PPDB Zonasi: Menjalankan Amanat Nawacita
A
A
A
Sukemi
Tim Penulis Buku Kebijakan Zonasi: Pemerataan Akses dan Mutu Pendidikan (2018)
PRO-kontra Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi merata hampir di tiap daerah. Penyebabnya kurangnya sosialisasi kebijakan baru ini sehingga banyak dari peserta, dalam hal ini orang tua wali murid yang merasa dirugikan. Padahal, kebijakan yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB untuk tahun ajaran 2019/ 2020 bertujuan memeratakan kualitas sekolah.Melalui sistem zonasi ini, masyarakat diharapkan tidak lagi mengenal istilah sekolah favorit. Sekat-sekat yang membedakan sekolah satu dengan lainnya, yang menyebabkan munculnya favorit dan nonfavorit, hilang karena calon peserta didik terdistribusi secara merata. Sayangnya, kebijakan ini dimaknai berbeda oleh masyarakat sehingga pro-kontra pun terjadi. Kiranya upaya untuk mengubah pola pikir dan paradigma baru dalam PPDB zonasi masih butuh sosialisasi dan penjelasan.
Dalam istilah lain, PPDB Zonasi sesungguhnya adalah upaya pemerintah dalam mengurangi kesenjangan yang terjadi di masyarakat, dan merupakan amanat dari Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam hal menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan.
Diakui selama ini setiap memasuki awal tahun pelajaran baru, keresahan selalu melanda para orang tua yang putra-putrinya akan memasuki jenjang pendidikan berikutnya. Penyebabnya, kekhawatiran jika sang putra tidak mendapatkan sekolah sesuai yang diharapkan. Biasanya orang tua kemudian mengeluarkan berbagai jurus agar sang anak bisa diterima pada sekolah yang diinginkan. Dari jurus wajar hingga mengarah pada ketidakwajaran dan cenderung koruptif.
Sekolah favorit menjadi incaran banyak orang tua. Mereka beranggapan dengan bisa masuk pada sekolah favorit, ke depan akan juga bisa melanjutkan pada jenjang lebih tinggi dan favorit pula. Jadilah pelabelan sekolah favorit dan nonfavorit berkembang. Ujungnya, sekolah favorit jadi rebutan, sebaliknya nonfavorit kesulitan mendapatkan peserta didik. Cara ini tentu tidak sehat dan juga tidak memunculkan kompetisi yang sehat, baik bagi peserta didik, orang tua, lebih-lebih bagi institusi sekolah dan para pendidik atau guru. Pemandangan seperti ini rutin terjadi, sehingga kerap kali menyita waktu para orang tua yang mestinya punya aktivitas yang lebih produktif.
Fakta-fakta itu menjadikan PPDB telah berkembang semacam kompetisi keras yang menggugupkan banyak pihak. PPDB menjadi semacam pertaruhan yang menggelisahkan semua calon wali murid.
Agar rutinitas tahunan seperti itu tak terjadi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak tahun pelajaran 2017 diikuti tahun pelajaran 2018, melalui Permendikbud Nomor 14/2018, menginisiasi model PPDB berbasis zonasi. Uji coba pun sudah dilakukan di beberapa daerah seperti Bali dan Yogyakarta, sebelum diberlakukan menyeluruh seperti pada tahun pelajaran ini melalui Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018. Ini merupakan penyempurnaan aturan sebelumnya dan hasil evaluasi PPDB tahun lalu.
Nilai UN Bukan Penentu
Seperti diketahui, dalam Permendikbud tersebut memuat banyak ketentuan mengenai tata cara penerimaan peserta didik baru. Poin penting dari regulasi ini adalah adanya perubahan acuan yang dilakukan untuk menentukan diterima tidaknya seorang calon siswa ke sekolah negeri yang berangkutan. Bila sebelumnya yang dijadikan kriteria penentu adalah nilai ujian nasional (UN) atau surat hasil ujian nasional (SHUN) yang diperoleh di jenjang pendidikan sebelumnya, maka mulai PPDB Zonasi patokan yang dipakai adalah zonasi atau jarak antara rumah peserta didik dengan sekolah.
