Mengurai Benang Kusut Pengelolaan Zakat
A
A
A
Maskun
Dosen UIN Walisong Semarang
MESKIPUN Undang-Undang (UU) Pengelolaan Zakat sudah diperbarui melalui UU 23/2011, bahkan kini sudah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14/2014 dan Inpres Nomor 3/2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat, tampaknya, persoalan zakat di Indonesia tetap bagai benang kusut yang tak terurai. Mulai dari penentuan siapa yang termasuk wajib zakat (muzakki ), barang-barang yang dizakati, ukuran nisab , dan bahkan sampai batasan haul , tetap menjadi problem di kalangan umat.
Tidaklah berlebihan, jika sampai detik ini zakat belum mampu memberikan output yang signifikan bagi perbaikan ekonomi bangsa. Padahal di zaman Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, zakat pernah memakmurkan penduduk negara bagian Afrika (Tunisia dan Aljazair). Sampai-sampai amil zakat kebingungan dalam menyalurkan zakat, sebab tak ada lagi rakyat yang berhak menerima zakat (mustahik ). Semua sudah masuk kategori muzakki .
Persoalan Mendasar
Rumitnya persoalan zakat ini setidaknya disebabkan oleh dua persoalan mendasar. Pertama, secara yuridis-formal UU tentang Pengelolaan Zakat tidak memiliki kekuatan memaksa bagi muzakki untuk membayarkan zakat. UU ini hanya sebatas mengatur pengelolaan zakat semata mulai dari pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan, sampai dengan pelaporan. Dengan kata lain, supremasi pemerintah selaku penguasa dan penyelenggara negara yang memiliki daya paksa tak terlihat dalam UU tersebut, khususnya kekuatan memaksa untuk mengambil zakat dari muzakki .
Kelemahan ini tentu menciptakan peluang bagi kelompok tertentu yang berkantong tebal dan belum memiliki komitmen moral tinggi untuk tidak berzakat. Berbagai persoalan khilafiah yang ada dalam perkembangan terakhir juga tak bisa terselesaikan. Sebutlah persoalan zakat profesi (pengacara, dokter, konsultan, dan semacamnya) yang dulunya belum "disentuh" Alquran. Ketika sekarang timbul ijtihad yang menyebutkan profesi juga wajib dizakati, ijtihad lain mengatakan itu tak termasuk wajib zakat. Padahal penghasilan dari profesi itu jauh lebih besar dari petani yang lebih dulu diwajibkan berzakat.
Begitu juga dengan ukuran nisab -nya. Apakah dihitung dari sisa gaji setelah uang kebutuhan harian dikeluarkan ataukah mesti berlalu satu tahun (haul ). Hal seperti ini tetap akan menjadi khilafiah berkepanjangan. Implikasinya mudah ditebak, yakni akan mengotak-ngotak masyarakat antara yang mau dan yang tidak, karena setiap mereka merasa punya pijakan. Mereka bisa saja berdalih belum mencapai nisab , masih ada kredit rumah yang belum lunas, dan sebagainya. Walhasil, zakat tak bisa terkumpul secara maksimal.
Lain halnya kalau ini ditentukan oleh pemerintah lewat UU atau keputusan presiden (keppres), misalnya. Dalam fiqh al-siyasah (fikih politik) disebutkan, tugas pemerintah adalah pemutus perkara yang menjadi khilafiah (hukmu al-hakim yarfa' al-khilaf ). Sebab pemerintah adalah satu-satunya institusi legal yang memiliki kekuatan memaksa. Tentu saja keputusan tersebut tak boleh lepas dari koordinasi dengan para ulama yang lebih memahami masalah ini.
Sekiranya sudah ada peraturan yang memiliki kekuatan memaksa ini, untuk tahap selanjutnya bagi yang tak membayar zakat. Padahal sudah berkewajiban, tentu akan mendapat sanksi hukum. Sebab suatu kaidah atau norma bila tak punya sanksi hukum, bagai macan garang yang tak bergigi alias ompong.
