Jangan Menggurui Mahkamah Agung

Selasa, 04 Juni 2019 - 14:58 WIB
Jangan Menggurui Mahkamah Agung
Jangan Menggurui Mahkamah Agung
A A A
Suparji Ahmad
Dosen Tetap, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, adalah juga Ketua Bidang Hukum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).

PERNYATAAN Indonesian Corruption Watch (ICW) agar Mahkamah Agung menolak semua upaya hukum yang dilakukan oleh sejumlah terpidana, seperti diberitakan oleh detikcom pada 3 Juni 2019 cukup mengagetkan. Dikatakan mengagetkan karena selama ini masyarakat percaya bahwa ICW bukanlah institusi penegakan hukum, melainkan hanyalah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM).

MA sebagai lembaga tertinggi negara di ranah kekuasaan kehakiman tak bisa didikte oleh kemauan sebuah LSM. MA juga tak bisa digurui untuk memutus sesuai kehendak LSM manapun, sebab MA adalah lembaga terhormat, independen, dan berdaulat penuh untuk memutus perkara sesuai ketentuan perundang-undangan; dan keputusannya dilakukan oleh para Hakim Agung yang profesional dan disumpah untuk bertindak adil dan benar, tanpa perlu "dikuliahin" oleh siapapun.

Mendesak MA untuk menolak semua upaya Peninjauan Kembali (PK) yang ajukan oleh para terpidana merupakan suatu bentuk arogansi dan intervensi kasar (rude intervention) terhadap kekuasaan tertinggi kehakiman. Tindakan demikian juga merupakan pelecehan terhadap profesionalisme para Hakim Agung yang Terhormat yang sangat paham tentang profesi mereka.

Tuntutan ICW yang diberitakan itu berjudul "ICW Minta MA Berani Tolak PK Anas Urbaningrum, Irman dan OC Kaligis." Di sini ICW gagal memahami bahwa putusan perkara PK di MA tidak ada hubungannya dengan urusan berani atau takut, sebab ini proses peradilan di puncak kekuasaan kehakiman yang independen dan berdaulat penuh untuk memutus tanpa desakan pihak lain.

Dalam berita itu "ICW menuntut agar, yang pertama, Mahkamah Agung menolak setiap permohonan PK yang diajukan oleh terpidana korupsi. Kedua, KPK mengawasi jalannya persidangan serta Hakim yang memeriksa PK terpidana korupsi," kata peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Kurnia Ramadhana.

Di situ ICW gagal lagi untuk memahami bahwa dia bukan penuntut umum yang berhak menuntut kepada MA. ICW sama sekali tidak mempunyai hak untuk menutut agar MA takluk kepada tuntutannya. ICW juga tidak memahami bahwa KPK tidak diberi kewenangan oleh sistem hukum negara untuk secara kelembagaan mengawasi MA sebab KPK bukanlah lembaga pengawas MA, bukan pula atasan MA.

ICW juga terkesan ingin menggurui MA agar jangan lagi membebaskan atau meringankan hukuman terpidana sehingga putusan di tingkat judex jures itu “harus menjadi evaluasi serius” karena “lambat laun akan semakin menurunkan kepercayaan publik pada lembaga peradilan." Kalimat seperti itu sangat ngawur karena sama saja dengan melecehkan dan mencurigai MA sebagai lembaga yang tidak mengerti tentang keadilan.

Ketika suatu perkara yang sudah diputus di tingkat judex facti diajukan ke MA maka MA sangat paham bahwa hal itu merupakan konfirmasi bahwa putusan di tingkat judex facti itu bermasalah dari kacatama pencari keadilan sehingga perlu ditinjau kembali. Maka tugas MA adalah menyibak kebenaran terhadap putusan judex facti dimaksud agar dapat menghadirkan keadilan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Tujuan diajukannya suatu upaya PK adalah untuk mencari keadilan, baik dari sisi formil maupun meteriil. Maka MA berkewajiban untuk meninjau ulang putusan dimaksud untuk memastikan apakah putusan itu sudah sesuai dengan semua aturan perundang-undangan. MA tidak memerlukan nasihat, apalagi desakan, dari pihak manapun sebab ia independen dan berdaulat penuh untuk memutus sesuai keyakinan dan penilaian para Hakim Agung terhadap interpretasi hukum yang digunakan di tingkat judex facti.

Ketika suatu perkara PK kasus korupsi disidangkan di Pengadilan Negeri maka di situlah tempatnya untuk jaksa KPK mengajukan pendapatnya terhadap memori PK yang diajukan. Dalam mekanisme PK, negara tidak menyediakan wadah lain selain sidang tersebut, dan tidak pula membenarkan adanya intervensi dari pihak manapun di luar wadah ini untuk mempengaruhi proses PK yang diadakan di MA.

Ketika proses persidangan PK, yang merupakan proses administratif, ini sudah dirampungkan dan hasilnya dikirim ke MA, maka hak jaksa KPK maupun terpidana yang mengajukan PK sudah berakhir. Dua pihak ini tidak dibenarkan untuk mengintervensi MA yang akan memutus perkara PK dimaksud. Maka secara hukum tidak dibenarkan adanya intervensi dari pihak manapun, termasuk ICW, KPK, atau pun lembaga lain, untuk mendesak MA agar memutus sesuai kehendak mereka.

Maka apabila hasil persidangan PK sudah dikirim ke MA, dengan sendirinya KPK dan terpidana sama-sama tidak berhak lagi untuk bermanuver dengan cara apapun untuk mempengaruhi MA. Sebab manuver demikian merupakan pelecehan terhadap kekuasaan tertinggi kehakiman (contempt of Supreme Court). Dengan pemahaman demikian maka manuver-manuver dari pihak manapun, termasuk ICW, tidak dibenarkan karena melanggar ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.

