Lebaran, Tol Baru, dan Politik Milineal AHY

Jum'at, 07 Juni 2019 - 10:57 WIB
Lebaran, Tol Baru, dan Politik Milineal AHY
Lebaran, Tol Baru, dan Politik Milineal AHY
A A A
Sururi Alfaruq
Wartawan Senior

SUASANA merayakan Idul Fitri kali ini ada dua hal yang menarik. Pertama; keberadaan jalan tol. Diakui atau tidak, umat Islam yang merayakan Lebaran dengan mudik ke kampung halaman tentu merasa terkagum-kagum dengan fasilitas jalan tol.

Bagaimana tidak. Jarak tempuh menuju kampung halaman untuk jalur jawa misalnya, menjadi lebih cepat alias bisa menghemat 7-8 jam, bahkan bisa lebih. Tidak hanya itu, pemandangan selama perjalanan terasa sangat indah karena view alam yang dilintasi jalur tol adalah pegunungan sehingga terasa tidak membosankan.

Tentu bagi yang menikmati fasilitas tol ini pantas bangga dan bersyukur karena dipermudah dengan akses perjalanan yang cepat. Tentunya yang merasakan manfaat fasilitas tol ini tidak hanya jalur jawa, non jawa pun akan bisa merasakan hal yang sama.

Kedua; hal lain yang membuat suasana merayakan lebaran menjadi menarik dan berwarna karena munculnya berita silaturahmi dua putra mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) ke kediaman Presiden Jokowi, mantan Presiden Megawati dan istri mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Ibu Sinta Nuriyah. Sebenarnya bersilaturahmi dalam tradisi merayakan lebaran adalah hal yang biasa. Namun, momentumnya yang bisa disebut menarik.
Diakui atau tidak, suasana batin politik keluarga SBY dengan Presiden Jokowi dalam pemilu kali ini sedang berlawanan arah. Begitu pun dengan mantan Presiden Megawati, hubungan susana batin keluarga SBY sudah lama tidak bisa mencair karena terjebak pada perbedaan pandangan politik klasik antar keduanya. Kecuali dengan keluarga mantan Presiden Gus Dur, citra politik keluarga SBY bisa disimpulkan baik baik saja.

Sebenarnya, tulisan ini bisa saja biar tidak disebut reseh, usil atau kepo, silaturahmi kedua putra SBY tersebut tidak perlu ditarik ke ranah politik. Biarkan saja aktivitas kedua putra SBY itu mengalir seperti yang lainnya. Baik AHY dan Ibas tentu punya perspektif obyektif tersendiri dalam menjalankan silaturahmi di saat momentum Lebaran kepada keluarga Presiden Jokowi, Ibu Megawati dan Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid.

Sebab, bisa dipahami bahwa apa yang dilakukan AHY dan Ibas lebih dalam konteks humanism yang ingin menunjukkan hormatnya sebagai anak muda kepada Pak Jokowi, Ibu Mega dan Ibu Sinta. AHY dan Ibas sebagai putra SBY, tentu merasa tersanjung dan bangga yang luar biasa karena wafatnya ibundanya tercinta, Ibu Any Yudhoyono mendapatkan perhatian dan kehormatan yang besar dari Presiden Jokowi atas nama Negara.

Pun Ibu Megawati berkenan mengikuti upacara pemakaman Ibu Any sampai selesai dengan menunjukkan wajah penuh empati kepada SBY yang sedang berduka. Senyum Ibu Mega kepada SBY di pemakaman sampai kedua tokoh ini bersalaman memberikan banyak makna.

Kejadian ini direkam sangat baik oleh AHY dan Ibas. Kedua putra SBY ini tidak bisa memungkiri hatinya benar benar terenyuh, bangga, dan merasa beban beratnya yang sedang berduka seperti “dihibur” dan dikuatkan batinnya oleh Presiden Jokowi, Ibu Mega dan juga Ibu Sinta, termasuk juga mantan Presiden Habibie yang ikut hadir di pemakaman.

Karena itu, di saat momentum Lebaran, AHY dan Ibas ingin menyambung kebaikan, ingin mengucapkan terima kasih, dan tentu melakukan hal hal baik lainnya kepada Presiden Jokowi, Ibu Mega dan Ibu Sinta.

Namun, apa yang dilakukan AHY dan Ibas tersebut dalam kultur politik kita tidak bisa diterjemahkan hanya dengan single meaning, tetapi cenderung multiple meaning. Ini relevan dengan diplomasi yang dibangun SBY yang selalu mengedepankan soft power diplomacy ketimbang hard power diplomacy.

Salah satu aspek penting yang bisa ditarik dari multiple meaning-nya adalah silaturahmi dua putra SBY ke Presiden Jokowi, ke Ibu Megawati dan Ibu Sinta akan memberikan potret baru politik ke depan, yakni potret politik milineal yang sangat bergairah. Bisa jadi, implikasi silaturahmi ini, bisa memformulasikan pasangan kepemimpinan yang menduetkan AHY-Kaisang, Puan-AHY, AHY-Yenny Wahid.

Lima tahun ke depan tentu pasangan-pasangan milineal tersebut menjadi lebih berbobot dan makin matang. Apalagi di belakang masing masing sudah terbangun power besar, baik dalam konteks partai, figure besar orangtua mereka, dan basis sosial serta keunikan figur masing-masing. Memang kolaborasi para figur emilineal tersebut tidak langsung mulus karena mereka akan berhadapan dengan kekuatan politik generasi menengah yang lebih dulu matang.

Kelompok ini diwakili dengan sosok Nurdin Abdullah (Gubernur Sulsel), Ridwan Kamil (Gubernur Jabar), Anis Baswedan (Gubernur DKI), Khofifah Indarpawansa (Gubernur Jatim), Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) dan dua pengusaha Sandiaga Uno serta Hary Tanoesoedibjo. Kelompok menengah tersebut tidak menutup kemungkinan akan membangun kolaborasi yang saling menguatkan dalam percaturan politik 2024 dengan konfigurasi sesuai kebutuhan eranya nanti.Terlepas tidak terhindarnya sebuah kompetisi politik yang keras dalam spektrum politik ke depan, soft power diplomacy yang dilakukan AHY dan Ibas memberi warna baru politik milineal bersama Puan Maharani, Kaesang dan Yenny Wahid.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4151 seconds (0.1#10.140)