Ramadhan Berlalu, Ketaatan Menetap

Rabu, 12 Juni 2019 - 06:49 WIB
Ramadhan Berlalu, Ketaatan Menetap
Ramadhan Berlalu, Ketaatan Menetap
A A A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation

PEKAN lalu Ramadhan berlalu. Seolah mengatakan goodbye, see you again (selamat tinggal, hingga jumpa lagi)! Kita yang mengenalnya sebagai bulan kebaikan, datang dengan segala kebaikan, tentunya bersedih dan berat hati ditinggalkan. Berat hati untuk melambaikan tangan secara berucap goodbye, hope to see you again.

Tapi itulah kenyataan. Berlalunya Ramadhan sekaligus mengindikasikan bahwa segala sesuatu pasti berlalu. Tiada yang tetap dan abadi. Bagusnya, sebagian yang berlalu itu masih ada harapan untuk kembali.

Ramadhan salah satunya. Kali ini telah berlalu. Tapi masih ada harapan untuk kembali. Hanya sebuah harapan. Karena bukan kepastian. Jangan-jangan sebelum masanya kembali, dunia sementara ini telah berakhir abadi.

Ramadhan memang telah berlalu. Tapi semangat Ramadhan menetap bersama kehidupan kita.

Ramadhan bukan sekadar sebuah bulan. Melainkan gaya hidup dan sebuah awal dari transformasi hidup. Karenanya jangan tinggalkan. Tapi perluas ruangnya dalam hidupmu untuk bersamamu selamanya.

Dengan berlalunya Ramadhan, ada beberapa prinsip dasar Islam yang harus diingat oleh kita semua. Pertama, Islam mengajarkan bahwa sesungguhnya dalam melakukan (ibadah), dalam arti pengabdian atau aktifitas hidup secara umum Islam tidak mengenal retirement (masa pensiun).

Runyamnya lagi, dalam bahasa Arab kata pensiun disebut taqaa' yang jika diinggriskan bermakna in capable of doing anything (ketidakmampuan melakukan sesuatu). Taqaa' ada juga bisa bermakna terduduk, yang bisa melahirkan konotasi negatif, seperti kelemahan dan juga kemalasan.

Untuk menghindari semua konotasi negatif itu, Alquran menekankan bahwa seorang Mukmin tidak pernah berhenti dalam aktifitas (amal). Jika selesai di sebuah aktifitas maka dia akan segera menuju kepada aktifitas lainnya. Dan semua itu menjadi bagian dari jalan menuju Tuhan.

Kedua, pengabdian kita kepada Allah itu seumur hidup. Tidak dibatasi oleh batas waktu dan ruang. Pengabdian berakhir di saat hidup itu telah berakhir.

Inilah yang ditegaskan oleh Alquran: “Dan sembahlah Tuhanmu hingga keyakinan itu (kematian) tiba kepadamu”. Al-Hasan Al-Basri pernah berkata "sesungguhnya Allah tidak pernah membatasi amal seorang Mukmin kecuali dengan kematiannya".

Ketiga, keberhasilan sebuah ibadah itu tidak saja dilihat pada saat pelaksanaannya. Justru indikasi keberhasilan sebuah ibadah akan terlihat pascapelaksanaan ibadah itu sendiri.

Satu contoh yang konkret dalam Alquran adalah salat. Saya ambil penyebutan itu di dua tempat. Pertama, di surah Al-Mukminuun. Kedua, di surah Al-Maa’uun. Salat yang sukses itu adalah khusyuk dalam pelaksanaan. Tapi juga tidak terlupakan makna-maknanya dalam kehidupan riil manusia.

Demikian juga puasa. Keberhasilannya bukan saja pada bulan Ramadhan. Tapi harusnya teridentifikasi setelah Ramadhan berlalu. Apa dan bagaimana dampak puasa dalam kehidupan riil pelakunya?

Keempat, Islam itu adalah agama yang selain memang sempurna, juga bersifat integratif (saling berkaitan). Ibadah ritual itu terkait, langsung atau tidak, dengan perilaku pelakunya.

Maka ibadah-ibadah semuanya dilihat kesuksesannya pada karakter moral pelakunya. “Sesungguhnya salat itu mencegah kekejian dan kemungkaran”.

Mengenai puasa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan buruk dan perbuatannya maka tidak ada hajat bagi Allah untuk dia meninggalkan makan dan minum”.

Ibadah-ibadah ritual yang dilakukan tanpa kelanjutan moralitas dalam karakter melahirkan double standard personality (kepribadian mendua). Kepribadian seperti ini yang disebut dalam bahasa agama sebagai nifaaq.

Akhirnya, semoga berakhirnya bulan bukanlah sebuah tanda berakhirnya pula ketaatan. Bulan datang dan pergi. Tapi ketaatan menetap sepanjang hayat masih dikandung badan. Semoga!

New York City, 10 Juni 2019
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3497 seconds (0.1#10.140)