Desakan ICW agar MA menolak upaya PK yang diajukan Anas Urbaningrum, Irman Gusman, dan OC Kaligis merupakan perbuatan yang di luar batas, karena selain tidak percaya pada profesionalisme para Hakim Agung, juga melecehkan independensi dan kedaulatan MA sebagai pemegang otoritas tertinggi di ranah kekuasaan kehakiman yang tak boleh diganggu. Padahal PK adalah hak terpidana dan hak ini dijamin oleh undang-undang.

Desakan serupa pernah juga dilakukan oleh jurubicara KPK Febri Diansyah yang meminta MA agar segera memutus upaya PK yang diajukan Irman Gusman dengan cara menolak mentah-mentah semua argumentasi dalam memori PK yang diajukan oleh penasihat hukumnya yaitu Maqdir Ismail dan rekan-rekannya—justru pada saat hasil persidangan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah rampung dan dikirim ke MA, sehingga menimbulkan kesan kuat bahwa KPK sedang mempengaruhi MA untuk memutus sesuai kemauannya dan bukan sesuai pertimbangan yang adil dan benar yang dilakukan oleh MA.

Tindakan ICW dan KPK seperti diuraikan di atas tentu tidak sehat karena tidak menghormati independensi dan kedaulatan dari institusi tertinggi negara di ranah kekuasaan kehakiman. Tidak mengherankan mengapa guru besar hukum dari Universitas Diponegoro Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum katakan bahwa seharusnya ICW tidak mencampuri proses peradilan karena ICW bukanlah lembaga peradilan.

"ICW itu aneh. Apa gunanya upaya hukum bila memaksakan peradilan yang lebih tinggi untuk menolak suatu permohonan?" ujar Prof Suteki.

"ICW bukan pula lembaga pertimbangan untuk MA sehingga tak boleh memaksakan kehendaknya kepada MA," imbuhnya.

Sebagai sebuah LSM yang memperhatikan (watch) tindakan-tindakan korupsi, kata Prof. Suteki, ICW sebagaimana halnya LSM lainnya, hanya bisa memberikan masukan, tetapi tidak dibenarkan memaksakan kehendaknya dengan mengatakan bahwa MA harus menolak semua upaya PK yang diajukan oleh para terpidana pencari keadilan. Sebab tujuan diajukannya suatu PK adalah untuk mencari keadilan, artinya keadilan dalam perkaranya belum ditemukan sehingga perlu dicari di tingkat judex jures yang akan menguji putusan di tingkat judex facti.

Masyarakat masih percaya bahwa dalam memutus suatu perkara PK maupun kasasi, MA bertindak independen dan profesional, tanpa didikte oleh tekanan dari lembaga manapun, sebab putusan MA merupakan mahkota penegakan hukum yang final dan berkekuatan hukum tetap. Putusan MA juga merupakan pertanggungjawaban tertinggi terhadap sumpah jabatan para Hakim Agung kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa putusan dimaksud diberikan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa."

Sehingga ketika di tingkat judex facti ungkapan agung itu digunakan tetapi dirasakan jauh dari rasa keadilan, maka di tingkat MA-lah frasa itu diberikan evaluasi terakhir bahwa putusan yang turun dari MA merupakan pertanggungjawaban tertinggi kepada Tuhan bahwa seorang terpidana pantas dikuatan hukumannya, ataukah pantas dikurangi masa hukumannya, atau juga harus dibebaskan dari semua dakwaan. Itulah yang dinamakan keadilan tertinggi di negara yang berdasarkan Pancasila ini dimana sila Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan, menjadi fondasi dari putusan kekuasaan kehakiman tertinggi.

Demi Keadilan Bedasarkan Ketuhanan yang Maha Esa itu pula, maka proses PK sama sekali bukanlah urusan menang-menangan. Bukan urusan memenangkan satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya. Bukan urusan harus mengikuti tuntutan satu pihak dan mengabaikan yang lainnya. Ini adalah urusan mempertanggungjawabkan putusan pengadilan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa itu, dimana keadilan harus dihadirkan sesuai standar kebenaran, keadilan, dan kejujuran yang selaras dengan kehendak Tuhan.

Kalau penegak hukum dan pegiat antikorupsi benar-benar menyadari akan kebenaran ini maka tidak akan ada pihak manapun yang sacara sengaja mendesak-desak atau memaksakan kehendaknya yang subyektif itu untuk menghukum atau memberatkan hukuman terpidana pencari keadilan, melainkan mempertimbangkan semua aspek dengan hati-hati, benar, dan gentar di hadapan Tuhan yang Maha Benar dan Maha Melihat agar putusan yang diberikan tidak berlawanan dengan kehendak Tuhan.

Apalagi di Bulan Suci Ramadan ini, bulan yang penuh rahmat dari Allah SWT, dimana ucapan, pikiran, dan tindakan para penegak hukum yang menjalankan Ibadah Puasa diwajibkan untuk selaras dengan kehendak Yang Maha Kuasa, maka kesucian hati dan pikiran mesti mengemudikan setiap tindakan dan putusan para penegak hukum, agar dapat benar-benar menghadirkan kebenaran dan keadilan dalam menangani setiap perkara.

Sebab apabila lain dari itu, maka di bumi ini bisa saja seorang terpidana dihukum tetapi di akhirat nanti, mungkin penegak hukum itulah yang akan dihukum seberat-beratnya karena tindakan itu merupakan kejahatan di mata Tuhan. Lebih parah lagi apabila ada orang yang menghukum orang lain karena melakukan kejahatan tetapi mereka sendiri melakukan kejahatan yang sama dengan yang dilakukan oleh orang yang dihukumnya itu.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5575 seconds (0.1#10.140)