasi dana desa menembus Rp70 triliun. Pemberian dana desa merujuk pada payung hukum atau Undang Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Saat ini, desa diberi mandat dan kewenanganan lebih luas dalam pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan. Dengan demikian dana desa dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan kewenangan di bidang otonomi pelayanan, pembangunan kemasyarakatan dan pemerintahan. Desa adalah ujung tombak dan kepanjangan tangan pemerintahan pusat yang terdepan. Dengan mengucurnya dana desa diharapkan hadirnya kemandirian sebuah desa.
Sejak dana desa disalurkan empat tahun lalu, sebagaimana publikasi resmi dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT), desa-desa di Indonesia telah mampu membangun infrastruktur desa dalam jumlah besar dan masif, yang sangat dinantikan guna memenuhi kebutuhan hidup dasar dan untuk membantu kegiatan ekonomi di desa. Apa saja yang dihasilkan dari kucuran dana yang nilainya ratusan triliun rupiah itu? Mengutip data resmi Kementerian DPDTT telah terbangun sepanjang 1.140.378 meter jembatan, jalan desa sepanjang 191.600 kilometer, pasar desa sebanyak 8.983 unit, kegiatan BUMdesa sebanyak 37.830 unit, embung desa sebanyak 4.175 unit, dan sarana irigasi sebanyak 58.931 unit. Tidak hanya itu, dana desa juga menghadirkan berbagai rasana prasarana penunjang kualitas hidup masyarakat di desa.
Buah manis dana desa bukan tanpa cacat. Sebagaimana dipahami bersama bahwa tidak semua perangkat desa memiliki kepandaian dalam mengelola keuangan. Akibatnya, tak sedikit yang terseret kepada persoalan hukum menyangkut pengelolaan dana yang besar itu, misalnya terkait pelaporan yang di luar kepatutan bahkan boleh jadi ada aparat desa sengaja menyelewengkan dana desa untuk kepentingan diri sendiri. Pada 2018, berdasarkan data dari Indonesia Coruption Watch (CW) terdapat 158 perangkat desa menjadi terdakwa kasus korupsi. Pihak ICW mendata terdapat 1.053 perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan 1.162 terdakwa, di mana perangkat desa menempati posisi tiga profesi paling banyak melakukan korupsi. Posisi pertama ditempati pejabat pemerintah provinsi/kota/ kabupaten sebanyak 319 terdakwa atau 27,48%. Level kedua ditempati pihak swasta sebanyak 242 terdakwa atau 20,84%. Peringkat ketiga ditempati perangkat desa sebanyak 158 terdakwa atau 13,61%.
Pemerintah tidak tutup mata untuk meminimalkan penyelewengan dana desa, misalnya akan menyederhanakan format laporan pertanggungjawaban dana desa. Persoalan pelaporan dana desa yang rumit selalu menjadi keluhan para aparatur desa. Selain itu, Kementerian DPDTT telah menggandeng Kejaksaan Agung dengan meluncurkan aplikasi Jaga Desa yang dapat mempermudah dan mengoptimalkan pengawasan penyaluran dan penggunaan dana desa. Pengawasan ini sangat penting karena menyangkut dana besar yang bersumber dari APBN. Karena itu, wajar kalau pihak Banggar DPR RI meminta kejalasan arah dan target dana desa yang akan dituangkan dalam RAPBN 2020 mendatang.
Terlepas dari masalah pemaparan seputar dana transfer daerah dan dana desa untuk RAPBN 2020 oleh pemerintah yang dipertanyakan pihak Banggar DPR RI, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sanjojo mengklaim berkat dana desa pembangunan di desa terus bergeliat, seiring peran para kepala daerah yang terus berinovasi dalam membangun daerahnya. Selain itu, dana desa pun dinilai telah menurunkan angka kemiskinan di desa yang lebih besar dari penurunan angka kemiskinan di kota. Pada 2018, ekonomi perdesaaan mengalami pertumbuhan sekitar 5,87% yang dibarengi peningkatan pendapat per kapita warga desa sepanjang 2014 - 2017. Dengan demikian penambahan dana desa dari tahun ke tahun sangat beralasan, tahun depan diusulkan sebesar Rp75 triliun atau naik sekitar Rp5 triliun dari tahun ini yang disepakati Rp70 triliun.
