Pesan Kebencanaan dari Genewa
A
A
A
Yonvitner
Kepala Pusat Studi Bencana-Dosen MSP FPIK IPB
DUA momen penting bidang kebencanaan di dunia yang baru saja kita saksikan yaitu konferensi tingkat tinggi tentang kebencanaan dalam forum Global Platform Disaster Risk Reduction (GPDRR) dan IFRC dan ICRC (International Committee of The Red Cross). Pertemuan antarnegera ini bertujuan melihat sejauh mana komitmen negara-negara di dunia dalam upaya menurunkan risiko bencana yang diamanatkan Sendai Framework (2015-2030).
Ms Mami Mizutori, Special Representative of UN for Disaster Risk Reduction, menyampaikan bahwa global platform merupakan peluang bersama dari semua negara untuk mengakselerasi upaya dalam implementasi Sendai Framework serta komitmen dari Perjanjian Iklim Paris dalam pengurangan risiko bencana.
Secara substansial pertemuan ini ingin mengetahui strategi pengurangan risiko bencana masing-masing negara dan aksi lokal pada 2020 di masing-masing negara. Paling tidak ada tiga bagian penting yang ingin digali dari pertemuan ini, yang menjadi concern pertemuan GPDRR. Pertama, sejauh mana implementasi pengurangan risiko bencana nasional dan aksi pada tingkat lokal dilakukan di tiap negara anggota. Kedua, seperti apa skenario investasi dan ekonomi dirancang terkait pengurangan risiko bencana. Ketiga, keterkaitan dan koherensi dengan perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.
Platform Indonesia
Sebagai negara yang sepakat dengan platform DRR sejak awal, Indonesia juga turut menyampaikan progres dalam pencapaian penurunan risiko bencana. Walaupun semua menyadari bahwa Indonesia adalah negara dengan potensi bahaya bencana terbesar di dunia,setiap upaya dalam pengurangan risiko bencana penting untuk diangkat sebagai upaya pencapaian bangsa Indonesia.
Dalam kurun waktu 2010-2014 yang tertuang dalam RENAS Penanggulangan Bencana, upaya pengurangan risiko bencana ditekankan pada upaya penguatan kerangka regulasi dan kelembagaan, pengkajian risiko bencana, dan penetapan peringatan dini, IPTEK untuk membangun budaya aman, pengurangan risiko mendasar, dan perkuatan kesiapsiagaan. Karena disadari pada satu dekade terakhir potensi kerugian karena bencana mencapai Rp410 triliun.
Sementara itu, pada periode 2015-2019 fokus diarahkan pada 7 prioritas: (1) Penguatan kerangka hukum penanggulangan bencana, (2) Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam pembangunan, (3) Peningkatan kemitraan multipihak dalam penanggulangan bencana, (4) Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana, (5) Peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana, (6) Peningkatan kapasitas pemulihan bencana, (7) Perbaikan tata kelola bidang penanggulangan bencana.
Jika dilihat dari periode 2015-2018, kejadian bencana terlihat semakin meningkat. Bahkan pada periode yang sama antara 2018 dan 2019 ada peningkatan jumlah kejadian. Kondisi ini memperlihatkan tren bahwa penanggulangan bencana harus dirancang secara masif dalam upaya mengurangi risiko yang akan terjadi.
Mengambil pelajaran dari semua kondisi tersebut, program pengurangan risiko bencana tidak lagi menjadi program kerja tahunan, tetapi harus menjadi pola kebiasaan hidup harian. Artinya, setiap upaya penanggulangan risiko bencana harus menjadi budi daya dan nilai yang terpatri dalam kehidupan sehari hari. Bertolak dari pengalaman masa lalu tersebut, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo meyakini betul bahwa pengurangan risiko adalah bagian nilai yang melekat pada jiwa masyarakat kita. Maka, untuk itu platform pengurangan risiko bencana nasional ke depan harus menjadi penghayatan yang mendalam dari komitmen individu dan masyarakat.
Sejak awal kepala BNPB mencoba mendorong pemahaman atas nilai-nilai kedekatan dengan alam. Karena disadari sesungguhnya saat ini alam kita makin lama mengalami tekanan yang makin besar. Untuk itu, dengan slogan “Kita jaga alam dan alam jaga kita” Indonesia ambil bagian dari penyelamatan bumi masa akan datang.
Nilai-nilai hidup selaras dengan alam seharusnya tidak hanya menjadi komitmen Indonesia, tapi juga dunia. Dunia juga harus mulai mengurangi laju konsumsi dari bahan-bahan alam yang memicu terjadinya pengurangan daya dukung seperti industri berbahan baku kayu hutan, industri berbasis karbon dan lain. Bagaimanapun, laju deforestasi, pertambangan, dan perubahan tata guna lahan diperkirakan turut mempercepat terjadinya bencana.
