Perang Dagang AS-China dalam Konteks Geopolitik
A
A
A
Khasan Ashari
Pemerhati Masalah Internasional
BERLARUT-larutnya perang dagang (trade war) antara Amerika Serikat (AS) dan China membuat saya membuka kembali buku The Next Decade karya George Friedman. Buku terbitan 2011 ini mengulas isu, peluang, dan tantangan yang dihadapi AS di dekade kedua abad ke-21.
Friedman menjadikan fakta bahwa AS telah menjadi satu-satunya superpower sebagai setting. Menurutnya, perubahan tata politik global di pergantian abad telah membuat AS menjadi empire sekaligus republic. Disebut empire karena AS telah menjelma menjadi satu-satunya kekuatan dominan sehingga kebijakan dan tindakannya dapat membawa dampak bagi pihak lain.
Di sisi lain, AS tetaplah sebuah republic yang awalnya dibangun sebagai bentuk perlawanan terhadap pihak yang saat itu tengah menjalankan peran sebagai empire, yaitu Inggris. Sebagai republic, AS harus tetap mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan kesetaraan serta menghindari pemaksaan kehendak seperti halnya empire.
Friedman berpendapat bahwa AS tengah berada di simpang jalan—antara menjadi empire atau tetap sebagai republic. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS pada 2016 menjadikan pendapat Friedman kian relevan. Gaya kepemimpinan dan cara pandang Trump diyakini tidak hanya berpengaruh di lingkup internal AS, tapi juga pada tingkat global.
Hubungan dengan China
Di salah satu bab Friedman menyebut China bersama Jepang sebagai dua kekuatan utama di wilayah Pasifik barat yang harus diperhatikan AS. Friedman menyebut perjalanan sejarah China selalu diwarnai dua pilihan yang saling bertolak belakang. Pilihan pertama adalah isolasi dengan konsekuensi relatif rendahnya tingkat kesejahteraan. Pilihan lainnya membuka diri dengan risiko munculnya instabilitas sosial.
Deng Xiaoping yang naik menjadi pemimpin China pada 1982 memilih opsi kedua. Kebijakan ekonomi yang berorientasi ekspor membuat China menjelma menjadi negara mitra dagang terbesar AS. Nilai ekspor China ke AS yang pada 1985 hanya USD3,9 miliar melonjak menjadi USD115,9 miliar tiga dekade kemudian.
Persoalan muncul saat lonjakan nilai ekspor China ke AS jauh melebihi nilai impor mereka. Pada 1985 defisit perdagangan AS dengan China tercatat hanya USD6 juta. Pada 2018 defisit perdagangan sudah mencapai angka USD419,5 miliar.
Tingginya nilai defisit perdagangan ini sudah lama dipersoalkan banyak pihak termasuk Trump jauh sebelum terpilih sebagai presiden. Pada 2012 Trump sudah menyuarakan kritik dan menganggapnya sebagai bentuk pencurian lapangan kerja warga AS.
Dengan latar belakang ini tidak mengherankan jika Trump kemudian menabuh genderang perang dagang. Pada Juni 2018 Washington memberlakukan tarif 25% untuk produk teknologi asal China senilai USD50 miliar. Selanjutnya pada September 2018 pemerintahan Trump memberlakukan tarif untuk barang senilai USD200 miliar yang diimpor dari China.
Beda dengan Jepang
China merespons kebijakan Trump dengan tindakan balasan, yakni menaikkan tarif atas impor senilai USD60 miliar. Pada 2 Juni lalu Beijing melangkah lebih jauh dengan menerbitkan white paper yang menjelaskan posisi dasar mereka dalam konteks hubungan dagang dengan AS. Mencermati perkembangan terkini, ke depan masih terbuka kemungkinan terjadinya tindakan saling balas dari kedua pihak.
Kembali ke buku The Next Decade, Friedman sudah memprediksikan bahwa dalam jangka waktu sepuluh tahun (dari 2011) China akan memfokuskan diri pada antisipasi terhadap skenario terburuk, yaitu munculnya keputusan politik yang membatasi akses mereka ke pasar AS. Jika hal ini terjadi, menurut Friedman, kepentingan China terhadap AS akan bergeser dan negara tersebut akan berusaha mengurangi ketergantungan (dependency). Keputusan China melakukan tindakan balasan sejalan dengan prediksi Friedman.
