Menunggu Keputusan MK
A
A
A
Abdul Mu’ti Sekretaris Umum PP Muhammadiyah,
dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PEMILU sudah dilaksanakan lebih dari dua bulan, tetapi hasilnya -khususnya pemilihan presiden (pilpres)- belum ada kepastian. Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menolak hasil pilpres dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Walaupun terlambat dan terkesan terpaksa, langkah Prabowo-Sandi menyelesaikan sengketa pilpres melalui jalur hukum patut diapresiasi. Selain merupakan jalan damai dan bermartabat, penyelesaian hukum juga dapat mengurangi dan diharapkan mengakhiri pengerahan massa yang mahal dan penuh risiko.
Adil dan Transparan
Bola panas kini berada di tangan MK. Sebagai mahkamah tertinggi yang mengadili sengketa pemilu, MK menghadapi tiga tantangan: trust, integritas, dan liabilitas. Masalah kebangsaan yang sangat serius adalah mutual-distrust ; saling tidak percaya.
Kepercayaan masyarakat kepada lembaga negara saat ini menurun. Selama pemilu lembaga-lembaga negara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kepolisian, dan MK dianggap tidak lagi netral. Sejak awal dikembangkan opini bahwa pemilu penuh kecurangan yang masif, terstruktur, dan sistematis.
Soal utamanya adalah data pemilih, sistem hitung, dan objektivitas petugas tempat pemungutan suara (TPS). Di antara masyarakat juga tumbuh rasa saling tidak percaya. Kampanye yang cukup lama dan kapitalisasi politik identitas membuat residu politik Pilpres 2014 dan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta semakin mengeras.
Masyarakat terbelah dalam kutub dan polarisasi politik yang tajam. Ibarat ilalang kering, emosi politik mereka mudah tersulut. Tantangan kedua adalah masalah integritas para hakim konstitusi. Mereka adalah "manusia setengah dewa" yang menentukan nasib kedua pasangan calon presiden (capres) dan merah-hitam masa depan bangsa dan negara.
Ada pihak yang menyoal integritas para hakim MK dengan mengangkat kembali kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Benteng moral para hakim tidak sekokoh tembok Gedung MK. Penilaian ini merupakan imbas dari masalah mutual distrust.
Yang ketiga adalah masalah liabilitas politik. Sebagaimana keputusan KPU, perolehan suara Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin jauh melebihi Prabowo-Sandi. Tetapi, sebagai petahana, selisih suara tersebut tidak cukup meyakinkan. Ada penilaian pendukung Jokowi-KH Ma’ruf Amin adalah massa cair. Sebaliknya, massa Prabowo-Sandi sangat solid dan militan. Perbedaan karakter ini bisa menjadi liabilitas politik apabila kinerja pemerintah dan situasi sosial-ekonomi tidak segera membaik.
Tidak ada pilihan lain kecuali MK harus bekerja profesional, penuh integritas, imparsial, adil, dan transparan. Para hakim MK harus membuktikan bahwa mereka tidak akan pernah takluk pada tekanan massa dan membungkuk pada kekuasaan. Keputusan mereka tegak lurus di atas kebenaran hukum yang berpihak pada kepentingan bangsa dan negara serta keteguhan iman dan bertanggung jawab kepada Tuhan.
Dewasa dan Ksatria
Setelah -pada waktunya- MK memutuskan perkara semua pihak harus menerima dengan lapang dada. Memang tidak semudah yang dibayangkan. Masih ada beban psikologi politik yang berat bagi sebagian masyarakat.
Untuk diperlukan pemenuhan prakondisi dan kesiapan mental kebangsaan secara kolektif. Pertama, kesadaran politik bahwa pemilu adalah bagian dari proses seleksi pemimpin dan kepemimpinan yang alamiah dalam sistem demokrasi. Memang tidak selalu sempurna. Tetapi, harus ada kesadaran bahwa ibarat sebuah pertandingan final, harus ada pihak yang menang dan kalah sesuai aturan permainan. Perlu kesadaran teologis bahwa kekuasaan adalah amanah dan takdir Tuhan. Ada batas ikhtiar dan waktu bertawakal.
Kedua, konsistensi politik semua pihak untuk menerima apa pun hasil keputusan MK. Sesuai undang-undang keputusan MK bersifat final. Karena itu, selama proses persidangan pihak-pihak yang beperkara harus berusaha maksimal sesuai ketentuan dan sistem hukum. Persidangan adalah proses adu dan uji bukti, bukan lagi arena membangun opini.
Persidangan adalah proses pembuktian material, bukan debat dan akrobat intelektual. Berbagai pernyataan kontroversial sudah waktunya dibatasi dan diakhiri. Setelah persidangan, tidak perlu lagi ada retorika presiden hasil kecurangan. Siapa pun yang terpilih, merekalah presiden-wakil presiden Republik Indonesia dan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketiga, adanya proses saling menghormati. Sudah seharusnya masyarakat menghormati MK dan berpikir positif bahwa mereka akan bekerja sebagaimana mestinya. Pihak yang menang tidak jumawa dan yang kalah berjiwa ksatria. Proses ini mungkin bisa terjadi jika para petinggi, khususnya Prabowo-Jokowi, bisa bersilaturahmi.