Mengambil momentum pertemuan GPDRR di Genewa 13-17 Mei lalu, Kepala BNPB menekankan prinsip dan komitmen Indonesia dalam pengurangan risiko bencana. Penguatan prinsip “Kita jaga alam, maka alam akan jaga kita” atau “We take care of the earth/nature, it will take care of us” harus menjadi komitmen dunia juga sehingga menjadi salah satu dari nilai-nilai dunia dalam pengurangan risiko bencana.
Langkah Indonesia
Perlu dipahami bahwa keberhasilan kita dalam meminimalkan risiko, dampak, bencana akan memberikan rasa aman termasuk berinvestasi. Kelangsungan ekonomi akan terus terganggu, guncangan demi guncangan terus terjadi sehingga menyebabkan instabilitas ekonomi pada tingkat mikro (masyarakat) jika kebencanaan tidak dikelola dengan baik. Sangat panjang dan sulit bagi kita menjadi kawasan yang ramah dan aman dikunjungi jika kita tidak mampu mengadaptasikan risiko dan bencana dengan baik.
Minimalisasi risiko dan dampak bencana hanya dapat dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi. Kegagalan deteksi tsunami Palu dan Selat Sunda adalah bagian dari pembelajaran yang tidak boleh lagi terjadi. Untuk itu, penulis yakin hal penting yang diperlukan adalah 1) sistem satu komando dari semua institusi, dan lembaga terkait kebencanaan, termasuk BPBD dalam manajemen data kebencanaan, 2) kebijakan pengembangan sains dan teknologi kebencanaan, 3) kebijakan keuangan dan tata kelola manajemen kebencanaan.
Pertama, pentingnya menempatkan sistem data sebagai ruh manajemen kebencanaan. Sebagai basis pelayanan pembangunan yang diperlukan untuk mendukung sektor ekonomi, data kebencanaan harus dalam satu komando dan satu ruang kendali. Informasi iklim, oseanografi, geologi bekerja serentak dalam satu sistem data terintegrasi (big data). Perubahan iklim dalam ruang spasial dinamik, termasuk darat dan laut menjadi data real time dari pusat data. Begitu juga informasi curah hujan yang berpotensi longsor, banjir, angin kencang daerah rawan kering dan kebakaran. Sebagai lembaga penyedia layanan informasi, indikator kinerja kelembagaan kebencanaan adalah jumlah pelayanan, kecepatan, dan ketepatan data dan informasi yang sampai ke masyarakat. Afirmasi kebijakan data satu pintu akan mempermudah sistem pelayanan kebencanaan diberikan.
Kedua, afirmasi kebijakan pengembangan sains dan ilmu pengetahuan dan teknologi kebencanaan. Sains kebencanaan adalah sebuah berkah sebagai sumber ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan Indonesia. Keberadaan gunung api, palung dan lempeng laut, sungai, posisi di dua lintang, struktur batuan, sejarah dan budaya menjadi laboratorium alam bagi iptek kebencanaan. Inovasi untuk mitigasi, penanggulangan risiko dan emergency response harus tercermin juga dalam RUU Sinas Iptek. Kekayaan lab alam ini kemudian menjadi attractiveness bagi peneliti dan lembaga riset internasional dalam mengembangkan sains dan menjadikan Indonesia pusat sains kebencanaan dunia.
Afirmasi ketiga adalah keuangan dalam manajemen kebencanaan. Alokasi dana dalam skema pooling fund sebesar Rp1 T dan usulan 15 T untuk BMKG harus dirancang sesuai kebutuhan dan kemanfaatan. Sementara itu, kelembagaan yang terlibat dan aktif dalam riset kebencanaan dan penanggulangan bencana sangat banyak. Agar ada sinkronisasi gerak dalam manajemen bencana maka dengan keberadaan satu ruang manajemen kebencanaan secara otomatis akan memperkuat sistem kerja kebencaan dengan dana tersebut. Sangat disayangkan jika banyak dana, tetapi terpencar. Untuk antisipasi semua itu, roadmap program dan keuangan menjadi bagian penting manajemen pengurangan risiko bencana di Tanah Air.
Pesan penulis dari semua langkah-langkah tersebut adalah membumikan sistem pelayanan informasi kebencanaan, adaptasi melalui peningkatan kapasitas masyarakat, serta menumbuhkan kesadaran komunal terhadap bencana. Dengan banyaknya nilai yang berkembang dalam masyarakat, maka tumbuhkan sikap partisipatif komunal dalam mengurangi bencana. Dengan langkah ini, kita dapat segera menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara yang memiliki kemampuan adaptasi dalam pengurangan risiko bencana sesuai pesan Jenewa tersebut.
