Pentingnya Mengungkap Kerusuhan Mei 1998
A
A
A
Tom Saptaatmaja
Teolog dan Kolumnis
MEI 1998 sungguh menyimpan misteri dan teka-teki yang hingga kini belum terungkap. Kita tidak tahu siapa dalang atau koordinator lapangan sehingga terjadi berbagai kasus kekerasan pada Mei 1998. Setelah 21 tahun reformasi, dengan berbagai tumbalnya, seperti para aktivis yang dihilangkan nyawanya, korban Tragedi Semanggi, Trisakti, dan puncaknya kerusuhan atau Tragedi 13-15 Mei 1998, tidak ada koalisi yang mau memihak para korban Mei 1998.
Apalagi jika sudah ada yang berpendapat “sudah saatnya kita melupakan yang lalu guna menatap masa depan”. Padahal, masa depan tidak bisa dibangun dengan mengabaikan persoalan masa lalu yang masih menjadi “malum commune “ atau aib bersama, seperti kerusuhan Mei 1998.
Hal yang memprihatinkan, sejumlah pihak justru berupaya membiarkan rentetan peristiwa pelanggaran HAM pada Mei 1998 itu tetap dalam misteri. Berbagai upaya terus dilakukan agar berbagai kasus tersebut tetap rapi tertutupi. Padahal, para korban atau keluarganya jelas amat menderita.
Simak apa yang terjadi pada salah satu korban ini. Kedua tangannya tak lagi berbentuk sempurna, dua daun telinganya rusak, bekas luka bakar terlihat jelas di hampir seluruh bagian tubuhnya. “Saya nyaris dibakar hidup-hidup,” kata Iwan Firman, salah satu korban selamat, dalam peringatan “21 Tahun Tragedi Mei 98” pada Senin (13/5).
Iwan mengaku ingin bertemu Presiden Joko Widodo dan berharap presiden membantu mengungkap siapa dalang tragedi tersebut. Apa yang dialami Iwan dan korban lainnya jelas sangat getir. Namun, penderitaan mereka kerap hanya menjadi elegi yang tidak pernah ditindaklanjuti.
Impunitas dan Amnesia Kolektif
Seharusnya kita berani membantu agar para korban kerusuhan Mei bisa mendapat keadilan. Namun kenyataannya, dalam upaya mencari keadilan, para korban merasa membentur “dinding tebal”. Dinding itu bernama impunitas, yakni sebuah fakta yang secara sah memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman atau kerugian kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Kecuali itu, berbagai cara ditempuh untuk melakukan gerakan yang membuat terjadinya amnesia kolektif, meminjam istilah sejarawan Dr Baskara T Wijaya. Orang dibikin lupa akan masa lalu atau kalaupun ingat, ingatannya dibuat -parsial atau sepotong-sepotong, demi melayani kepentingan pihak tertentu yang tampaknya tidak ingin tragedi ini diusut dan dituntaskan.
Simak saja, sejak lama selalu muncul ke publik penilaian tidak ada bukti-bukti yang mendukung kerusuhan Mei untuk dibawa ke pengadilan, meski telah dibentuk beberapa Tim Pencari Fakta. Rekomendasi tim semacam itu sebenarnya bisa dijadikan bukti awal. Sayangnya, dokumen berikut data-data asli dari Tim Gabungan Pencari Fakta yang diserahkan kepada pemerintah (pada era SBY), justru telah hilang atau dihilangkan. Kini yang tersisa hanya fotokopi dari dokumen tersebut.
Hal yang menjengkelkan, jasad korban kerusuhan Mei juga kerap dikecilkan keberadaannya. Misalnya, dengan menyebut potongan tubuh yang ditemukan hangus dalam peristiwa terbakarnya Plaza Sentral Klender, Jakarta Timur, bukan orang, tapi maneken. Padahal, jika maneken pasti meleleh dan tidak hangus karena terbuat dari plastik. Demikian juga soal terjadinya perkosaan dalam kerusuhan Mei, kadang justru membuat para korban tambah menderita karena diminta menunjukkan bukti telah diperkosa. Sungguh, memang tidak ada keadilan bagi para korban.
Akibatnya, sejarah masalah lalu kita, termasuk berbagai kasus termasuk kasus-kasus pada Mei 1998 kerap menjadi bias dan tidak pernah memihak pada kepentingan korban atau keluarganya.
Jangankan sejarah yang melibatkan orang-orang kecil dalam kerusuhan Mei 1998, yang melibatkan sosok Proklamator Bung Karno saja, para sejarawan kita bisa “diorder” untuk bersikap tidak objektif. Misalnya, ada yang ganjil ketika buku Pejuang dan Prajurit karya Nugroho Notosusanto terbit pada 1984. Wajah Soekarno tak tampak dalam foto pengibaran Merah-Putih, 17 Agustus 1945. Hanya wajah Bung Hatta yang kelihatan. Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo menelepon penerbit Sinar Harapan. Menurut dia, tindakan itu merupakan penggelapan sejarah.