Tidak perlu lagi ada aksi massa setelah keputusan MK. Tragedi kerusuhan di Jakarta pada 21-22 Mei lalu cukup sekali saja terjadi. Demi kekuasaan, jangan ada yang menjadi korban dan dikorbankan. Demi takhta yang fana, jangan sampai ada yang hilang nyawa atau terluka karena akan menjadi luka sejarah bangsa selamanya.
dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PEMILU sudah dilaksanakan lebih dari dua bulan, tetapi hasilnya -khususnya pemilihan presiden (pilpres)- belum ada kepastian. Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menolak hasil pilpres dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Walaupun terlambat dan terkesan terpaksa, langkah Prabowo-Sandi menyelesaikan sengketa pilpres melalui jalur hukum patut diapresiasi. Selain merupakan jalan damai dan bermartabat, penyelesaian hukum juga dapat mengurangi dan diharapkan mengakhiri pengerahan massa yang mahal dan penuh risiko.
Adil dan Transparan
Bola panas kini berada di tangan MK. Sebagai mahkamah tertinggi yang mengadili sengketa pemilu, MK menghadapi tiga tantangan: trust, integritas, dan liabilitas. Masalah kebangsaan yang sangat serius adalah mutual-distrust ; saling tidak percaya.
Kepercayaan masyarakat kepada lembaga negara saat ini menurun. Selama pemilu lembaga-lembaga negara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kepolisian, dan MK dianggap tidak lagi netral. Sejak awal dikembangkan opini bahwa pemilu penuh kecurangan yang masif, terstruktur, dan sistematis.
Soal utamanya adalah data pemilih, sistem hitung, dan objektivitas petugas tempat pemungutan suara (TPS). Di antara masyarakat juga tumbuh rasa saling tidak percaya. Kampanye yang cukup lama dan kapitalisasi politik identitas membuat residu politik Pilpres 2014 dan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta semakin mengeras.
Masyarakat terbelah dalam kutub dan polarisasi politik yang tajam. Ibarat ilalang kering, emosi politik mereka mudah tersulut. Tantangan kedua adalah masalah integritas para hakim konstitusi. Mereka adalah "manusia setengah dewa" yang menentukan nasib kedua pasangan calon presiden (capres) dan merah-hitam masa depan bangsa dan negara.
Ada pihak yang menyoal integritas para hakim MK dengan mengangkat kembali kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Benteng moral para hakim tidak sekokoh tembok Gedung MK. Penilaian ini merupakan imbas dari masalah mutual distrust.
Yang ketiga adalah masalah liabilitas politik. Sebagaimana keputusan KPU, perolehan suara Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin jauh melebihi Prabowo-Sandi. Tetapi, sebagai petahana, selisih suara tersebut tidak cukup meyakinkan. Ada penilaian pendukung Jokowi-KH Ma’ruf Amin adalah massa cair. Sebaliknya, massa Prabowo-Sandi sangat solid dan militan. Perbedaan karakter ini bisa menjadi liabilitas politik apabila kinerja pemerintah dan situasi sosial-ekonomi tidak segera membaik.
Tidak ada pilihan lain kecuali MK harus bekerja profesional, penuh integritas, imparsial, adil, dan transparan. Para hakim MK harus membuktikan bahwa mereka tidak akan pernah takluk pada tekanan massa dan membungkuk pada kekuasaan. Keputusan mereka tegak lurus di atas kebenaran hukum yang berpihak pada kepentingan bangsa dan negara serta keteguhan iman dan bertanggung jawab kepada Tuhan.
Dewasa dan Ksatria
Setelah -pada waktunya- MK memutuskan perkara semua pihak harus menerima dengan lapang dada. Memang tidak semudah yang dibayangkan. Masih ada beban psikologi politik yang berat bagi sebagian masyarakat.
Untuk diperlukan pemenuhan prakondisi dan kesiapan mental kebangsaan secara kolektif. Pertama, kesadaran politik bahwa pemilu adalah bagian dari proses seleksi pemimpin dan kepemimpinan yang alamiah dalam sistem demokrasi. Memang tidak selalu sempurna. Tetapi, harus ada kesadaran bahwa ibarat sebuah pertandingan final, harus ada pihak yang menang dan kalah sesuai aturan permainan. Perlu kesadaran teologis bahwa kekuasaan adalah amanah dan takdir Tuhan. Ada batas ikhtiar dan waktu bertawakal.
Kedua, konsistensi politik semua pihak untuk menerima apa pun hasil keputusan MK. Sesuai undang-undang keputusan MK bersifat final. Karena itu, selama proses persidangan pihak-pihak yang beperkara harus berusaha maksimal sesuai ketentuan dan sistem hukum. Persidangan adalah proses adu dan uji bukti, bukan lagi arena membangun opini.
Persidangan adalah proses pembuktian material, bukan debat dan akrobat intelektual. Berbagai pernyataan kontroversial sudah waktunya dibatasi dan diakhiri. Setelah persidangan, tidak perlu lagi ada retorika presiden hasil kecurangan. Siapa pun yang terpilih, merekalah presiden-wakil presiden Republik Indonesia dan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketiga, adanya proses saling menghormati. Sudah seharusnya masyarakat menghormati MK dan berpikir positif bahwa mereka akan bekerja sebagaimana mestinya. Pihak yang menang tidak jumawa dan yang kalah berjiwa ksatria. Proses ini mungkin bisa terjadi jika para petinggi, khususnya Prabowo-Jokowi, bisa bersilaturahmi.
Tidak perlu lagi ada aksi massa setelah keputusan MK. Tragedi kerusuhan di Jakarta pada 21-22 Mei lalu cukup sekali saja terjadi. Demi kekuasaan, jangan ada yang menjadi korban dan dikorbankan. Demi takhta yang fana, jangan sampai ada yang hilang nyawa atau terluka karena akan menjadi luka sejarah bangsa selamanya.
(kri)