Masa Depan Indonesia Pascapilpres 2019

Selasa, 21 Mei 2019 - 06:38 WIB
Masa Depan Indonesia...
Masa Depan Indonesia Pascapilpres 2019
A A A
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad Dosen pada Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh,

Council Asian Muslim Action Network (AMAN), Bangkok

ARTIKEL ini mengupas perkembangan terkini situasi politik di Indonesia setelah pemilihan presiden (pilpres). Sepekan setelah pemungutan suara, seorang karib dari salah satu universitas di Jepang menanyakan bagaimana saya menafsirkannya, khususnya dalam kaitan antara pilpres dan agama. Apakah pemenangnya adalah kelompok moderat atau intoleran? Dalam hal ini, agak terlalu tergopoh-gopoh mengklaim bahwa terdapat hubungan antara isu pilpres dengan persoalan moderat dan intoleransi.

Tampaknya, pemerintah yang terlalu cepat mengisi ruang ini sebelum dan sesudah pilpres melalui isu moderat dan intoleran. Tidak sedikit pendukung Jokowi dan Prabowo tidak mendasarkan pendirian politik mereka pada persoalan moderat dan intoleransi. Pada prinsipnya, sejak Jokowi menjadi presiden Indonesia, tampak adanya pembelahan rakyat pada persoalan sosial-keagamaan dan sosial-politik.

Pada saat bersamaan, ketika Jokowi menjadi presiden, ada dua "K" yang selalu dikaitkan dengan situasi kepresidenannya, yaitu komunis dan khilafah. Kelompok militer dan beberapa ormas muslim tidak menginginkan kelompok komunis bangkit lagi di Indonesia, sebagaimana pengalaman Perang Dingin. Untuk merespons isu ini, pemerintahan Jokowi menjadikah isu khilafah sebagai musuh negara seperti pengalaman Goerge Walker Bush setelah 11 September 2001. Sentimen ini langsung dihubungkan dengan kelompok muslim yang mendukung Prabowo ketika hendak masuk pada persiapan pra dan pascapilpres, yang dipandang sebagai kelompok intoleran.

Sebelum pilpres, isu tentang komunis dan khilafah menjadi masalah di dalam pembelahan masyarakat di akar rumput. Dua tahun pertama, isu komunis mencuat dan menjadi isu di dalam masyarakat. Konsepnya adalah Communist is Coming ! Konstruksi musuh yang disinyalir komunis sudah bangkit.

Dua tahun berikutnya, isu komunis menghilang dari permukaan. Lantas muncul isu khilafah, di mana menjadi "hantu baru" dalam tatanan penyelenggaraan negara. Melalui konsep ini, pemerintah membabat habis ormas atau individu yang disinyalir mendirikan khilafah di Indonesia. Karena itu, dalam empat tahun terakhir, isu komunis dan khilafah benar-benar memberikan pengaruh pada teori belah bambu dalam kehidupan warga negara di republik ini.

Di samping itu, kelompok ultranasionalis juga tidak menginginkan kelompok keagamaan, terutama muslim yang antikomunis berada di dalam lingkaran pemerintahan Jokowi. Kelompok ini tidak menginginkan kelompok prokhilafah tampil ke permukaan untuk menguasai wacana publik. Karena itu, dari dalam kelompok pendukung Jokowi muncul gerakan ultramuslim tradisional yang berafiliasi pada ormas terbesar di Indonesia, di mana kemudian menjadi mesin politik Jokowi saat pilpres. Penyatuan dua kelompok ultra tersebutlah yang menjadi lawan politik kelompok intoleran yang diklaim sebagai pendukung Prabowo.

Proses pembentukan sikap saling bermusuhan di antara rakyat dalam pilpres kali ini memang bersentuhan dengan isu keagaman-kum-etnik. Kondisi ini telah menjadi suatu cipta kondisi sebelum kampanye dimulai. Sentimen ini kemudian mengikat pada provinsi-provinsi yang diklaim "garis keras" oleh Mahfud MD.

Prabowo lantas memperoleh suara mayoritas di provinsi-provinsi yang dianggap "garis keras." Di sini keadaannya memperuncing seolah-olah klaim isu khilafah memang benar adanya. Kendati di pihak Prabowo sendiri tidak sedikit mereka yang menolak isu khilafah.