Dalam Permen tersebut disebutkan bahwa syarat untuk diterima masuk SMP maupun SMA adalah radius jarak rumah calon peserta didik dengan sekolah, syarat berikutnya baru UN/SHUN dan prestasi. Sedangkan untuk siswa SD, syarat utama mendaftar adalah faktor usia, baru disusul jarak rumah dengan sekolah. Dalam hal ada dua atau lebih calon peserta didik SD berusia sama dan jarak rumah mereka sama, maka yang akan diterima adalah calon peserta didik yang mendaftar lebih dahulu. Karena pendaftar lebih dahulu yang diutamakan, wajarlah jika di beberapa daerah banyak orang tua rela untuk bermalam di depan sekolah yang diinginkan.
Permedikbud itu juga mengamanatkan bahwa semua sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah (kecuali SMK), wajib menerima peserta didik baru yang tinggal di zona terdekat dengan sekolah, minimal 90% dari total jumlah peserta didik yang diterima. Sisanya 10% dari total jumlah peserta didik dibagi menjadi dua kriteria, yaitu 5% untuk jalur prestasi di luar zona terdekat dari sekolah, dan 5% lagi untuk peserta didik yang mengalami perpindahan domisili atau terjadi bencana.
Harus diakui, PPDB Zonasi menjadi kompleks karena melakukan perubahan fundamental dan mengubah tatanan dan perspektif para calon wali murid. Pemahaman tentang konsep sekolah favorit atau sekolah biasa beserta kebanggaan yang menyertainya menjadi goyah. Nilai UN tidak lagi menjadi “sakti”. Sekolah yang sudah telanjur berlabel favorit harus bersiap “berbagi” dengan sekolah lain, dan mungkin para orang tua akan berpikir sedikit lebih keras untuk memilih wilayah tempat tinggal yang prospektif untuk pendidikan anaknya.
Permendikbud tersebut juga mengatur tentang pembebasan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga tidak mampu yang berdomisili dalam satu zonasi, dengan kuota 20% dari total peserta didik. Kebijakan afirmatif dengan tujuan mulia untuk membantu keluarga miskin ini ternyata disalahgunakan oleh sebagian oknum calon wali murid. Mereka ramai-ramai mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) ke kelurahan/desa masing-masing, meskipun sebenarnya mereka adalah orang kaya, yang tidak selayaknya menggenggam SKTM.
Sedikitnya ada tiga hal yang ingin dicapai pemerintah (Baca: Kemendikbud) dalam memberikan pelayanan paripurna di bidang pendidikan kepada masyarakat. Ketiganya menyangkut ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas. Karena itulah berbagai kebijakan yang dikeluarkan selalu berpijak pada tiga hal tersebut, tak terkeculi dengan kebijakan PPDB Zonasi.
Kebijakan ini tidak lain adalah sebuah langkah strategis untuk mewujudkan pendidikan yang merata dan berkualitas, maka sudah selayaknya kebijakan zonasi diapresiasi, diterima dengan prasangka baik, dan bahkan perlu didukung oleh semua pihak. Yang jelas, gambaran akan terciptanya pendidikan yang terencana dengan baik akan dapat diperoleh sebagai dampak dari kebijakan zonasi ini. Seperti informasi mengenai jumlah lulusan yang akan dihasilkan oleh jenjang SD dapat membantu jenjang SMP mempersiapkan diri untuk menerima lulusan SD tersebut. Jika kemudian terjadi kekurangan infrastruktur maka dapat dengan segera memperoleh solusi yang tepat. Usaha-usaha tersebut akan mendekatkan harapan untuk mewujudkan semua sekolah menjadi berkualitas dan merata di seluruh penjuru Indonesia, tentu saja dengan dukungan kerja sama dan partisipasi semua pihak. Pada akhirnya, kepercayaan dan perubahan pola pikir masyarakat akan bertumbuh dan terbentuk dari keberhasilan kebijakan zonasi yang mampu membuat semua sekolah berkualitas.
Ke depan, kebijakan yang segera harus dilakukan oleh Kemendikbud setelah PPDB Zonasi ini adalah redistribusi guru, baik secara jumlah maupun kualitas dan penerapan kebijakan terkait penataan sekolah, termasuk infrastruktur sekolah.
Kiranya penerapan kebijakan zonasi memerlukan dukungan semua pihak demi tujuan besar jangka panjang, yang dalam pernyataan mendikbud agar dapat menghadirkan populasi kelas heterogen, sehingga mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran di kelas. Karena salah satu arah kebijakan zonasi ini adalah meningkatkan keragaman peserta didik di sekolah, sehingga nantinya akan menumbuhkan miniatur-miniatur kebinekaan di sekolah kita. Kiranya sudah saatnya dilakukan penguatan tripusat pendidikan (sekolah, masyarakat, dan keluarga). Semoga!
