PPDB Zonasi: Menjalankan Amanat Nawacita

Kamis, 20 Juni 2019 - 08:02 WIB
PPDB Zonasi: Menjalankan...
PPDB Zonasi: Menjalankan Amanat Nawacita
A A A
Sukemi

Tim Penulis Buku Kebijakan Zonasi: Pemerataan Akses dan Mutu Pendidikan (2018)

PRO-kontra Pe­ne­ri­ma­an Peserta Di­dik Baru (PPDB) Zo­­nasi merata ham­pir di tiap daerah. Penye­bab­nya kurangnya sosialisasi kebijakan baru ini sehingga banyak dari peserta, dalam hal ini orang tua wali murid yang merasa di­ru­gikan. Padahal, kebijakan yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 51 Ta­hun 2018 tentang PPDB untuk ta­hun ajaran 2019/ 2020 ber­tu­juan memeratakan kualitas sekolah.Melalui sistem zonasi ini, masyarakat diharapkan tidak lagi mengenal istilah sekolah fa­vorit. Sekat-sekat yang me­m­bedakan sekolah satu dengan lainnya, yang menyebabkan munculnya favorit dan non­favorit, hilang karena calon pe­serta didik terdistribusi secara merata. Sayangnya, kebijakan ini dimaknai berbeda oleh ma­syarakat sehingga pro-kontra pun terjadi. Kiranya upaya un­tuk mengubah pola pikir dan paradigma baru dalam PPDB zo­nasi masih butuh sosialisasi dan penjelasan.

Dalam istilah lain, PPDB Zonasi sesungguhnya adalah upaya pemerintah dalam me­ngurangi kesenjangan yang ter­jadi di masyarakat, dan me­ru­pakan amanat dari Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wa­kil Presiden Jusuf Kalla dalam hal menghadirkan pemerataan akses pada layanan pen­didikan.

Diakui selama ini setiap me­masuki awal tahun pelajaran baru, keresahan selalu me­landa para orang tua yang pu­tra-pu­tri­nya akan memasuki jenjang pendidikan be­ri­kut­nya. Pe­nye­babnya, ke­kh­a­wa­tir­an jika sang putra tidak men­dapatkan se­ko­lah sesuai yang diharapkan. Biasanya orang tua kemudian mengeluarkan berbagai jurus agar sang anak bisa diterima pada sekolah yang diinginkan. Dari jurus wa­jar hingga me­ng­arah pada ke­tidakwajaran dan cenderung koruptif.

Sekolah favorit menjadi in­caran banyak orang tua. M­e­reka beranggapan dengan bisa masuk pada sekolah favorit, ke depan akan juga bisa melan­jut­kan pada jenjang lebih tinggi dan favorit pula. Jadilah pe­la­belan sekolah favorit dan non­favorit berkembang. Ujung­nya, sekolah favorit jadi re­but­an, sebaliknya nonfavorit ke­sulitan mendapatkan peserta didik. Cara ini tentu tidak se­hat dan juga tidak me­mun­culkan kompetisi yang se­hat, baik bagi pe­ser­ta didik, orang tua, le­bih-lebih bagi institusi sekolah dan para pendidik atau guru. Pe­man­da­ngan se­perti ini rutin ter­jadi, se­hingga kerap kali me­­nyita waktu para orang tua yang mes­­ti­nya pu­nya akti­vi­tas yang le­bih produktif.

Fakta-fak­ta itu men­­jadikan PPDB telah ber­­kem­bang se­­ma­cam kom­­pe­tisi ke­ras yang meng­­gu­gup­kan ba­nyak pi­hak. PPDB men­ja­di se­ma­cam per­­ta­ru­h­an yang meng­ge­li­sah­kan se­mua calon wali murid.

Agar rutinitas tahunan se­perti itu tak terjadi, Ke­men­te­ri­an Pendidikan dan Ke­bu­da­yaan (Kemendikbud) sejak ta­hun pelajaran 2017 diikuti ta­hun pe­lajaran 2018, melalui Per­men­dikbud Nomor 14/2018, me­ng­inisiasi model PPDB berbasis zonasi. Uji coba pun sudah di­lakukan di be­be­rapa daerah se­perti Bali dan Yogyakarta, se­belum diberlakukan me­nye­lu­ruh seperti pada tahun pe­la­jar­an ini melalui Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018. Ini me­ru­pakan penyempurnaan atur­an sebelumnya dan hasil eva­luasi PPDB tahun lalu.

