Politisasi Informasi dan Komunikasi Publik
A
A
A
Roseno Aji Affandi
Pemerhati “International Political Technology”, Pengajar Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Jakarta
PADA 21-22 Mei 2019 kita menyaksikan bersama sebuah eskalasi politik Indonesia yang menghangat di seputaran Jalan Thamrin, kawasan Tanah Abang, dan Sabang, Jakarta, akibat dampak dari kontestasi pemilihan presiden. Eskalasi diawali dengan demonstrasi yang aman kemudian berkembang menjadi panas dan akhirnya sampai jatuhnya korban jiwa. Memanasnya situasi berdampak terhadap meningkatnya pengamanan yang dilakukan oleh pemerintah.
Tulisan ini tidak akan membahas kronologi peristiwa, apalagi menghakimi pihak-pihak tertentu, melainkan hanya fokus dan terbatas pada mengamati kebijakan pemerintah dalam membatasi akses media sosial demi menjaga “stabilitas keamanan”. Bagaimana dampak politis dan nonpolitis kebijakan tersebut?
Dampak Nonpolitis
Media sosial merupakan gaya hidup generasi milenial. Hampir semua aktivitas setiap warga masyarakat pada hari-hari ini tidak terlepas dengan media sosial. Sementara kebijakan pembatasan akses media sosial ini berdampak tidak hanya kepada stabilitas keamanan, tetapi juga terhadap ekonomi pelaku industri yang operasionalnya tergantung oleh akses media sosial dan internet. Mahasiswa mengalami kesulitan mengerjakan tugas kuliahnya, masyarakat pengguna jasa ojek daring terganggu mobilitasnya, pengemudi berkurang pendapatannya, serta aktivitas warga lainnya yang hampir semuanya mengandalkan smartphone terganggu.
Tulisan ini diharapkan bisa menjadi pemicu terbentuknya sebuah “protokol” bagi siapa pun pejabat dalam memutuskan kebijakan publik pada masa-masa “genting” tanpa melanggar hak informasi dan komunikasi publik. Tokopedia memiliki potensi penjualan senilai Rp1 triliun per bulan atau Rp33 miliar per hari. Bukalapak berdasarkan pengakuan CEO-nya memiliki potensi omzet Rp4 triliun per bulan atau Rp133 miliar per hari sehingga dampak kebijakan pembatasan media sosial berpotensi mengganggu pendapatan sebesar Rp166 miliar per hari atau Rp322 miliar selama dua hari, hanya pada kedua e-commerce terbesar Indonesia tersebut. Ini belum termasuk pengusaha berbasis internet yang terafiliasi dengan dua e-commerce tadi.
Media sosial memiliki dampak dan pengaruh yang semakin besar dalam gaya hidup, pola pikir dan ideologi masyarakat hari ini. Kecepatan menerima informasi dan melakukan komunikasi sudah merupakan sebuah budaya baru dalam masyarakat milenial dalam mengambil keputusan, juga dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Dampak Politis
Istilah “genting” pada paragraf sebelumnya merupakan terms yang politis di tengah-tengah hak informasi dan komunikasi publik. Genting bisa diinterpretasikan politis bagi yang merasa kepentingan politiknya terganggu atau bahkan terancam. Sementara bagi publik, yang dibutuhkan bukan tentang genting atau tidaknya sebuah kejadian, tetapi secara politis adalah untuk mendapatkan kecepatan akses informasi dan komunikasi untuk menilai “the truth” dari banjirnya informasi atas sebuah peristiwa. “The truth” dari kepentingan publik digunakan untuk mengambil keputusan berkaitan dengan masalah domestik mereka, seperti penjemputan anak sekolah, meliburkan diri dari pekerjaan, membeli stok makanan, menjual saham, bahkan sampai memutuskan pergi ke negara tetangga.
Dalam sosiologi atau istilah para pemikir studi media sering menyebut ini dengan framing (Goffman 1974; Hajer 1995). Seperti kita ketahui, framing tidak hanya memilih segmen realitas untuk perhatian lebih lanjut, tetapi juga menyediakan skema penafsiran yang digunakan orang untuk menemukan, memahami, mengidentifikasi, dan memberi label (Entman 1993). Dengan penutupan saluran media sosial ini akan berdampak terhadap potensi framing dari satu pihak saja, yang kebetulan sedang berkuasa sekaligus sedang ikut berkontestasi. Padahal, publik juga memiliki hak untuk mendapatkan dan menilai dari berbagai framing yang tersedia di ruang publik (The Power of Scientific Knowledge From Research to Public Policy, 2012, Reiner Grundmann and Nico Stehr, Cambridge University Press).