Upaya penggelapan semacam itu masih terus berlangsung hingga saat ini, termasuk yang melibatkan rakyat jelata. Simak saja misalnya kasus pembunuhan Munir atau berbagai kasus kriminalisasi para aktivis lingkungan hari-hari ini.
Terkait kerusuhan Mei 1998, jumlah korbannya sungguh tidak sedikit. Pertama, data dari tim relawan terdapat 1.308 korban. Korban meninggal sebanyak 1.217 orang. Sementara itu, korban yang luka-luka sebanyak 91 orang. Kedua, data dari Polda Metro Jaya sebanyak 451 korban meninggal, sedangkan korban luka tidak tercatat. Data ketiga berasal dari Kodam menyatakan terdapat 532 korban, rinciannya, 463 korban meninggal dan 69 orang luka-luka. Terakhir, data dari Pemprov DKI Jakarta menyebutkan, sebanyak 288 orang meninggal dunia dan 101 orang luka-luka (Kata Data, 13/5).
Rekonsiliasi
Kalau benar data yang dipublikasikan tersebut, jelas jumlah korban kerusuhan Mei tidak sepantasnya dikecilkan dengan berbagai dalih. Maka pengungkapan kasus ini jelas sangat penting. Bukan saja demi korban, tapi juga demi rekonsiliasi bangsa. Sayangnya, selama ini rekonsiliasi nasional selalu dianggap sebagai wacana tak bermakna.
Padahal, Uskup Desmond Tutu, Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan pernah menulis, “rekonsiliasi sejati harus berani mengungkap kekejaman, kekerasan, kepedihan, kebejatan, dan kebenaran. Bahkan seolah upaya rekonsiliasi justru tampak memperburuk keadaan. Rekonsiliasi memang sangat riskan. Tetapi adakah di dunia ini satu tindakan yang tidak menimbulkan risiko? Yang penting pada akhirnya rekonsiliasi sejati pasti mendorong terciptanya pemulihan nyata dan perdamaian sejati setelah melewati tahapan-tahapan sulit. Rekonsiliasi yang palsu hanya dapat menghasilkan pemulihan yang palsu,” (Buku No Future Without Forgivenes, 1999).
Rekonsiliasi sejati, inilah yang harus kita upayakan. Rekonsiliasi ini perlu diupayakan sebagai bukti kita mau belajar dari masa lalu. Di Atlanta City, Georgia, Amerika Serikat, terdapat makam Martin Luther King Jr dan museumnya. Di sana biasa diputar film-film bagaimana warga “Afro-Amerika” yang berkulit hitam didiskriminasi atau disiksa oleh warga kulit putih karena hukum segregasi pada masa silam. Keberadaan makam atau museum itu hanya salah satu bukti betapa Amerika Serikat tidak malu mengakui masa lalunya yang buruk.
Jadi, kita perlu memiliki keberanian serupa untuk berani menerima dan mengakui pernah terjadi beberapa peristiwa buruk pada masa lalu, seperti kerusuhan Mei 1998. Sudah cukup penolakan atau penyangkalan selama ini. Jangan menyangkalnya lagi di masa depan. Pengakuan dan pengungkapan kerusuhan ini penting untuk memulai rekonsiliasi demi masa depan bangsa yang lebih baik.
Teolog dan Kolumnis
MEI 1998 sungguh menyimpan misteri dan teka-teki yang hingga kini belum terungkap. Kita tidak tahu siapa dalang atau koordinator lapangan sehingga terjadi berbagai kasus kekerasan pada Mei 1998. Setelah 21 tahun reformasi, dengan berbagai tumbalnya, seperti para aktivis yang dihilangkan nyawanya, korban Tragedi Semanggi, Trisakti, dan puncaknya kerusuhan atau Tragedi 13-15 Mei 1998, tidak ada koalisi yang mau memihak para korban Mei 1998.
Apalagi jika sudah ada yang berpendapat “sudah saatnya kita melupakan yang lalu guna menatap masa depan”. Padahal, masa depan tidak bisa dibangun dengan mengabaikan persoalan masa lalu yang masih menjadi “malum commune “ atau aib bersama, seperti kerusuhan Mei 1998.
Hal yang memprihatinkan, sejumlah pihak justru berupaya membiarkan rentetan peristiwa pelanggaran HAM pada Mei 1998 itu tetap dalam misteri. Berbagai upaya terus dilakukan agar berbagai kasus tersebut tetap rapi tertutupi. Padahal, para korban atau keluarganya jelas amat menderita.
Simak apa yang terjadi pada salah satu korban ini. Kedua tangannya tak lagi berbentuk sempurna, dua daun telinganya rusak, bekas luka bakar terlihat jelas di hampir seluruh bagian tubuhnya. “Saya nyaris dibakar hidup-hidup,” kata Iwan Firman, salah satu korban selamat, dalam peringatan “21 Tahun Tragedi Mei 98” pada Senin (13/5).