Nilai UN Bukan Penentu

Seperti diketahui, dalam Per­mendikbud tersebut me­muat banyak ketentuan me­nge­nai tata cara penerimaan peserta didik baru. Poin pen­ting dari regulasi ini adalah ada­nya perubahan acuan yang di­la­kukan untuk menentukan di­terima tidaknya seorang calon siswa ke sekolah negeri yang berangkutan. Bila sebelumnya yang dijadikan kriteria pe­nen­tu adalah nilai ujian nasional (UN) atau surat hasil ujian na­sional (SHUN) yang diperoleh di jenjang pendidikan se­be­lum­nya, maka mulai PPDB Zonasi patokan yang dipakai adalah zonasi atau jarak antara rumah peserta didik dengan sekolah.

Dalam Permen tersebut di­se­butkan bahwa syarat untuk diterima masuk SMP maupun SMA adalah radius jarak rumah ca­lon peserta di­dik dengan se­­ko­lah, syarat berikutnya baru UN/SHUN dan prestasi. Se­dang­kan untuk siswa SD, syarat utama mendaftar ada­lah fak­tor usia, baru disusul ja­rak ru­mah dengan s­ekolah. Da­lam hal ada dua atau lebih calon pe­serta didik SD berusia sama dan jarak rumah mereka sama, ma­ka yang akan diterima ada­lah calon peserta didik yang men­daftar lebih dahulu. Ka­re­na pendaftar lebih dahulu yang diutamakan, wajarlah jika di beberapa daerah banyak orang tua rela untuk bermalam di de­pan sekolah yang diinginkan.

Permedikbud itu juga me­ng­amanatkan bahwa semua se­kolah yang diselenggarakan pemerintah daerah (kecuali SMK), wajib menerima peserta didik baru yang tinggal di zona terdekat dengan sekolah, mi­nimal 90% dari total jumlah pe­serta didik yang diterima. Si­sanya 10% dari total jumlah pe­serta didik dibagi menjadi dua kriteria, yaitu 5% untuk jalur prestasi di luar zona terdekat dari sekolah, dan 5% lagi untuk peserta didik yang mengalami perpindahan domisili atau ter­jadi bencana.

Harus diakui, PPDB Zonasi menjadi kompleks karena me­la­kukan perubahan fun­da­men­tal dan mengubah tat­a­n­an dan perspektif para calon wali murid. Pemahaman ten­tang kon­­sep sekolah favorit atau se­kolah biasa beserta ke­bang­ga­an yang menyertainya menjadi goyah. Nilai UN tidak lagi menjadi “sakti”. Sekolah yang sudah telanjur berlabel favorit harus bersiap “berbagi” de­ngan sekolah lain, dan mung­­kin para orang tua akan ber­pi­kir se­di­kit lebih keras un­tuk me­milih wi­layah tem­pat tinggal yang pros­­pektif un­tuk pen­di­dikan anak­­nya.

Permendikbud tersebut juga m­en­g­atur tentang pem­be­ba­s­an biaya pen­di­dik­an bagi peserta didik baru yang berasal dari ke­luarga tidak mampu yang ber­domisili da­lam satu zonasi, de­ngan kuota 20% dari to­tal pe­ser­ta didik. Keb­i­ja­kan afir­matif de­ngan tujuan mu­lia un­tuk membantu ke­­­luar­ga mis­kin ini ter­nyata di­salah­gu­na­kan oleh sebagian ok­num ca­lon wali murid. Me­re­ka ramai-ra­mai meng­urus su­rat kete­ra­ngan tidak mampu (SKTM) ke ke­lu­rah­an/desa ma­sing-ma­sing, meskipun se­be­nar­nya me­­reka adalah orang kaya, yang tidak sela­yak­nya meng­­­geng­gam SKTM.

Sedikitnya ada tiga hal yang ingin dicapai pemerintah (Baca: Kemendikbud) dalam mem­be­ri­kan pelayanan pari­pur­na di bidang pendidikan ke­pada ma­syarakat. Ketiganya me­nyang­kut ketersediaan, ke­ter­jang­kau­an, dan kualitas. Ka­rena itu­lah berbagai kebijakan yang di­keluarkan selalu ber­pi­jak pada tiga hal tersebut, tak ter­keculi dengan kebijakan PPDB Zonasi.

