Analisis Risiko Aksi People Power pada 22 Mei
A
A
A
Alto Labetubun
Analis Konflik dan Konsultan Keamanan
PASCA-pelaksanaan Pemilu 2019 pada 17 April lalu, masyarakat Indonesia disuguhkan dengan berita yang berisikan narasi-narasi provokatif yang mengajak kelompok-kelompok masyarakat Indonesia untuk menolak hasil pemilu.
Konten dari narasi-narasi tersebut bermacam-macam, mulai dari ajakan menolak hasil perhitungan langsung yang sedang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), memprovokasi masyarakat untuk menuntut agar salah satu pasangan capres-cawapres didiskualifikasi, bahkan sampai pada pergerakan massa secara masif yang disebut sebagai people power untuk mengepung dan menguasai KPU, Istana Negara, dan DPR RI. Lebih dari itu, ada juga ajakan untuk melakukan aksi kekerasan.
Dalam konteks keamanan negara, gelombang narasi provokatif seperti ini dapat dikategorikan sebagai usaha yang terstruktur, sistematis, dan masif untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah dengan menciptakan instabilitas, kerusuhan, aksi kekerasan, dan teror. Aksi ini bisa dikategorikan sebagai makar.
Aksi-aksi ini direspons secara cepat oleh Polri dengan melakukan penangkapan terhadap beberapa orang yang menjadi provokator aksi tersebut. Mereka dijerat dengan Pasal 104 KUHP tentang Makar, yang meliputi aksi dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau paling lama 20 tahun.
Ini adalah langkah tepat yang dilakukan oleh Polri dalam menangkal momentum terjadinya aksi-aksi inkonstitusional yang bertujuan menggulingkan pemerintah yang sah dimaksud. Akan tetapi, apakah risiko terjadinya kekacauan pada 22 Mei saat KPU mengumumkan hasil pemilihan presiden (pilpres) itu tetap ada? Hal ini bisa dilakukan lewat analisis risiko (risk analysis).
Secara sederhana, risiko itu bisa diukur dengan menganalisis ancaman (threat ), kerentanan (vulnerability), dan aset (asset), atau risk = bubar, Threat x Vulnerability x Asset.
Ancaman
Ancaman dengan dampak yang paling besar tentunya adalah tindak pidana terorisme. Menurut UU No 5/2018, tindak pidana terorisme diartikan sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Tentu sasaran serangan teror bukan hanya KPU di Jakarta, tapi bisa juga sasaran-sasaran lunak lainnya. Akan tetapi, serangan ke massa yang mengampanyekan seruan antipemerintah, yang berkumpul di depan kantor KPU, akan memiliki dampak psikologis yang tinggi karena otomatis pemerintah akan dicap sebagai pihak yang tidak mampu memberikan rasa aman, bahkan cenderung membiarkan serangan ini terjadi, dan ini bisa membangkitkan gerakan antipemerintah di berbagai tempat lain.
Ancaman berikut adalah kekacauan yang ditimbulkan oleh aksi-aksi kriminalitas dari massa yang tidak terkontrol. Massa yang dibakar emosinya oleh ujaran-ujaran kebencian dan diyakinkan oleh tokoh-tokoh panutan mereka, terutama para pensiunan atau purnawirawan TNI dan Polri, bahwa apa yang dilakukan oleh mereka didukung oleh satu institusi, misalnya TNI. Aksi massa tersebut berpotensi melakukan kerusakan terhadap fasilitas dan sarana publik dan sentra-sentra bisnis di sekitar lokasi sasaran yang sudah disebutkan. Aksi seperti ini pun berpeluang memantik aksi yang sama di lokasi-lokasi lain.
Kerentanan
Kantor KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki kerentanan yang tinggi dari sisi keamanan, misalnya jarak dari jalan utama ke gedung terlalu dekat, tembok yang tidak terlalu tinggi, tidak tersedianya akses alternatif bagi orang untuk masuk dan keluar dengan lancar, atau lokasi yang tidak terisolasi dan sangat dekat dari rumah warga, sentra-sentra bisnis, dan tempat ibadah. Kondisi ini menciptakan lubang dalam pengamanan yang bisa dieksploitasi lewat ancaman di atas.
Kedekatan KPU danBawaslu dengan fasilitas publik lainnya, dan permukiman warga membuat warga yang berada dan/atau melakukan rutinitas sehari-harinya di sekitar KPU dan Bawaslu juga menjadi rentan terhadap ancaman tersebut. Di sisi lain, hal ini tentu menyulitkan aparat keamanan dalam melaksanakan pengamanan.
Jumlah personel aparat keamanan yang ada di Jakarta pun menjadi kerentanan tersendiri. Kalau KPU dan Bawaslu sebagai sasaran primer, maka jumlah sasaran sekunder sesuai dengan jenis ancaman di atas menjadi sangat banyak.