Sejak pertama kali dikucurkan pada 2015 dana desa sudah mencapai Rp257 triliun hingga tahun ini. Rinciannya, pada 2015 dilokasikan Rp 20,76 triliun, setahun kemudian 2016 dicairkan sebesar Rp 46,98 triliun. Pada 2017 dan 2018 dikucurkan masing-masing Rp60 triliun, pada 2019 alokasi dana desa menembus Rp70 triliun. Pemberian dana desa merujuk pada payung hukum atau Undang Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Saat ini, desa diberi mandat dan kewenanganan lebih luas dalam pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan. Dengan demikian dana desa dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan kewenangan di bidang otonomi pelayanan, pembangunan kemasyarakatan dan pemerintahan. Desa adalah ujung tombak dan kepanjangan tangan pemerintahan pusat yang terdepan. Dengan mengucurnya dana desa diharapkan hadirnya kemandirian sebuah desa.
Sejak dana desa disalurkan empat tahun lalu, sebagaimana publikasi resmi dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT), desa-desa di Indonesia telah mampu membangun infrastruktur desa dalam jumlah besar dan masif, yang sangat dinantikan guna memenuhi kebutuhan hidup dasar dan untuk membantu kegiatan ekonomi di desa. Apa saja yang dihasilkan dari kucuran dana yang nilainya ratusan triliun rupiah itu? Mengutip data resmi Kementerian DPDTT telah terbangun sepanjang 1.140.378 meter jembatan, jalan desa sepanjang 191.600 kilometer, pasar desa sebanyak 8.983 unit, kegiatan BUMdesa sebanyak 37.830 unit, embung desa sebanyak 4.175 unit, dan sarana irigasi sebanyak 58.931 unit. Tidak hanya itu, dana desa juga menghadirkan berbagai rasana prasarana penunjang kualitas hidup masyarakat di desa.
Buah manis dana desa bukan tanpa cacat. Sebagaimana dipahami bersama bahwa tidak semua perangkat desa memiliki kepandaian dalam mengelola keuangan. Akibatnya, tak sedikit yang terseret kepada persoalan hukum menyangkut pengelolaan dana yang besar itu, misalnya terkait pelaporan yang di luar kepatutan bahkan boleh jadi ada aparat desa sengaja menyelewengkan dana desa untuk kepentingan diri sendiri. Pada 2018, berdasarkan data dari Indonesia Coruption Watch (CW) terdapat 158 perangkat desa menjadi terdakwa kasus korupsi. Pihak ICW mendata terdapat 1.053 perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan 1.162 terdakwa, di mana perangkat desa menempati posisi tiga profesi paling banyak melakukan korupsi. Posisi pertama ditempati pejabat pemerintah provinsi/kota/ kabupaten sebanyak 319 terdakwa atau 27,48%. Level kedua ditempati pihak swasta sebanyak 242 terdakwa atau 20,84%. Peringkat ketiga ditempati perangkat desa sebanyak 158 terdakwa atau 13,61%.
Pemerintah tidak tutup mata untuk meminimalkan penyelewengan dana desa, misalnya akan menyederhanakan format laporan pertanggungjawaban dana desa. Persoalan pelaporan dana desa yang rumit selalu menjadi keluhan para aparatur desa. Selain itu, Kementerian DPDTT telah menggandeng Kejaksaan Agung dengan meluncurkan aplikasi Jaga Desa yang dapat mempermudah dan mengoptimalkan pengawasan penyaluran dan penggunaan dana desa. Pengawasan ini sangat penting karena menyangkut dana besar yang bersumber dari APBN. Karena itu, wajar kalau pihak Banggar DPR RI meminta kejalasan arah dan target dana desa yang akan dituangkan dalam RAPBN 2020 mendatang.
(mhd)