Tim Penulis Buku Kebijakan Zonasi: Pemerataan Akses dan Mutu Pendidikan (2018)
PRO-kontra Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi merata hampir di tiap daerah. Penyebabnya kurangnya sosialisasi kebijakan baru ini sehingga banyak dari peserta, dalam hal ini orang tua wali murid yang merasa dirugikan. Padahal, kebijakan yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB untuk tahun ajaran 2019/ 2020 bertujuan memeratakan kualitas sekolah.Melalui sistem zonasi ini, masyarakat diharapkan tidak lagi mengenal istilah sekolah favorit. Sekat-sekat yang membedakan sekolah satu dengan lainnya, yang menyebabkan munculnya favorit dan nonfavorit, hilang karena calon peserta didik terdistribusi secara merata. Sayangnya, kebijakan ini dimaknai berbeda oleh masyarakat sehingga pro-kontra pun terjadi. Kiranya upaya untuk mengubah pola pikir dan paradigma baru dalam PPDB zonasi masih butuh sosialisasi dan penjelasan.
Dalam istilah lain, PPDB Zonasi sesungguhnya adalah upaya pemerintah dalam mengurangi kesenjangan yang terjadi di masyarakat, dan merupakan amanat dari Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam hal menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan.
Diakui selama ini setiap memasuki awal tahun pelajaran baru, keresahan selalu melanda para orang tua yang putra-putrinya akan memasuki jenjang pendidikan berikutnya. Penyebabnya, kekhawatiran jika sang putra tidak mendapatkan sekolah sesuai yang diharapkan. Biasanya orang tua kemudian mengeluarkan berbagai jurus agar sang anak bisa diterima pada sekolah yang diinginkan. Dari jurus wajar hingga mengarah pada ketidakwajaran dan cenderung koruptif.
Sekolah favorit menjadi incaran banyak orang tua. Mereka beranggapan dengan bisa masuk pada sekolah favorit, ke depan akan juga bisa melanjutkan pada jenjang lebih tinggi dan favorit pula. Jadilah pelabelan sekolah favorit dan nonfavorit berkembang. Ujungnya, sekolah favorit jadi rebutan, sebaliknya nonfavorit kesulitan mendapatkan peserta didik. Cara ini tentu tidak sehat dan juga tidak memunculkan kompetisi yang sehat, baik bagi peserta didik, orang tua, lebih-lebih bagi institusi sekolah dan para pendidik atau guru. Pemandangan seperti ini rutin terjadi, sehingga kerap kali menyita waktu para orang tua yang mestinya punya aktivitas yang lebih produktif.
Fakta-fakta itu menjadikan PPDB telah berkembang semacam kompetisi keras yang menggugupkan banyak pihak. PPDB menjadi semacam pertaruhan yang menggelisahkan semua calon wali murid.
Agar rutinitas tahunan seperti itu tak terjadi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak tahun pelajaran 2017 diikuti tahun pelajaran 2018, melalui Permendikbud Nomor 14/2018, menginisiasi model PPDB berbasis zonasi. Uji coba pun sudah dilakukan di beberapa daerah seperti Bali dan Yogyakarta, sebelum diberlakukan menyeluruh seperti pada tahun pelajaran ini melalui Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018. Ini merupakan penyempurnaan aturan sebelumnya dan hasil evaluasi PPDB tahun lalu.
Nilai UN Bukan Penentu
Seperti diketahui, dalam Permendikbud tersebut memuat banyak ketentuan mengenai tata cara penerimaan peserta didik baru. Poin penting dari regulasi ini adalah adanya perubahan acuan yang dilakukan untuk menentukan diterima tidaknya seorang calon siswa ke sekolah negeri yang berangkutan. Bila sebelumnya yang dijadikan kriteria penentu adalah nilai ujian nasional (UN) atau surat hasil ujian nasional (SHUN) yang diperoleh di jenjang pendidikan sebelumnya, maka mulai PPDB Zonasi patokan yang dipakai adalah zonasi atau jarak antara rumah peserta didik dengan sekolah.
Dalam Permen tersebut disebutkan bahwa syarat untuk diterima masuk SMP maupun SMA adalah radius jarak rumah calon peserta didik dengan sekolah, syarat berikutnya baru UN/SHUN dan prestasi. Sedangkan untuk siswa SD, syarat utama mendaftar adalah faktor usia, baru disusul jarak rumah dengan sekolah. Dalam hal ada dua atau lebih calon peserta didik SD berusia sama dan jarak rumah mereka sama, maka yang akan diterima adalah calon peserta didik yang mendaftar lebih dahulu. Karena pendaftar lebih dahulu yang diutamakan, wajarlah jika di beberapa daerah banyak orang tua rela untuk bermalam di depan sekolah yang diinginkan.