Konteks Geopolitik
Siapa-siapa yang mungkin diuntungkan dari perang dagang ini sudah banyak dibahas. Terbuka kesempatan ekspor ke AS untuk menggantikan barang dan komoditas yang sebelumnya didatangkan dari China. Terbuka juga kesempatan untuk menampung pusat-pusat produksi milik perusahaan AS yang dipindahkan dari China.
Satu hal yang perlu dicatat adalah fakta bahwa perang dagang yang tengah terjadi bukan persoalan ekonomi belaka. Warna politik di balik kebijakan Trump terasa begitu kuat. Sikap keras terhadap China harus dilihat sebagai bagian dari upaya pemenuhan janji kampanye Trump untuk menjadikan Amerika great again, termasuk di sektor ekonomi.
Dalam konteks jangka pendek dan menengah, topik yang menarik didiskusikan adalah peluang di sektor perdagangan yang muncul dari perang dagang ini. Dalam konteks jangka panjang, terdapat dua hal berbeda yang perlu dicermati. Pertama, kita berharap perang dagang ini tidak menjadi pemicu eskalasi konflik dalam dimensi lain. Harus kita catat, selain isu perdagangan bilateral, hubungan AS-China juga tidak dapat dilepaskan dari isu-isu lain seperti nuklir Korea Utara, status Taiwan, situasi Laut China Selatan, dan pola hubungan segitiga AS-China-Jepang.
Kedua, kita juga berharap AS dan China tidak mengabaikan norma dan aturan di bidang perdagangan yang telah disepakati secara multilateral, baik pada tingkat global maupun regional. Sebagai dua kekuatan ekonomi terbesar, tindakan sepihak mereka dapat berdampak buruk terhadap norma dan aturan yang ada. Selain itu, perang dagang yang berkepanjangan dapat berdampak buruk terhadap ekonomi global.
Apa yang tengah terjadi saat ini membenarkan prediksi Friedman delapan tahun lalu. AS tidak lagi diam membiarkan defisit perdagangannya dengan China terus melonjak. Sebaliknya, China merespons dengan upaya mengurangi ketergantungan mereka terhadap pasar AS.
Akhirnya, perang dagang AS-China memang dapat mendatangkan peluang bagi negara-negara lain yang siap dan mampu bersaing. Namun, kita juga tidak boleh melupakan dampak negatif yang mungkin timbul pada aspek-aspek lain.
Pemerhati Masalah Internasional
BERLARUT-larutnya perang dagang (trade war) antara Amerika Serikat (AS) dan China membuat saya membuka kembali buku The Next Decade karya George Friedman. Buku terbitan 2011 ini mengulas isu, peluang, dan tantangan yang dihadapi AS di dekade kedua abad ke-21.
Friedman menjadikan fakta bahwa AS telah menjadi satu-satunya superpower sebagai setting. Menurutnya, perubahan tata politik global di pergantian abad telah membuat AS menjadi empire sekaligus republic. Disebut empire karena AS telah menjelma menjadi satu-satunya kekuatan dominan sehingga kebijakan dan tindakannya dapat membawa dampak bagi pihak lain.
Di sisi lain, AS tetaplah sebuah republic yang awalnya dibangun sebagai bentuk perlawanan terhadap pihak yang saat itu tengah menjalankan peran sebagai empire, yaitu Inggris. Sebagai republic, AS harus tetap mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan kesetaraan serta menghindari pemaksaan kehendak seperti halnya empire.
Friedman berpendapat bahwa AS tengah berada di simpang jalan—antara menjadi empire atau tetap sebagai republic. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS pada 2016 menjadikan pendapat Friedman kian relevan. Gaya kepemimpinan dan cara pandang Trump diyakini tidak hanya berpengaruh di lingkup internal AS, tapi juga pada tingkat global.
Hubungan dengan China
Di salah satu bab Friedman menyebut China bersama Jepang sebagai dua kekuatan utama di wilayah Pasifik barat yang harus diperhatikan AS. Friedman menyebut perjalanan sejarah China selalu diwarnai dua pilihan yang saling bertolak belakang. Pilihan pertama adalah isolasi dengan konsekuensi relatif rendahnya tingkat kesejahteraan. Pilihan lainnya membuka diri dengan risiko munculnya instabilitas sosial.
Deng Xiaoping yang naik menjadi pemimpin China pada 1982 memilih opsi kedua. Kebijakan ekonomi yang berorientasi ekspor membuat China menjelma menjadi negara mitra dagang terbesar AS. Nilai ekspor China ke AS yang pada 1985 hanya USD3,9 miliar melonjak menjadi USD115,9 miliar tiga dekade kemudian.