Kebijakan ini tidak lain ada­lah sebuah langkah strategis untuk mewujudkan pen­di­dik­an yang merata dan ber­kua­li­tas, maka sudah selayaknya ke­bijakan zonasi diapresiasi, di­terima dengan prasangka baik, dan bahkan perlu didukung oleh semua pihak. Yang jelas, gam­baran akan terciptanya pendidikan yang terencana de­ngan baik akan dapat diperoleh sebagai dampak dari kebijakan zonasi ini. Seperti informasi mengenai jumlah lulusan yang akan dihasilkan oleh jenjang SD dapat membantu jenjang SMP mempersiapkan diri un­tuk menerima lulusan SD ter­se­but. Jika kemudian terjadi kekurangan infra­struktur ma­ka dapat dengan segera mem­peroleh solusi yang tepat. Usa­ha-usaha tersebut akan men­dekatkan harapan untuk me­wujudkan semua sekolah men­jadi berkualitas dan merata di seluruh penjuru Indonesia, tentu saja dengan dukungan kerja sama dan partisipasi se­mua pihak. Pada akhirnya, ke­percayaan dan perubahan pola pikir masyarakat akan ber­tum­buh dan terbentuk dari ke­ber­hasilan kebijakan zonasi yang mampu membuat semua se­kolah berkualitas.

Ke depan, kebijakan yang se­gera harus dilakukan oleh Ke­mendikbud setelah PPDB Zo­na­si ini adalah redistribusi guru, baik secara jumlah mau­pun kua­litas dan penerapan kebijakan terkait penataan sekolah, ter­masuk infrastruk­tur sekolah.

Kiranya penerapan ke­bi­ja­kan zonasi memerlukan du­ku­ngan semua pihak demi tujuan besar jangka panjang, yang da­lam pernyataan mendikbud agar dapat menghadirkan po­pu­­lasi kelas heterogen, se­hing­ga mendorong kreativitas pen­di­dik dalam pembelajaran di ke­las. Karena salah satu arah ke­bi­jakan zonasi ini adalah me­ning­katkan keragaman pe­serta di­dik di se­kolah, sehingga nan­ti­nya akan menumbuhkan mi­nia­tur-mi­nia­tur ke­bi­ne­ka­an di sekolah kita. Kiranya su­dah saat­nya dila­kukan pe­nguat­an tri­pusat pen­di­dikan (sekolah, masyarakat, dan ke­luarga). Semoga!
(mhd)
Berita Terkait
Pancasila Sakti
Pancasila Sakti
Opini Guru Besar Anti-TWK
Opini Guru Besar Anti-TWK
Kaum Disabilitas Vs...
Kaum Disabilitas Vs Kaum OJOL
Larangan Mudik untuk...
Larangan Mudik untuk Keselamatan Publik
Korona Hadiah Terbesar...
Korona Hadiah Terbesar di Hari Kesehatan Dunia
Kartini Masa Kini di...
Kartini Masa Kini di Tengah Pandemi
Berita Terkini
Menurunkan Prevalensi...
Menurunkan Prevalensi Stunting
34 menit yang lalu
Silaturahmi Itu Perintah...
Silaturahmi Itu Perintah Agama, Jubir PSI: Kok Malah Dicurigai?
48 menit yang lalu
Ridwan Kamil Ternyata...
Ridwan Kamil Ternyata Telah Laporkan Lisa Mariana ke Mabes Polri pada 11 April 2025
1 jam yang lalu
Saksikan Malam Ini di...
Saksikan Malam Ini di 30 Menit Bersama Kabinet Merah Putih Ngobrol Sehat dengan Menteri Kesehatan Bersama Desvita Bionda, Hanya di iNews
2 jam yang lalu
Ibadah Jumat Agung di...
Ibadah Jumat Agung di Gereja Katedral Jakarta Dilaksanakan Tiga Sesi
5 jam yang lalu
Batal Ikut Maraton di...
Batal Ikut Maraton di AS, Misbakhun Dinilai Tunjukkan Loyalitas
6 jam yang lalu
Infografis
P2G Desak Kemendikbudristek...
P2G Desak Kemendikbudristek Evaluasi Total Sistem PPDB
Copyright ©2025 SINDOnews.com All Rights Reserved