Pemindahan Ibu Kota dan Visi Jakarta 2030

Selasa, 21 Mei 2019 - 07:36 WIB
Pemindahan Ibu Kota dan Visi Jakarta 2030
Pemindahan Ibu Kota dan Visi Jakarta 2030
A A A
Marselinus Nirwan Luru Staf Pengajar Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti

WACANA pemindahan ibu kota negara kembali mencuat. Bahkan Presiden Joko Widodo telah menetapkan alternatif lokasi ibu kota baru melalui rapat terbatas. Ruang kota DKI Jakarta yang kepalang "obesitas" menjadi satu dari sekian alasan yang mesti disambut baik oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Upaya tersebut relevan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2030 yang menghendaki kota ini hanya mengemban fungsi tunggal sebagai kota jasa. Fungsi Jakarta sebagai pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa, bisnis, bahkan pendidikan dianggap berlebih. Belum lagi diikuti runtutan konsekuensi berujung kerapuhan daya dukung dan daya tampungnya.

Pekerjaan rumah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selanjutnya adalah memastikan regenerasi kota berjalan baik pascapemidahan ibu kota. Penetapan fungsi baru pada kawasan yang akan ditinggalkan pemerintah pusat dimainkan melalui instrumen penataan ruang. Sehingga memudahkan langkah redistribusi dan substitusi ruang yang tentu saja mengarusutamakan penyelesaian masalah substantif Kota Jakarta.

Ruang terbuka hijau (RTH) antara lain satu dari sekian masalah mendasar yang mesti mendapat prioritas alokasi ruang. DKI Jakarta saat ini hanya mencapai 9,98% dari target ideal 30% RTH sebuah kota. Itu pun dengan peningkatan yang sangat lamban, hanya 0,98% sejak 18 tahun lalu. Alhasil, efek ganda atas kelangkaan RTH sangat terasa pada penurunan kualitas hidup warga ibu kota akibat bencana banjir dan buruknya kualitas udara.

Lalu, kiat serius mengurai kemacetan dengan percepatan konektivitas dan kualitas angkutan massal MRT, LRT, BRT, angkutan kota disertai upaya kencang promosi penggunaan angkutan umum. Bukan mustahil bahwa perpindahan ibu kota akan menurunkan intensitas pergerakan barang dan orang dalam kota. Sebuah anugerah bagi penggemar kendaraan pribadi, leluasa menikmati jalanan. Sebaliknya, malapetaka bagi Jakarta yang gencar mempromosikan angkutan umum.

Untuk mencapai visi penggunaan angkutan umum massal pada 2030, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memastikan realisasi angkutan massal yang mengubah gaya berkendara "individual" ke massal, sekaligus yang berkemampuan menahan hasrat warga kota yang berlomba-lomba menggunakan kendaraan pribadi.

Perhatian lain adalah memetakan titik kegiatan pusat pemerintahan yang berpotensi ditinggalkan, serta mengaudit kesesuaian rencana peruntukan dan pemanfaatan ruang kawasan sekitar. Jakarta Pusat yang kini mendominasi kawasan pusat pemerintahan bisa dipastikan akan mengalami perubahan struktur dan pola kegiatan. Fungsi lama akan tergantikan oleh kegiatan baru, dan harus direncanakan secara prioritas.

Tak hanya kawasan pemerintahan per se, pengelolaan kawasan sekitar juga diperlukan untuk mencegah preseden buruk adanya aktivitas yang tak sesuai rencana tata ruang mendekati fungsi baru. Jangan sampai kegiatan pusat pemerintahan nasional dan sekitarnya malah tergantikan oleh fungsi lain yang memperburuk keadaan kota.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baiknya memantapkan upaya perencanaan sejak dini. Perlu melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat soal pola pengelolaan lahan dan arah pemanfaatan bangunan bekas aktivitas pemerintahan. Dengan begitu, nanti tidak ada manajemen keterlanjuran akibat kealpaan rencana.

Hasil dialog dielaborasi pada kerangka perencanaan, pemanfaatan, pengendalian ruang yang saat ini sedang berproses revisi lima tahunan sehingga bisa saja langsung dieksekusi pada dokumen rencana detail tata ruang (RDTR) demi Jakarta 2030 yang kita impikan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5200 seconds (0.1#10.140)