Secara normatif, tuntutan ke arah ini bisa dilihat dalam ayat yang mewajibkan Muhammad mengambil zakat (QS 9: 103). Ayat ini dimulai dengan kalimat khuz yang berarti "ambillah". Menurut tata bahasa Arab, dalam kalimat ini ada damir mustatir (subjek yang tersembunyi), yaitu Muhammad, sehingga secara lengkap ayat ini "mestinya" berbunyi: "Muhammad, ambillah zakat dari harta mereka, dan seterusnya". Posisi Muhammad dalam ayat ini adalah sebagai pemimpin yang memiliki otoritas untuk memungut zakat. Ia sebagai kepala agama sekaligus kepala negara kala itu. Oleh karenanya, sangat logis bila wewenang ini dilanjutkan oleh generasi penerusnya.
Alasan ini pula menjadi dasar bagi Abu Bakar Siddiq memerangi orang-orang yang tak mau membayar zakat di awal pemerintahannya. Para pembangkang zakat berdalih bahwa ayat ini hanya ditujukan pada Muhammad. Setelah Muhammad tiada, berhentilah kewajiban berzakat. Merasa punya otoritas, Abu Bakar bahkan bersumpah, "Demi Allah seandainya mereka menolak dariku seekor unta yang dulu pernah dibayarkan kepada Rasulullah, niscaya aku akan perangi mereka atas penolakan ini".
Dengan demikian, zakat bukan hanya kesadaran verbal individu yang dilakukan secara sukarela sebagaimana infak ataupun sedekah, tetapi kewajiban formal yang mesti dilaksanakan dan bagi yang melanggarnya akan mendapat sanksi pidana (hukum) dari negara. Secara psikologis, ini tentu akan mendorong masyarakat untuk mau berzakat. Pada gilirannya zakat akan dapat terkumpul secara maksimal dan bisa dijadikan modal (produktif) sehingga dapat mempercepat pengentasan kemiskinan.
Persoalan Kedua
Persoalan kedua , adalah tak adanya ketentuan jelas bagi muzakki dalam menyalurkan zakat, infak, atau sedekah pada institusi selain yang ditetapkan dalam UU Zakat, yaitu BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat). Tak heran, bila banyak di antara mereka yang memilih langsung menyalurkannya kepada fakir miskin sehingga tanpa disadari ikut menumbuhkan timbulnya rasa riya sebagai dewa penolong pada yang berzakat di satu sisi dan di sisi lain melahirkan ketergantungan mustahik yang luar biasa kepada muzakki . Padahal pemberian zakat mandiri acap kali menimbulkan kekacauan saat pembagian bahkan beberapa waktu lalu ada yang berujung kematian mustahik .
Kelompok mustahik hanya akan tetap jadi konsumen tanpa ada kemungkinan jadi muzakki . Sebab yang mereka peroleh biasanya juga bersifat konsumtif, bukan produktif. Lain halnya kalau zakat, infak, dan sedekah ditangani secara profesional, maka akan lebih bisa diberdayakan. Dana yang terkumpul bisa dialokasikan sebagai modal usaha sehingga sekian tahun ke depan para mustahik akan berubah menjadi muzakki .
Khalifah Umar bin Khatab pernah memberikan modal seekor unta berikut tepung dan minyak untuk pengembangan bisnis kepada seorang wanita yang meminta tolong kepadanya. Pada tahun berikutnya, Umar masih menambahi modal perempuan tersebut. Sampai pada akhirnya sang wanita itu bisa mandiri dan berubah status menjadi muzakki .
Walhasil , UU Zakat yang ada sekarang jelas kurang efektif dalam mendorong sekaligus menembus benteng para muzakki dan kaum aghniya (konglomerat) untuk mengeluarkan zakatnya karena sifat dari UU tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk memaksa. Karena itu, UU Zakat yang ada sekarang harus direvisi sehingga pada akhirnya zakat mampu menjadi solusi bagi persoalan ekonomi umat.