Permedikbud itu juga mengamanatkan bahwa semua sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah (kecuali SMK), wajib menerima peserta didik baru yang tinggal di zona terdekat dengan sekolah, minimal 90% dari total jumlah peserta didik yang diterima. Sisanya 10% dari total jumlah peserta didik dibagi menjadi dua kriteria, yaitu 5% untuk jalur prestasi di luar zona terdekat dari sekolah, dan 5% lagi untuk peserta didik yang mengalami perpindahan domisili atau terjadi bencana.
Harus diakui, PPDB Zonasi menjadi kompleks karena melakukan perubahan fundamental dan mengubah tatanan dan perspektif para calon wali murid. Pemahaman tentang konsep sekolah favorit atau sekolah biasa beserta kebanggaan yang menyertainya menjadi goyah. Nilai UN tidak lagi menjadi “sakti”. Sekolah yang sudah telanjur berlabel favorit harus bersiap “berbagi” dengan sekolah lain, dan mungkin para orang tua akan berpikir sedikit lebih keras untuk memilih wilayah tempat tinggal yang prospektif untuk pendidikan anaknya.
Permendikbud tersebut juga mengatur tentang pembebasan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga tidak mampu yang berdomisili dalam satu zonasi, dengan kuota 20% dari total peserta didik. Kebijakan afirmatif dengan tujuan mulia untuk membantu keluarga miskin ini ternyata disalahgunakan oleh sebagian oknum calon wali murid. Mereka ramai-ramai mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) ke kelurahan/desa masing-masing, meskipun sebenarnya mereka adalah orang kaya, yang tidak selayaknya menggenggam SKTM.
Sedikitnya ada tiga hal yang ingin dicapai pemerintah (Baca: Kemendikbud) dalam memberikan pelayanan paripurna di bidang pendidikan kepada masyarakat. Ketiganya menyangkut ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas. Karena itulah berbagai kebijakan yang dikeluarkan selalu berpijak pada tiga hal tersebut, tak terkeculi dengan kebijakan PPDB Zonasi.
Kebijakan ini tidak lain adalah sebuah langkah strategis untuk mewujudkan pendidikan yang merata dan berkualitas, maka sudah selayaknya kebijakan zonasi diapresiasi, diterima dengan prasangka baik, dan bahkan perlu didukung oleh semua pihak. Yang jelas, gambaran akan terciptanya pendidikan yang terencana dengan baik akan dapat diperoleh sebagai dampak dari kebijakan zonasi ini. Seperti informasi mengenai jumlah lulusan yang akan dihasilkan oleh jenjang SD dapat membantu jenjang SMP mempersiapkan diri untuk menerima lulusan SD tersebut. Jika kemudian terjadi kekurangan infrastruktur maka dapat dengan segera memperoleh solusi yang tepat. Usaha-usaha tersebut akan mendekatkan harapan untuk mewujudkan semua sekolah menjadi berkualitas dan merata di seluruh penjuru Indonesia, tentu saja dengan dukungan kerja sama dan partisipasi semua pihak. Pada akhirnya, kepercayaan dan perubahan pola pikir masyarakat akan bertumbuh dan terbentuk dari keberhasilan kebijakan zonasi yang mampu membuat semua sekolah berkualitas.
Ke depan, kebijakan yang segera harus dilakukan oleh Kemendikbud setelah PPDB Zonasi ini adalah redistribusi guru, baik secara jumlah maupun kualitas dan penerapan kebijakan terkait penataan sekolah, termasuk infrastruktur sekolah.
Kiranya penerapan kebijakan zonasi memerlukan dukungan semua pihak demi tujuan besar jangka panjang, yang dalam pernyataan mendikbud agar dapat menghadirkan populasi kelas heterogen, sehingga mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran di kelas. Karena salah satu arah kebijakan zonasi ini adalah meningkatkan keragaman peserta didik di sekolah, sehingga nantinya akan menumbuhkan miniatur-miniatur kebinekaan di sekolah kita. Kiranya sudah saatnya dilakukan penguatan tripusat pendidikan (sekolah, masyarakat, dan keluarga). Semoga!
(mhd)