Bijakkah Melarang Diskon Ojek Daring?

Rabu, 12 Juni 2019 - 04:22 WIB
Bijakkah Melarang Diskon Ojek Daring?
Bijakkah Melarang Diskon Ojek Daring?
A A A
PEMERINTAH melalui Kementerian Perhubungan (Ke­menhub) berencana menghapus aturan diskon pada transportasi berbasis online (daring), termasuk ojek daring. Penghapusan diskon ini kemungkinan akan berlaku pada akhir Juni mendatang dan diatur melalui peraturan menteri ataupun surat edaran.

Rencana Kemenhub ini langsung direspons masyarakat dengan melontarkan berbagai keluhan. Banyak muncul nada protes karena kebijakan tersebut dinilai memberatkan masyarakat yang aktivitas sehari-harinya sangat terbantu dengan keberadaan ojek daring. Pro­tes masyarakat disampaikan melalui media sosial, terutama Twitter.

Intinya, kebijakan penghapusan diskon disayangkan ka­rena pe­motongan tarif selama ini dinilai cukup meringankan kon­sumen. Melalui diskon atau promo yang ditawarkan perusahaan aplikasi, bia­ya transportasi yang harus dikeluarkan lebih murah. Seperti di­ketahui, dua aplikator transportasi daring , yakni Grab dan Go-Jek, me­narik minat konsumen dengan skema potongan harga.

Kon­su­men biasanya ditawari dengan voucher elektronik yang ber­fungsi me­mangkas harga perjalanan. Biasanya pengguna ojek da­ring men­da­patkan diskon pembayaran bila membayar meng­gu­na­kan alat pembayaran Go-Pay untuk Go-Jek dan Ovo bagi pengguna GrabBike.

Namun, pandangan konsumen ini berbeda dengan pemerintah. Ke­menhub memiliki alasan tersendiri sehingga kebijakan peng­ha­pu­san diskon dinilai harus segera dilakukan.

Sebagaimana di­sam­pai­kan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, diskon ta­rif hanya memberikan keuntungan sesaat, sedangkan untuk jangka panjang bisa membentuk persaingan tidak sehat. Di­kha­watirkan akan terjadi aksi “saling bunuh” di antara perusahaan pe­nye­dia jasa transportasi daring demi menguasai pasar.

Alasan pe­merintah ini cu­kup masuk akal. Sebab, jika diskon diberikan secara jor-joran , tanpa am­bang batas, bahkan hingga Rp1, itu ber­potensi memunculkan praktik predatory pricing. Perusahaan ter­ten­tu bisa saja memasang tarif serendah-rendahnya yang tujuan se­sung­guhnya adalah untuk menyingkirkan pesaing. Jadi, diskon bukan lagi dilakukan dalam rangka strategi pemasaran (marketing), melainkan bertujuan menghabisi kompetitor.

Kondisi inilah yang menurut Kemenhub tidak sehat jika dilihat dari sisi persaingan usaha. Di sisi lain, aturan diskon yang tanpa aturan juga dinilai bisa merusak ketentuan tarif yang ada, padahal selama ini Kemenhub sudah menetapkan aturan batas atas dan batas bawah. Diskon itu mengubah skema tarif ojek daring meskipun memang masih dalam batas atas dan batas bawah.

Memang tidak mudah merumuskan satu kebijakan yang memuaskan semua pihak. Apalagi, dalam bisnis transportasi daring ini pemerintah harus mengakomodasi semua kepentingan pihak yang terlibat, baik konsumen, driver sebagai mitra perusahaan ap­likasi, maupun pihak perusahaan aplikasi sendiri. Hampir setiap ke­bi­jakan direspons berbeda oleh stakeholders di bidang transportasi.

Terkait penghapusan diskon ini, selain dikeluhkan konsumen, asosiasi driver juga bereaksi. Mereka khawatir jika diskon dihapus, konsumen malah berhenti menggunakan ojek daring dan beralih ke moda transportasi lain yang dianggap lebih murah.

Terkait rencana penghapusan diskon, ada usulan agar Ke­men­hub lebih baik mengaturnya, bukan justru menghapusnya. Cara mengaturnya, pertama-tama perlu dilakukan pendataan misalnya seberapa besar dan seberapa sering sebuah perusahaan aplikasi boleh membuat promosi atau diskon tarif. Apakah dalam jangka pendek atau jangka lama.

Selain itu, berapa lama waktu pemberian diskon yang bisa ditoleransi, dan berapa ambang batas diskon yang boleh diberikan. Selain itu, pihak mana yang diperbolehkan mem­berikan diskon atau promosi. Bahkan, ada kesan dengan kebijakan membuat aturan baru yang spesifik mengatur diskon tarif, pe­me­rintah terlihat tidak cukup mampu mengatur polemik tarif ojek da­ring ini. Solusi yang ditawarkan juga belum tentu menjawab per­soalan, bahkan bisa saja memicu masalah baru.

Tak kalah penting, sebelum Kemenhub menerapkan kebijakan tersebut ada baiknya jika terlebih dulu menerima masukan yang komprehensif dari semua stakeholders di bidang transportasi berbasis aplikasi, antara lain asosiasi pengemudi ojek daring, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5661 seconds (0.1#10.140)