Kepala Pusat Studi Bencana-Dosen MSP FPIK IPB
DUA momen penting bidang kebencanaan di dunia yang baru saja kita saksikan yaitu konferensi tingkat tinggi tentang kebencanaan dalam forum Global Platform Disaster Risk Reduction (GPDRR) dan IFRC dan ICRC (International Committee of The Red Cross). Pertemuan antarnegera ini bertujuan melihat sejauh mana komitmen negara-negara di dunia dalam upaya menurunkan risiko bencana yang diamanatkan Sendai Framework (2015-2030).
Ms Mami Mizutori, Special Representative of UN for Disaster Risk Reduction, menyampaikan bahwa global platform merupakan peluang bersama dari semua negara untuk mengakselerasi upaya dalam implementasi Sendai Framework serta komitmen dari Perjanjian Iklim Paris dalam pengurangan risiko bencana.
Secara substansial pertemuan ini ingin mengetahui strategi pengurangan risiko bencana masing-masing negara dan aksi lokal pada 2020 di masing-masing negara. Paling tidak ada tiga bagian penting yang ingin digali dari pertemuan ini, yang menjadi concern pertemuan GPDRR. Pertama, sejauh mana implementasi pengurangan risiko bencana nasional dan aksi pada tingkat lokal dilakukan di tiap negara anggota. Kedua, seperti apa skenario investasi dan ekonomi dirancang terkait pengurangan risiko bencana. Ketiga, keterkaitan dan koherensi dengan perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.
Platform Indonesia
Sebagai negara yang sepakat dengan platform DRR sejak awal, Indonesia juga turut menyampaikan progres dalam pencapaian penurunan risiko bencana. Walaupun semua menyadari bahwa Indonesia adalah negara dengan potensi bahaya bencana terbesar di dunia,setiap upaya dalam pengurangan risiko bencana penting untuk diangkat sebagai upaya pencapaian bangsa Indonesia.
Dalam kurun waktu 2010-2014 yang tertuang dalam RENAS Penanggulangan Bencana, upaya pengurangan risiko bencana ditekankan pada upaya penguatan kerangka regulasi dan kelembagaan, pengkajian risiko bencana, dan penetapan peringatan dini, IPTEK untuk membangun budaya aman, pengurangan risiko mendasar, dan perkuatan kesiapsiagaan. Karena disadari pada satu dekade terakhir potensi kerugian karena bencana mencapai Rp410 triliun.
Sementara itu, pada periode 2015-2019 fokus diarahkan pada 7 prioritas: (1) Penguatan kerangka hukum penanggulangan bencana, (2) Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam pembangunan, (3) Peningkatan kemitraan multipihak dalam penanggulangan bencana, (4) Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana, (5) Peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana, (6) Peningkatan kapasitas pemulihan bencana, (7) Perbaikan tata kelola bidang penanggulangan bencana.
Jika dilihat dari periode 2015-2018, kejadian bencana terlihat semakin meningkat. Bahkan pada periode yang sama antara 2018 dan 2019 ada peningkatan jumlah kejadian. Kondisi ini memperlihatkan tren bahwa penanggulangan bencana harus dirancang secara masif dalam upaya mengurangi risiko yang akan terjadi.
Mengambil pelajaran dari semua kondisi tersebut, program pengurangan risiko bencana tidak lagi menjadi program kerja tahunan, tetapi harus menjadi pola kebiasaan hidup harian. Artinya, setiap upaya penanggulangan risiko bencana harus menjadi budi daya dan nilai yang terpatri dalam kehidupan sehari hari. Bertolak dari pengalaman masa lalu tersebut, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo meyakini betul bahwa pengurangan risiko adalah bagian nilai yang melekat pada jiwa masyarakat kita. Maka, untuk itu platform pengurangan risiko bencana nasional ke depan harus menjadi penghayatan yang mendalam dari komitmen individu dan masyarakat.
Sejak awal kepala BNPB mencoba mendorong pemahaman atas nilai-nilai kedekatan dengan alam. Karena disadari sesungguhnya saat ini alam kita makin lama mengalami tekanan yang makin besar. Untuk itu, dengan slogan “Kita jaga alam dan alam jaga kita” Indonesia ambil bagian dari penyelamatan bumi masa akan datang.
Nilai-nilai hidup selaras dengan alam seharusnya tidak hanya menjadi komitmen Indonesia, tapi juga dunia. Dunia juga harus mulai mengurangi laju konsumsi dari bahan-bahan alam yang memicu terjadinya pengurangan daya dukung seperti industri berbahan baku kayu hutan, industri berbasis karbon dan lain. Bagaimanapun, laju deforestasi, pertambangan, dan perubahan tata guna lahan diperkirakan turut mempercepat terjadinya bencana.