Aset
Aset bukan hanya dalam bentuk fisik, tapi juga nonfisik termasuk kredibilitas dan kepercayaan. Lumpuhnya KPU dan Bawaslu tentu membuat tahapan dalam Pemilu 2019 menjadi lumpuh pula. Apabila KPU tidak berhasil mengumumkan hasil Pemilu 2019 pada 22 Mei nanti, maka kepercayaan dan kredibilitas mereka otomatis diragukan.
Di sisi lain, KPU dan Bawaslu yang lumpuh atau rusaknya aset di sekitar KPU dan Bawaslu, seperti rumah-rumah, pusat perbelanjaan, rumah ibadah, ataupun fasilitas publik lainnya, akan turut merusak kredibilitas pemerintah.
Tingkat Risiko dan Mitigasi
Dari hasil analisis tersebut, bisa disimpulkan bahwa risiko yang ditimbulkan dari gerakan people power ini cukup besar. Terlalu banyak vulnerabilities yang bisa dieksploitasi oleh ancaman yang sudah disebutkan di atas.
Akan tetapi, aparat keamanan sudah melakukan langkah-langkah mitigasi yang jenius, antara lain: Pertama, keberhasilan Polri lewat Densus 88 dalam menangkap dan merusak beberapa sel baru Jamaah Anshorut Daulah (JAD) yang berafiliasi ke ISIS. Ada dugaan kelompok ini berniat melakukan serangan teror apabila ada pengerahan massa ke KPU pada 22 Mei.
Kedua, pengerahan sekitar 32.000 pasukan gabungan TNI dan Polri bukan hanya untuk mengantisipasi terjadinya ancaman yang sudah disebutkan di atas, tetapi juga sebagai deterrence bagi tokoh ataupun kelompok yang ingin melakukan aksi-aksi mereka.
Ketiga, pemeriksaan oleh Polri terhadap beberapa orang yang melakukan provokasi, ujaran kebencian, dan ancaman menunjukkan integritas dan profesionalitas aparat penegak hukum sekaligus tidak memberi ruang bagi kelompok-kelompok yang berniat melakukan tindakan inkonstitusional untuk menjalankan dan meneruskan aksinya.
Ketegasan pemerintah untuk menegakkan hukum sekaligus membiarkan proses demokrasi berjalan sesuai dengan aturan hukum menjadi kunci bagi stabilitas keamanan menyongsong 22 Mei. Tingkat risiko yang tinggi sudah bisa dimitigasi dengan langkah-langkah tepat dan cermat. Masyarakat tidak perlu takut dan khawatir, tetapi kewaspadaan itu penting, karena aparat keamanan tidak mungkin bekerja sendirian.
Analis Konflik dan Konsultan Keamanan
PASCA-pelaksanaan Pemilu 2019 pada 17 April lalu, masyarakat Indonesia disuguhkan dengan berita yang berisikan narasi-narasi provokatif yang mengajak kelompok-kelompok masyarakat Indonesia untuk menolak hasil pemilu.
Konten dari narasi-narasi tersebut bermacam-macam, mulai dari ajakan menolak hasil perhitungan langsung yang sedang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), memprovokasi masyarakat untuk menuntut agar salah satu pasangan capres-cawapres didiskualifikasi, bahkan sampai pada pergerakan massa secara masif yang disebut sebagai people power untuk mengepung dan menguasai KPU, Istana Negara, dan DPR RI. Lebih dari itu, ada juga ajakan untuk melakukan aksi kekerasan.
Dalam konteks keamanan negara, gelombang narasi provokatif seperti ini dapat dikategorikan sebagai usaha yang terstruktur, sistematis, dan masif untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah dengan menciptakan instabilitas, kerusuhan, aksi kekerasan, dan teror. Aksi ini bisa dikategorikan sebagai makar.
Aksi-aksi ini direspons secara cepat oleh Polri dengan melakukan penangkapan terhadap beberapa orang yang menjadi provokator aksi tersebut. Mereka dijerat dengan Pasal 104 KUHP tentang Makar, yang meliputi aksi dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau paling lama 20 tahun.
Ini adalah langkah tepat yang dilakukan oleh Polri dalam menangkal momentum terjadinya aksi-aksi inkonstitusional yang bertujuan menggulingkan pemerintah yang sah dimaksud. Akan tetapi, apakah risiko terjadinya kekacauan pada 22 Mei saat KPU mengumumkan hasil pemilihan presiden (pilpres) itu tetap ada? Hal ini bisa dilakukan lewat analisis risiko (risk analysis).
Secara sederhana, risiko itu bisa diukur dengan menganalisis ancaman (threat ), kerentanan (vulnerability), dan aset (asset), atau risk = bubar, Threat x Vulnerability x Asset.
Ancaman
Ancaman dengan dampak yang paling besar tentunya adalah tindak pidana terorisme. Menurut UU No 5/2018, tindak pidana terorisme diartikan sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Tentu sasaran serangan teror bukan hanya KPU di Jakarta, tapi bisa juga sasaran-sasaran lunak lainnya. Akan tetapi, serangan ke massa yang mengampanyekan seruan antipemerintah, yang berkumpul di depan kantor KPU, akan memiliki dampak psikologis yang tinggi karena otomatis pemerintah akan dicap sebagai pihak yang tidak mampu memberikan rasa aman, bahkan cenderung membiarkan serangan ini terjadi, dan ini bisa membangkitkan gerakan antipemerintah di berbagai tempat lain.