Persoalan muncul saat lonjakan nilai ekspor China ke AS jauh melebihi nilai impor mereka. Pada 1985 defisit perdagangan AS dengan China tercatat hanya USD6 juta. Pada 2018 defisit perdagangan sudah mencapai angka USD419,5 miliar.
Tingginya nilai defisit perdagangan ini sudah lama dipersoalkan banyak pihak termasuk Trump jauh sebelum terpilih sebagai presiden. Pada 2012 Trump sudah menyuarakan kritik dan menganggapnya sebagai bentuk pencurian lapangan kerja warga AS.
Dengan latar belakang ini tidak mengherankan jika Trump kemudian menabuh genderang perang dagang. Pada Juni 2018 Washington memberlakukan tarif 25% untuk produk teknologi asal China senilai USD50 miliar. Selanjutnya pada September 2018 pemerintahan Trump memberlakukan tarif untuk barang senilai USD200 miliar yang diimpor dari China.
Beda dengan Jepang
China merespons kebijakan Trump dengan tindakan balasan, yakni menaikkan tarif atas impor senilai USD60 miliar. Pada 2 Juni lalu Beijing melangkah lebih jauh dengan menerbitkan white paper yang menjelaskan posisi dasar mereka dalam konteks hubungan dagang dengan AS. Mencermati perkembangan terkini, ke depan masih terbuka kemungkinan terjadinya tindakan saling balas dari kedua pihak.
Kembali ke buku The Next Decade, Friedman sudah memprediksikan bahwa dalam jangka waktu sepuluh tahun (dari 2011) China akan memfokuskan diri pada antisipasi terhadap skenario terburuk, yaitu munculnya keputusan politik yang membatasi akses mereka ke pasar AS. Jika hal ini terjadi, menurut Friedman, kepentingan China terhadap AS akan bergeser dan negara tersebut akan berusaha mengurangi ketergantungan (dependency). Keputusan China melakukan tindakan balasan sejalan dengan prediksi Friedman.
Konteks Geopolitik
Siapa-siapa yang mungkin diuntungkan dari perang dagang ini sudah banyak dibahas. Terbuka kesempatan ekspor ke AS untuk menggantikan barang dan komoditas yang sebelumnya didatangkan dari China. Terbuka juga kesempatan untuk menampung pusat-pusat produksi milik perusahaan AS yang dipindahkan dari China.
Satu hal yang perlu dicatat adalah fakta bahwa perang dagang yang tengah terjadi bukan persoalan ekonomi belaka. Warna politik di balik kebijakan Trump terasa begitu kuat. Sikap keras terhadap China harus dilihat sebagai bagian dari upaya pemenuhan janji kampanye Trump untuk menjadikan Amerika great again, termasuk di sektor ekonomi.
Dalam konteks jangka pendek dan menengah, topik yang menarik didiskusikan adalah peluang di sektor perdagangan yang muncul dari perang dagang ini. Dalam konteks jangka panjang, terdapat dua hal berbeda yang perlu dicermati. Pertama, kita berharap perang dagang ini tidak menjadi pemicu eskalasi konflik dalam dimensi lain. Harus kita catat, selain isu perdagangan bilateral, hubungan AS-China juga tidak dapat dilepaskan dari isu-isu lain seperti nuklir Korea Utara, status Taiwan, situasi Laut China Selatan, dan pola hubungan segitiga AS-China-Jepang.
Kedua, kita juga berharap AS dan China tidak mengabaikan norma dan aturan di bidang perdagangan yang telah disepakati secara multilateral, baik pada tingkat global maupun regional. Sebagai dua kekuatan ekonomi terbesar, tindakan sepihak mereka dapat berdampak buruk terhadap norma dan aturan yang ada. Selain itu, perang dagang yang berkepanjangan dapat berdampak buruk terhadap ekonomi global.
Apa yang tengah terjadi saat ini membenarkan prediksi Friedman delapan tahun lalu. AS tidak lagi diam membiarkan defisit perdagangannya dengan China terus melonjak. Sebaliknya, China merespons dengan upaya mengurangi ketergantungan mereka terhadap pasar AS.
Akhirnya, perang dagang AS-China memang dapat mendatangkan peluang bagi negara-negara lain yang siap dan mampu bersaing. Namun, kita juga tidak boleh melupakan dampak negatif yang mungkin timbul pada aspek-aspek lain.
(maf)