Mengambil momentum pertemuan GPDRR di Genewa 13-17 Mei lalu, Kepala BNPB menekankan prinsip dan komitmen Indonesia dalam pengurangan risiko bencana. Penguatan prinsip “Kita jaga alam, maka alam akan jaga kita” atau “We take care of the earth/nature, it will take care of us” harus menjadi komitmen dunia juga sehingga menjadi salah satu dari nilai-nilai dunia dalam pengurangan risiko bencana.
Langkah Indonesia
Perlu dipahami bahwa keberhasilan kita dalam meminimalkan risiko, dampak, bencana akan memberikan rasa aman termasuk berinvestasi. Kelangsungan ekonomi akan terus terganggu, guncangan demi guncangan terus terjadi sehingga menyebabkan instabilitas ekonomi pada tingkat mikro (masyarakat) jika kebencanaan tidak dikelola dengan baik. Sangat panjang dan sulit bagi kita menjadi kawasan yang ramah dan aman dikunjungi jika kita tidak mampu mengadaptasikan risiko dan bencana dengan baik.
Minimalisasi risiko dan dampak bencana hanya dapat dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi. Kegagalan deteksi tsunami Palu dan Selat Sunda adalah bagian dari pembelajaran yang tidak boleh lagi terjadi. Untuk itu, penulis yakin hal penting yang diperlukan adalah 1) sistem satu komando dari semua institusi, dan lembaga terkait kebencanaan, termasuk BPBD dalam manajemen data kebencanaan, 2) kebijakan pengembangan sains dan teknologi kebencanaan, 3) kebijakan keuangan dan tata kelola manajemen kebencanaan.
Pertama, pentingnya menempatkan sistem data sebagai ruh manajemen kebencanaan. Sebagai basis pelayanan pembangunan yang diperlukan untuk mendukung sektor ekonomi, data kebencanaan harus dalam satu komando dan satu ruang kendali. Informasi iklim, oseanografi, geologi bekerja serentak dalam satu sistem data terintegrasi (big data). Perubahan iklim dalam ruang spasial dinamik, termasuk darat dan laut menjadi data real time dari pusat data. Begitu juga informasi curah hujan yang berpotensi longsor, banjir, angin kencang daerah rawan kering dan kebakaran. Sebagai lembaga penyedia layanan informasi, indikator kinerja kelembagaan kebencanaan adalah jumlah pelayanan, kecepatan, dan ketepatan data dan informasi yang sampai ke masyarakat. Afirmasi kebijakan data satu pintu akan mempermudah sistem pelayanan kebencanaan diberikan.
Kedua, afirmasi kebijakan pengembangan sains dan ilmu pengetahuan dan teknologi kebencanaan. Sains kebencanaan adalah sebuah berkah sebagai sumber ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan Indonesia. Keberadaan gunung api, palung dan lempeng laut, sungai, posisi di dua lintang, struktur batuan, sejarah dan budaya menjadi laboratorium alam bagi iptek kebencanaan. Inovasi untuk mitigasi, penanggulangan risiko dan emergency response harus tercermin juga dalam RUU Sinas Iptek. Kekayaan lab alam ini kemudian menjadi attractiveness bagi peneliti dan lembaga riset internasional dalam mengembangkan sains dan menjadikan Indonesia pusat sains kebencanaan dunia.
Afirmasi ketiga adalah keuangan dalam manajemen kebencanaan. Alokasi dana dalam skema pooling fund sebesar Rp1 T dan usulan 15 T untuk BMKG harus dirancang sesuai kebutuhan dan kemanfaatan. Sementara itu, kelembagaan yang terlibat dan aktif dalam riset kebencanaan dan penanggulangan bencana sangat banyak. Agar ada sinkronisasi gerak dalam manajemen bencana maka dengan keberadaan satu ruang manajemen kebencanaan secara otomatis akan memperkuat sistem kerja kebencaan dengan dana tersebut. Sangat disayangkan jika banyak dana, tetapi terpencar. Untuk antisipasi semua itu, roadmap program dan keuangan menjadi bagian penting manajemen pengurangan risiko bencana di Tanah Air.
Pesan penulis dari semua langkah-langkah tersebut adalah membumikan sistem pelayanan informasi kebencanaan, adaptasi melalui peningkatan kapasitas masyarakat, serta menumbuhkan kesadaran komunal terhadap bencana. Dengan banyaknya nilai yang berkembang dalam masyarakat, maka tumbuhkan sikap partisipatif komunal dalam mengurangi bencana. Dengan langkah ini, kita dapat segera menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara yang memiliki kemampuan adaptasi dalam pengurangan risiko bencana sesuai pesan Jenewa tersebut.
(thm)