Ancaman berikut adalah kekacauan yang ditimbulkan oleh aksi-aksi kriminalitas dari massa yang tidak terkontrol. Massa yang dibakar emosinya oleh ujaran-ujaran kebencian dan diyakinkan oleh tokoh-tokoh panutan mereka, terutama para pensiunan atau purnawirawan TNI dan Polri, bahwa apa yang dilakukan oleh mereka didukung oleh satu institusi, misalnya TNI. Aksi massa tersebut berpotensi melakukan kerusakan terhadap fasilitas dan sarana publik dan sentra-sentra bisnis di sekitar lokasi sasaran yang sudah disebutkan. Aksi seperti ini pun berpeluang memantik aksi yang sama di lokasi-lokasi lain.
Kerentanan
Kantor KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki kerentanan yang tinggi dari sisi keamanan, misalnya jarak dari jalan utama ke gedung terlalu dekat, tembok yang tidak terlalu tinggi, tidak tersedianya akses alternatif bagi orang untuk masuk dan keluar dengan lancar, atau lokasi yang tidak terisolasi dan sangat dekat dari rumah warga, sentra-sentra bisnis, dan tempat ibadah. Kondisi ini menciptakan lubang dalam pengamanan yang bisa dieksploitasi lewat ancaman di atas.
Kedekatan KPU danBawaslu dengan fasilitas publik lainnya, dan permukiman warga membuat warga yang berada dan/atau melakukan rutinitas sehari-harinya di sekitar KPU dan Bawaslu juga menjadi rentan terhadap ancaman tersebut. Di sisi lain, hal ini tentu menyulitkan aparat keamanan dalam melaksanakan pengamanan.
Jumlah personel aparat keamanan yang ada di Jakarta pun menjadi kerentanan tersendiri. Kalau KPU dan Bawaslu sebagai sasaran primer, maka jumlah sasaran sekunder sesuai dengan jenis ancaman di atas menjadi sangat banyak.
Aset
Aset bukan hanya dalam bentuk fisik, tapi juga nonfisik termasuk kredibilitas dan kepercayaan. Lumpuhnya KPU dan Bawaslu tentu membuat tahapan dalam Pemilu 2019 menjadi lumpuh pula. Apabila KPU tidak berhasil mengumumkan hasil Pemilu 2019 pada 22 Mei nanti, maka kepercayaan dan kredibilitas mereka otomatis diragukan.
Di sisi lain, KPU dan Bawaslu yang lumpuh atau rusaknya aset di sekitar KPU dan Bawaslu, seperti rumah-rumah, pusat perbelanjaan, rumah ibadah, ataupun fasilitas publik lainnya, akan turut merusak kredibilitas pemerintah.
Tingkat Risiko dan Mitigasi
Dari hasil analisis tersebut, bisa disimpulkan bahwa risiko yang ditimbulkan dari gerakan people power ini cukup besar. Terlalu banyak vulnerabilities yang bisa dieksploitasi oleh ancaman yang sudah disebutkan di atas.
Akan tetapi, aparat keamanan sudah melakukan langkah-langkah mitigasi yang jenius, antara lain: Pertama, keberhasilan Polri lewat Densus 88 dalam menangkap dan merusak beberapa sel baru Jamaah Anshorut Daulah (JAD) yang berafiliasi ke ISIS. Ada dugaan kelompok ini berniat melakukan serangan teror apabila ada pengerahan massa ke KPU pada 22 Mei.
Kedua, pengerahan sekitar 32.000 pasukan gabungan TNI dan Polri bukan hanya untuk mengantisipasi terjadinya ancaman yang sudah disebutkan di atas, tetapi juga sebagai deterrence bagi tokoh ataupun kelompok yang ingin melakukan aksi-aksi mereka.
Ketiga, pemeriksaan oleh Polri terhadap beberapa orang yang melakukan provokasi, ujaran kebencian, dan ancaman menunjukkan integritas dan profesionalitas aparat penegak hukum sekaligus tidak memberi ruang bagi kelompok-kelompok yang berniat melakukan tindakan inkonstitusional untuk menjalankan dan meneruskan aksinya.
Ketegasan pemerintah untuk menegakkan hukum sekaligus membiarkan proses demokrasi berjalan sesuai dengan aturan hukum menjadi kunci bagi stabilitas keamanan menyongsong 22 Mei. Tingkat risiko yang tinggi sudah bisa dimitigasi dengan langkah-langkah tepat dan cermat. Masyarakat tidak perlu takut dan khawatir, tetapi kewaspadaan itu penting, karena aparat keamanan tidak mungkin bekerja sendirian.
(maf)