Dosen UIN Walisong Semarang
MESKIPUN Undang-Undang (UU) Pengelolaan Zakat sudah diperbarui melalui UU 23/2011, bahkan kini sudah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14/2014 dan Inpres Nomor 3/2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat, tampaknya, persoalan zakat di Indonesia tetap bagai benang kusut yang tak terurai. Mulai dari penentuan siapa yang termasuk wajib zakat (muzakki ), barang-barang yang dizakati, ukuran nisab , dan bahkan sampai batasan haul , tetap menjadi problem di kalangan umat.
Tidaklah berlebihan, jika sampai detik ini zakat belum mampu memberikan output yang signifikan bagi perbaikan ekonomi bangsa. Padahal di zaman Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, zakat pernah memakmurkan penduduk negara bagian Afrika (Tunisia dan Aljazair). Sampai-sampai amil zakat kebingungan dalam menyalurkan zakat, sebab tak ada lagi rakyat yang berhak menerima zakat (mustahik ). Semua sudah masuk kategori muzakki .
Persoalan Mendasar
Rumitnya persoalan zakat ini setidaknya disebabkan oleh dua persoalan mendasar. Pertama, secara yuridis-formal UU tentang Pengelolaan Zakat tidak memiliki kekuatan memaksa bagi muzakki untuk membayarkan zakat. UU ini hanya sebatas mengatur pengelolaan zakat semata mulai dari pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan, sampai dengan pelaporan. Dengan kata lain, supremasi pemerintah selaku penguasa dan penyelenggara negara yang memiliki daya paksa tak terlihat dalam UU tersebut, khususnya kekuatan memaksa untuk mengambil zakat dari muzakki .
Kelemahan ini tentu menciptakan peluang bagi kelompok tertentu yang berkantong tebal dan belum memiliki komitmen moral tinggi untuk tidak berzakat. Berbagai persoalan khilafiah yang ada dalam perkembangan terakhir juga tak bisa terselesaikan. Sebutlah persoalan zakat profesi (pengacara, dokter, konsultan, dan semacamnya) yang dulunya belum "disentuh" Alquran. Ketika sekarang timbul ijtihad yang menyebutkan profesi juga wajib dizakati, ijtihad lain mengatakan itu tak termasuk wajib zakat. Padahal penghasilan dari profesi itu jauh lebih besar dari petani yang lebih dulu diwajibkan berzakat.
Begitu juga dengan ukuran nisab -nya. Apakah dihitung dari sisa gaji setelah uang kebutuhan harian dikeluarkan ataukah mesti berlalu satu tahun (haul ). Hal seperti ini tetap akan menjadi khilafiah berkepanjangan. Implikasinya mudah ditebak, yakni akan mengotak-ngotak masyarakat antara yang mau dan yang tidak, karena setiap mereka merasa punya pijakan. Mereka bisa saja berdalih belum mencapai nisab , masih ada kredit rumah yang belum lunas, dan sebagainya. Walhasil, zakat tak bisa terkumpul secara maksimal.
Lain halnya kalau ini ditentukan oleh pemerintah lewat UU atau keputusan presiden (keppres), misalnya. Dalam fiqh al-siyasah (fikih politik) disebutkan, tugas pemerintah adalah pemutus perkara yang menjadi khilafiah (hukmu al-hakim yarfa' al-khilaf ). Sebab pemerintah adalah satu-satunya institusi legal yang memiliki kekuatan memaksa. Tentu saja keputusan tersebut tak boleh lepas dari koordinasi dengan para ulama yang lebih memahami masalah ini.
Sekiranya sudah ada peraturan yang memiliki kekuatan memaksa ini, untuk tahap selanjutnya bagi yang tak membayar zakat. Padahal sudah berkewajiban, tentu akan mendapat sanksi hukum. Sebab suatu kaidah atau norma bila tak punya sanksi hukum, bagai macan garang yang tak bergigi alias ompong.