Selain persoalan cipta kondisi di atas, terdapat juga gejala baru dalam pilpres kali ini yaitu suara kelompok muslim milenial. Mereka cenderung berkonflik di dunia maya. Di sini istilah cebong dan kampret menggantikan istilah komunis dan khilafah. Proses konflik virtual tersebut lantas menciptakan konflik di mana masing-masing generasi milenial keluar dari "zona aman" dari pemahaman keagamaan mereka. Masing-masing kelompok mengambil materi-materi keagamaan dari dunia maya untuk saling menyerang antara satu sama lain.

Di sinilah reproduksi hoaks yang paling banyak dilakukan di republik ini. Sayangnya, pemerintah malah meresponsnya bukan dengan mengurangi cara berpikir hoaks, tetapi lebih mengedepankan kekuatan hukum. Sehingga, perlawanan terhadap cara pemerintah tersebut menambah mesiu kebencian terhadap citra pemerintah di hadapan rakyat.

Kekeliruan respons ini mengakibatkan aparat keamanan sedang beraksi menepuk nyamuk dalam kerumunan gurita hoaks di Indonesia. Kekeliruan respons pemerintah ini persis ketika Bush menggelorakan isu terorisme global pada 2001. Hanya ada dua pilihan pada waktu itu, yaitu "bersama kami atau bersama mereka!"

Model respons ini telah menyebabkan Amerika Serikat menghabiskan dana yang cukup banyak untuk menghadapi akibat dan dampak perang melawan teror, baik di Timur Tengah maupun di dalam negeri sendiri. Tampaknya, pemerintahan Jokowi mengambil model respons ini melalui sistem pembelahan masyarakat yang berada di dalam kotak pandora: siapa yang tidak mendukung pemerintah dianggap sebagai musuh pemerintah melalui label khilafah dan intoleran.

Harga sosial sebagai akibat dari cipta kondisi tersebut tentu akan dibayar mahal dalam beberapa bulan ke depan hingga tanggal pelantikan presiden tahun ini. Akar masalah di atas berimbas pada proses tahapan pilpres. Rumor pengerahan massa saat pengumuman hasil perhitungan KPU menjadi momen untuk adu kekuatan antara kelompok yang diimajinasikan sebelumnya.

Untuk mengamankan tahapan pilpres ini, pemerintah berupaya melakukan rekonsiliasi. Upaya ini tentu saja gagal sebab tensi emosi massa telah disulut sejak 2014 dan sikap pemerintah terhadap sebagian umat Islam. Pola penyelesaian konflik elite politik ternyata merupakan akibat dari salah urus saat pembelahan masyarakat ditanggapi melalui pola pengalaman pemerintah Amerika melawan teroris.

Beberapa pandangan menyebutkan bahwa jika tidak ada rekonsiliasi, Indonesia sangat mungkin akan mengalami gejolak sebagai negara yang tidak aman di Asia Tenggara. Pilpres kali ini telah menyebabkan konflik tidak hanya di level elite, tetapi juga di level akar rumput. Di sini pendekatan yang dilakukan sebenarnya tidak begitu sulit jika masih ada asas kepercayaan di antara kelompok yang sedang berkonflik.

Kendati demikian, berbagai skenario dan cipta kondisi semakin memperuncing masalah, terutama ketika dialog dan rekonsiliasi tidak dapat direalisasikan. Kelompok yang bertikai tampaknya mengutamakan kepentingan bangsa dalam ruang dan imajinasi masing-masing.

Dapat dinyatakan ketika ihwal di atas absen di dalam penyelesaian konflik elite, maka sangat boleh jadi pengalaman di Timur Tengah akan menjadi kenyataan di Indonesia. Pengalaman di Thailand, militer bersama kerajaan dan rakyat bersatu untuk menjauhkan negara ini dari keterpurukan. Sayangnya, di negara tersebut tidak ada isu agama dimainkan, melalui persoalan politik dan ekonomi.

Adapun di Malaysia, sentimen etnik dan politik telah menyelamatkan bangsa ini dari isu perpecahan. Sementara pemerintah Indonesia menghadapi krisis politik akibat dari berbagai dimensi masalah seperti diuraikan di atas. Karena itu, kembali pada khitah kebangsaan adalah hal yang mutlak untuk segera dilakukan.

Jika memang pilpres kali ini mengindikasikan berbagai hal yang merusak rasa persatuan kebangsaan, maka sangat boleh jadi dilakukan lagi pilpres ulang supaya perahu bangsa ini tidak tenggelam. Atau, semua indikasi pilpres yang tidak sehat perlu dimusyawarahkan dengan mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1112 seconds (0.1#10.140)