Pemilu Parlemen UE dan Masa Depan Eropa

Sabtu, 25 Mei 2019 - 08:16 WIB
Pemilu Parlemen UE dan...
Pemilu Parlemen UE dan Masa Depan Eropa
A A A
Khasan Ashari

Pemerhati Masalah Internasional

TANGGAL 23-26 Mei ini pemilu legislatif untuk me­milih anggota Parle­men Eropa digelar di 28 negara anggota Uni Eropa (UE). Par­lemen Eropa adalah lembaga legislatif UE yang beranggotakan 751 orang. Anggota Parlemen Eropa dipilih pada tingkatan nasional tiap negara anggota. Namun di parlemen mereka mem­bentuk fraksi berdasarkan pandangan politik, bukan berdasar­kan negara asal.

Berbeda dengan lembaga legislatif pada tingkat negara, Parlemen Eropa tidak memiliki kewenangan legistative initiative untuk mengajukan RUU. Parlemen Eropa hanya memiliki ke­wenangan menolak atau mengubah RUU yang diajukan Komisi Eropa—lembaga eksekutif di organisasi UE.

Meskipun demikian bukan berarti peran Parlemen Eropa tidak penting. Lembaga ini memiliki pengaruh cukup kuat dalam penetapan kebijak­an UE. Lebih dari itu, komposisi ke­anggotaan lembaga ini juga men­cerminkan spektrum politik Eropa. Pertanyaan mengenai pandangan politik apa yang menjadi mayoritas—apakah kanan, tengah, atau kiri—selalu menjadi tema menarik pada setiap pemilu.

Isu Utama

Kebangkitan kelompok kanan (right wing) menjadi salah satu isu utama di Eropa dalam satu dekade terakhir. Kelompok kanan ini diwakili partai-partai politik yang mengusung tema populis dan mendahulukan ke­pentingan nasional di atas kepen­ting­an bersama pada tingkat regional. Kelompok ini umumnya juga me­nyuarakan pandangan euroscepticism yang kritis terhadap keberadaan UE dan integrasi Eropa.

Naiknya popularitas partai ber­haluan kanan tecermin dari hasil pe­milu nasional terakhir. Partai-partai kanan di Jerman, Prancis, Italia, Belanda, Spanyol, Republik Ceko, Swedia, Fin­landia, dan Estonia me­raih suara pada kisaran 10% hingga 18%. Kisaran yang lebih tinggi (20-30%) diraih partai-partai kanan di Denmark, Austria, dan Swiss. Bahkan koalisi partai kanan saat ini duduk dalam pemerintahan di Austria dan Hungaria.

Naiknya suara partai kanan 10 tahun terakhir berkaitan erat dengan persoalan ekonomi dan migrasi. Krisis ekonomi tahun 2008 meng­harus­kan UE secara kolektif mem­bantu negara-negara anggota yang terdampak paling parah. Kebijakan ini dikritisi partai-partai kanan. Mereka berargumen dana yang dipungut dari pajak di suatu negara tidak seharusnya digunakan untuk membantu mengatasi krisis di negara lain.

Krisis ekonomi juga mengubah pandangan publik terhadap isu migrasi. Di tengah kondisi ekonomi yang memburuk, pandangan bahwa imigran adalah beban ekonomi se­makin meningkat. Terlebih terhadap imigran dengan status pengungsi (refugees) yang setiap bulan men­dapat tunjangan hidup dari negara yang menampung mereka.

Komposisi Saat Ini

Sebuah studi menunjukkan pada periode 1979-2009 jumlah anggota Parlemen Eropa yang berhaluan kanan rata-rata pada kisaran seper­lima dari total anggota. Lonjakan ta­jam terjadi pada Pemilu 2014. Jumlah anggota berhaluan kanan meningkat menjadi 29%.

Pergeseran pandangan politik beberapa anggota menambah jumlah anggota yang berhaluan kanan men­jadi 30%. Dilihat dari negara asal, jumlah anggota Parlemen Eropa dari Inggris dan Yunani yang “anti-Eropa” bahkan lebih banyak daripada yang “pro-Eropa”.

Ada dua isu yang dipandang ber­pengaruh terhadap torehan suara partai kanan pada pemilu kali ini. Per­tama adalah faktor Brexit. Awalnya keluarnya Inggris dari UE dianggap potensial memicu negara-negara lain mengikuti langkah serupa. Nyatanya sampai hari ini proses Brexit belum tuntas. Bahkan muncul aspirasi untuk membatalkan proses tersebut.

Bagaimana dampak Brexit ter­hadap suara partai kanan, menarik dicermati. Hasil referendum di Inggris yang menegaskan bahwa opsi keluar dari UE dapat terwujud dapat menguatkan popularitas partai yang mengusung tema euroscepticism. Sebaliknya pro­ses Brexit yang berbelit-belit beri­kut segala implikasinya dapat juga membuat pemilih semakin meyakini bahwa integrasi Eropa adalah pilihan terbaik.

Faktor kedua adalah kinerja partai-partai kanan yang sekarang duduk di pemerintahan. Terakhir publik Eropa dikejutkan oleh peristiwa yang meli­bat­kan Wakil Kanselir Austria Heinz-Christian Strache yang berasal partai kanan. Beredar video yang menun­juk­kan Strache menjanjikan kemu­dah­an kepada pihak yang mengaku sebagai pengusaha asal Rusia dengan imbalan dukungan finansial untuk partainya.

Tindakan ini dianggap tidak etis dilakukan oleh pejabat publik, terlebih oleh figur yang selama ini mengusung tema nasionalisme dan membatasi keterlibatan asing. Strache meng­undur­­kan diri dari jabatannya dan partai­nya mundur dari koalisi. Akibat­nya pemerintahan Austria jatuh dan pemilu diputuskan digelar lebih cepat pada September mendatang.

Di tengah meningkatnya kecende­rung­an negara-negara untuk kembali memilih kebijakan proteksi yang berorientasi ke dalam, perolehan suara partai-partai kanan di pemilu Parle­men Eropa menarik dicermati. Naik­nya suara mereka secara signifikan akan menegaskan bahwa integrasi Eropa tengah berada di simpang jalan dan perlu pendekatan baru untuk mempertahankannya. Hasil ini juga akan menegaskan bahwa pergeseran pendulum politik ke kanan sudah menjadi tren yang sifatnya global.

Sebaliknya jika suara yang didapat tetap atau turun, sentimen “ anti-Eropa” tetap dapat dilihat sebagai proses tawar-menawar untuk mewujudkan integrasi Eropa yang menguntungkan bagi semakin banyak pihak.

Akhirnya dinamika di sejumlah negara anggota UE dan mening­kat­nya popularitas pandangan politik kanan di sejumlah negara membuat pemilu Parlemen Eropa tidak lagi dianggap remeh. Pemilu Parlemen Eropa tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang rutin dan prosedural seperti di masa lalu. Sebaliknya, hasil pemilu dianggap sebagai cerminan wajah politik Eropa. Dan banyak negara akan men­jadi­kannya sebagai rujukan dalam men­jalankan hubungan dengan negara-negara anggota UE.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7246 seconds (0.1#10.140)