Secara normatif, tuntutan ke arah ini bisa dilihat dalam ayat yang mewajibkan Muhammad mengambil zakat (QS 9: 103). Ayat ini dimulai dengan kalimat khuz yang berarti "ambillah". Menurut tata bahasa Arab, dalam kalimat ini ada damir mustatir (subjek yang tersembunyi), yaitu Muhammad, sehingga secara lengkap ayat ini "mestinya" berbunyi: "Muhammad, ambillah zakat dari harta mereka, dan seterusnya". Posisi Muhammad dalam ayat ini adalah sebagai pemimpin yang memiliki otoritas untuk memungut zakat. Ia sebagai kepala agama sekaligus kepala negara kala itu. Oleh karenanya, sangat logis bila wewenang ini dilanjutkan oleh generasi penerusnya.
Alasan ini pula menjadi dasar bagi Abu Bakar Siddiq memerangi orang-orang yang tak mau membayar zakat di awal pemerintahannya. Para pembangkang zakat berdalih bahwa ayat ini hanya ditujukan pada Muhammad. Setelah Muhammad tiada, berhentilah kewajiban berzakat. Merasa punya otoritas, Abu Bakar bahkan bersumpah, "Demi Allah seandainya mereka menolak dariku seekor unta yang dulu pernah dibayarkan kepada Rasulullah, niscaya aku akan perangi mereka atas penolakan ini".
Dengan demikian, zakat bukan hanya kesadaran verbal individu yang dilakukan secara sukarela sebagaimana infak ataupun sedekah, tetapi kewajiban formal yang mesti dilaksanakan dan bagi yang melanggarnya akan mendapat sanksi pidana (hukum) dari negara. Secara psikologis, ini tentu akan mendorong masyarakat untuk mau berzakat. Pada gilirannya zakat akan dapat terkumpul secara maksimal dan bisa dijadikan modal (produktif) sehingga dapat mempercepat pengentasan kemiskinan.
Persoalan Kedua
Persoalan kedua , adalah tak adanya ketentuan jelas bagi muzakki dalam menyalurkan zakat, infak, atau sedekah pada institusi selain yang ditetapkan dalam UU Zakat, yaitu BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat). Tak heran, bila banyak di antara mereka yang memilih langsung menyalurkannya kepada fakir miskin sehingga tanpa disadari ikut menumbuhkan timbulnya rasa riya sebagai dewa penolong pada yang berzakat di satu sisi dan di sisi lain melahirkan ketergantungan mustahik yang luar biasa kepada muzakki . Padahal pemberian zakat mandiri acap kali menimbulkan kekacauan saat pembagian bahkan beberapa waktu lalu ada yang berujung kematian mustahik .
Kelompok mustahik hanya akan tetap jadi konsumen tanpa ada kemungkinan jadi muzakki . Sebab yang mereka peroleh biasanya juga bersifat konsumtif, bukan produktif. Lain halnya kalau zakat, infak, dan sedekah ditangani secara profesional, maka akan lebih bisa diberdayakan. Dana yang terkumpul bisa dialokasikan sebagai modal usaha sehingga sekian tahun ke depan para mustahik akan berubah menjadi muzakki .
Khalifah Umar bin Khatab pernah memberikan modal seekor unta berikut tepung dan minyak untuk pengembangan bisnis kepada seorang wanita yang meminta tolong kepadanya. Pada tahun berikutnya, Umar masih menambahi modal perempuan tersebut. Sampai pada akhirnya sang wanita itu bisa mandiri dan berubah status menjadi muzakki .
Walhasil , UU Zakat yang ada sekarang jelas kurang efektif dalam mendorong sekaligus menembus benteng para muzakki dan kaum aghniya (konglomerat) untuk mengeluarkan zakatnya karena sifat dari UU tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk memaksa. Karena itu, UU Zakat yang ada sekarang harus direvisi sehingga pada akhirnya zakat mampu menjadi solusi bagi persoalan ekonomi umat.
(nag)