Keterbukaan saluran dalam kegentingan politik sangat penting sebagai media pendidikan bagi masyarakat untuk terlibat dalam diskursus politik. Adu framing yang memunculkan tesis versus antitesis lainnya dibarengi sikap yang dewasa akan memunculkan kualitas demokrasi dan diskusi publik yang baik.
Membebaskan saluran komunikasi justru akan menjadi bahan saling koreksi dan kontrol publik. Adu framing yang terbuka akhirnya akan dinilai oleh publik. Penutupan saluran justru menimbulkan persepsi kurang fair-nya salah satu pihak. Pembatasan akses media sosial justru akan menimbulkan kecurigaan dan perasaan ketidakadilan dalam hak mendapatkan informasi sebagian pihak. Keterbukaan justru akan menjadi media saling kontrol atas peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi secara live di lapangan.
Partisipasi publik dalam pemberitaan dan memproduksi berita merupakan salah satu ciri negara yang terbuka dalam demokrasi modern. Semakin terbuka akses maka semakin mudah mengidentifikasi dan memprediksi masalah yang terjadi di lapangan. Pembatasan saluran media sosial bisa dipahami, karena memang di beberapa wilayah negara di luar negeri banyak memiliki pengalaman terjadinya gerakan politik awalnya menggunakan media sosial sebagai mediumnya.
Media sosial merupakan salah satu tambang data yang saat ini nilainya menjadi seperti mata uang. Data itu didapat dari setiap pengunduh aplikasi, penggunaan aplikasi melalui like, komen, dan ke-giatan lainnya yang kemudian dikumpulkan dengan mesin algoritmanya sehingga user adalah sumber data itu sendiri. Pemilik platform adalah penyedia alat sekaligus pengolah data-data dari para user. Saat awal mengunduh aplikasi, para user selalu diawali untuk mengikuti aturan yang disyaratkan oleh aplikasi berikut kesepakatan membuka akses data user. Artinya, syarat ijab qabul dan mutual relations di antara kedua belah pihak sudah sah sehingga penguasaan atas data tersebut berada di tangan user dan pemilik platform. Secara sederhana tidak ada kaitannya dengan pihak lain, apalagi negara dalam hal ini.
Alhasil, muncul pertanyaan-pertanyaan fundamental siapakah yang harus menentukan penggunaan data tersebut? Siapakah yang sebenarnya memiliki data? Siapakah yang bisa menggunakannya? Siapakah yang berhak memfilter? Pertanyaan-pertanyaan ini sampai hari ini masih sering menjadi perdebatan di beberapa negara. Saat ini terdapat sebuah kondisi yang paradoks. Di satu sisi, kita sudah mencapai cita-cita menjadi manusia bebas dalam berbicara, berpendapat, dan mendapatkan informasi. Tetapi, saat bersamaan privasi kita diawasi oleh mesin dan platform atas semua aktivitas kita yang terikat dalam jaringan internet. Siapakah yang berhak mengawasi data-data tadi? Bukankah user dan platform sudah sepakat? Bagaimana negara terlibat dan intervensi terhadap data tersebut? Apakah penutupan akses informasi dan komunikasi telah memenuhi hak-hak mendapatkan informasi dan komunikasi publik? Ataukah sebetulnya hanyalah sebuah kepentingan politis dengan mengatasnamakan keamanan negara?
Alhasil, kepentingan publik luas yang tak terkait dengan kepentingan politik menjadi terganggu seperti pelaku usaha online, mahasiswa, mobilitas warga, dan pelaku ekonomi daring lainnya. Sangat disarankan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dan atas nama keamanan politik serta kepentingan publik agar menggunakan media konsultatif yang pesertanya terdiri atas berbagai lintas sektor. Dengan begitu, kebijakan akan memiliki dampak yang tetap efektif untuk pengamanan dan tetap mengindahkan kebutuhan publik atas akses media sosial serta platform berbasis internet lainnya.
Pemerhati “International Political Technology”, Pengajar Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Jakarta
PADA 21-22 Mei 2019 kita menyaksikan bersama sebuah eskalasi politik Indonesia yang menghangat di seputaran Jalan Thamrin, kawasan Tanah Abang, dan Sabang, Jakarta, akibat dampak dari kontestasi pemilihan presiden. Eskalasi diawali dengan demonstrasi yang aman kemudian berkembang menjadi panas dan akhirnya sampai jatuhnya korban jiwa. Memanasnya situasi berdampak terhadap meningkatnya pengamanan yang dilakukan oleh pemerintah.
Tulisan ini tidak akan membahas kronologi peristiwa, apalagi menghakimi pihak-pihak tertentu, melainkan hanya fokus dan terbatas pada mengamati kebijakan pemerintah dalam membatasi akses media sosial demi menjaga “stabilitas keamanan”. Bagaimana dampak politis dan nonpolitis kebijakan tersebut?
Dampak Nonpolitis
Media sosial merupakan gaya hidup generasi milenial. Hampir semua aktivitas setiap warga masyarakat pada hari-hari ini tidak terlepas dengan media sosial. Sementara kebijakan pembatasan akses media sosial ini berdampak tidak hanya kepada stabilitas keamanan, tetapi juga terhadap ekonomi pelaku industri yang operasionalnya tergantung oleh akses media sosial dan internet. Mahasiswa mengalami kesulitan mengerjakan tugas kuliahnya, masyarakat pengguna jasa ojek daring terganggu mobilitasnya, pengemudi berkurang pendapatannya, serta aktivitas warga lainnya yang hampir semuanya mengandalkan smartphone terganggu.
Tulisan ini diharapkan bisa menjadi pemicu terbentuknya sebuah “protokol” bagi siapa pun pejabat dalam memutuskan kebijakan publik pada masa-masa “genting” tanpa melanggar hak informasi dan komunikasi publik. Tokopedia memiliki potensi penjualan senilai Rp1 triliun per bulan atau Rp33 miliar per hari. Bukalapak berdasarkan pengakuan CEO-nya memiliki potensi omzet Rp4 triliun per bulan atau Rp133 miliar per hari sehingga dampak kebijakan pembatasan media sosial berpotensi mengganggu pendapatan sebesar Rp166 miliar per hari atau Rp322 miliar selama dua hari, hanya pada kedua e-commerce terbesar Indonesia tersebut. Ini belum termasuk pengusaha berbasis internet yang terafiliasi dengan dua e-commerce tadi.
Media sosial memiliki dampak dan pengaruh yang semakin besar dalam gaya hidup, pola pikir dan ideologi masyarakat hari ini. Kecepatan menerima informasi dan melakukan komunikasi sudah merupakan sebuah budaya baru dalam masyarakat milenial dalam mengambil keputusan, juga dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Dampak Politis
Istilah “genting” pada paragraf sebelumnya merupakan terms yang politis di tengah-tengah hak informasi dan komunikasi publik. Genting bisa diinterpretasikan politis bagi yang merasa kepentingan politiknya terganggu atau bahkan terancam. Sementara bagi publik, yang dibutuhkan bukan tentang genting atau tidaknya sebuah kejadian, tetapi secara politis adalah untuk mendapatkan kecepatan akses informasi dan komunikasi untuk menilai “the truth” dari banjirnya informasi atas sebuah peristiwa. “The truth” dari kepentingan publik digunakan untuk mengambil keputusan berkaitan dengan masalah domestik mereka, seperti penjemputan anak sekolah, meliburkan diri dari pekerjaan, membeli stok makanan, menjual saham, bahkan sampai memutuskan pergi ke negara tetangga.
Dalam sosiologi atau istilah para pemikir studi media sering menyebut ini dengan framing (Goffman 1974; Hajer 1995). Seperti kita ketahui, framing tidak hanya memilih segmen realitas untuk perhatian lebih lanjut, tetapi juga menyediakan skema penafsiran yang digunakan orang untuk menemukan, memahami, mengidentifikasi, dan memberi label (Entman 1993). Dengan penutupan saluran media sosial ini akan berdampak terhadap potensi framing dari satu pihak saja, yang kebetulan sedang berkuasa sekaligus sedang ikut berkontestasi. Padahal, publik juga memiliki hak untuk mendapatkan dan menilai dari berbagai framing yang tersedia di ruang publik (The Power of Scientific Knowledge From Research to Public Policy, 2012, Reiner Grundmann and Nico Stehr, Cambridge University Press).
Keterbukaan saluran dalam kegentingan politik sangat penting sebagai media pendidikan bagi masyarakat untuk terlibat dalam diskursus politik. Adu framing yang memunculkan tesis versus antitesis lainnya dibarengi sikap yang dewasa akan memunculkan kualitas demokrasi dan diskusi publik yang baik.
Membebaskan saluran komunikasi justru akan menjadi bahan saling koreksi dan kontrol publik. Adu framing yang terbuka akhirnya akan dinilai oleh publik. Penutupan saluran justru menimbulkan persepsi kurang fair-nya salah satu pihak. Pembatasan akses media sosial justru akan menimbulkan kecurigaan dan perasaan ketidakadilan dalam hak mendapatkan informasi sebagian pihak. Keterbukaan justru akan menjadi media saling kontrol atas peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi secara live di lapangan.
Partisipasi publik dalam pemberitaan dan memproduksi berita merupakan salah satu ciri negara yang terbuka dalam demokrasi modern. Semakin terbuka akses maka semakin mudah mengidentifikasi dan memprediksi masalah yang terjadi di lapangan. Pembatasan saluran media sosial bisa dipahami, karena memang di beberapa wilayah negara di luar negeri banyak memiliki pengalaman terjadinya gerakan politik awalnya menggunakan media sosial sebagai mediumnya.
Media sosial merupakan salah satu tambang data yang saat ini nilainya menjadi seperti mata uang. Data itu didapat dari setiap pengunduh aplikasi, penggunaan aplikasi melalui like, komen, dan ke-giatan lainnya yang kemudian dikumpulkan dengan mesin algoritmanya sehingga user adalah sumber data itu sendiri. Pemilik platform adalah penyedia alat sekaligus pengolah data-data dari para user. Saat awal mengunduh aplikasi, para user selalu diawali untuk mengikuti aturan yang disyaratkan oleh aplikasi berikut kesepakatan membuka akses data user. Artinya, syarat ijab qabul dan mutual relations di antara kedua belah pihak sudah sah sehingga penguasaan atas data tersebut berada di tangan user dan pemilik platform. Secara sederhana tidak ada kaitannya dengan pihak lain, apalagi negara dalam hal ini.
Alhasil, muncul pertanyaan-pertanyaan fundamental siapakah yang harus menentukan penggunaan data tersebut? Siapakah yang sebenarnya memiliki data? Siapakah yang bisa menggunakannya? Siapakah yang berhak memfilter? Pertanyaan-pertanyaan ini sampai hari ini masih sering menjadi perdebatan di beberapa negara. Saat ini terdapat sebuah kondisi yang paradoks. Di satu sisi, kita sudah mencapai cita-cita menjadi manusia bebas dalam berbicara, berpendapat, dan mendapatkan informasi. Tetapi, saat bersamaan privasi kita diawasi oleh mesin dan platform atas semua aktivitas kita yang terikat dalam jaringan internet. Siapakah yang berhak mengawasi data-data tadi? Bukankah user dan platform sudah sepakat? Bagaimana negara terlibat dan intervensi terhadap data tersebut? Apakah penutupan akses informasi dan komunikasi telah memenuhi hak-hak mendapatkan informasi dan komunikasi publik? Ataukah sebetulnya hanyalah sebuah kepentingan politis dengan mengatasnamakan keamanan negara?
Alhasil, kepentingan publik luas yang tak terkait dengan kepentingan politik menjadi terganggu seperti pelaku usaha online, mahasiswa, mobilitas warga, dan pelaku ekonomi daring lainnya. Sangat disarankan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dan atas nama keamanan politik serta kepentingan publik agar menggunakan media konsultatif yang pesertanya terdiri atas berbagai lintas sektor. Dengan begitu, kebijakan akan memiliki dampak yang tetap efektif untuk pengamanan dan tetap mengindahkan kebutuhan publik atas akses media sosial serta platform berbasis internet lainnya.
(mhd)