Iwan mengaku ingin bertemu Presiden Joko Widodo dan berharap presiden membantu mengungkap siapa dalang tragedi tersebut. Apa yang dialami Iwan dan korban lainnya jelas sangat getir. Namun, penderitaan mereka kerap hanya menjadi elegi yang tidak pernah ditindaklanjuti.
Impunitas dan Amnesia Kolektif
Seharusnya kita berani membantu agar para korban kerusuhan Mei bisa mendapat keadilan. Namun kenyataannya, dalam upaya mencari keadilan, para korban merasa membentur “dinding tebal”. Dinding itu bernama impunitas, yakni sebuah fakta yang secara sah memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman atau kerugian kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Kecuali itu, berbagai cara ditempuh untuk melakukan gerakan yang membuat terjadinya amnesia kolektif, meminjam istilah sejarawan Dr Baskara T Wijaya. Orang dibikin lupa akan masa lalu atau kalaupun ingat, ingatannya dibuat -parsial atau sepotong-sepotong, demi melayani kepentingan pihak tertentu yang tampaknya tidak ingin tragedi ini diusut dan dituntaskan.
Simak saja, sejak lama selalu muncul ke publik penilaian tidak ada bukti-bukti yang mendukung kerusuhan Mei untuk dibawa ke pengadilan, meski telah dibentuk beberapa Tim Pencari Fakta. Rekomendasi tim semacam itu sebenarnya bisa dijadikan bukti awal. Sayangnya, dokumen berikut data-data asli dari Tim Gabungan Pencari Fakta yang diserahkan kepada pemerintah (pada era SBY), justru telah hilang atau dihilangkan. Kini yang tersisa hanya fotokopi dari dokumen tersebut.
Hal yang menjengkelkan, jasad korban kerusuhan Mei juga kerap dikecilkan keberadaannya. Misalnya, dengan menyebut potongan tubuh yang ditemukan hangus dalam peristiwa terbakarnya Plaza Sentral Klender, Jakarta Timur, bukan orang, tapi maneken. Padahal, jika maneken pasti meleleh dan tidak hangus karena terbuat dari plastik. Demikian juga soal terjadinya perkosaan dalam kerusuhan Mei, kadang justru membuat para korban tambah menderita karena diminta menunjukkan bukti telah diperkosa. Sungguh, memang tidak ada keadilan bagi para korban.
Akibatnya, sejarah masalah lalu kita, termasuk berbagai kasus termasuk kasus-kasus pada Mei 1998 kerap menjadi bias dan tidak pernah memihak pada kepentingan korban atau keluarganya.
Jangankan sejarah yang melibatkan orang-orang kecil dalam kerusuhan Mei 1998, yang melibatkan sosok Proklamator Bung Karno saja, para sejarawan kita bisa “diorder” untuk bersikap tidak objektif. Misalnya, ada yang ganjil ketika buku Pejuang dan Prajurit karya Nugroho Notosusanto terbit pada 1984. Wajah Soekarno tak tampak dalam foto pengibaran Merah-Putih, 17 Agustus 1945. Hanya wajah Bung Hatta yang kelihatan. Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo menelepon penerbit Sinar Harapan. Menurut dia, tindakan itu merupakan penggelapan sejarah.
Upaya penggelapan semacam itu masih terus berlangsung hingga saat ini, termasuk yang melibatkan rakyat jelata. Simak saja misalnya kasus pembunuhan Munir atau berbagai kasus kriminalisasi para aktivis lingkungan hari-hari ini.
Terkait kerusuhan Mei 1998, jumlah korbannya sungguh tidak sedikit. Pertama, data dari tim relawan terdapat 1.308 korban. Korban meninggal sebanyak 1.217 orang. Sementara itu, korban yang luka-luka sebanyak 91 orang. Kedua, data dari Polda Metro Jaya sebanyak 451 korban meninggal, sedangkan korban luka tidak tercatat. Data ketiga berasal dari Kodam menyatakan terdapat 532 korban, rinciannya, 463 korban meninggal dan 69 orang luka-luka. Terakhir, data dari Pemprov DKI Jakarta menyebutkan, sebanyak 288 orang meninggal dunia dan 101 orang luka-luka (Kata Data, 13/5).
Rekonsiliasi
Kalau benar data yang dipublikasikan tersebut, jelas jumlah korban kerusuhan Mei tidak sepantasnya dikecilkan dengan berbagai dalih. Maka pengungkapan kasus ini jelas sangat penting. Bukan saja demi korban, tapi juga demi rekonsiliasi bangsa. Sayangnya, selama ini rekonsiliasi nasional selalu dianggap sebagai wacana tak bermakna.
Padahal, Uskup Desmond Tutu, Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan pernah menulis, “rekonsiliasi sejati harus berani mengungkap kekejaman, kekerasan, kepedihan, kebejatan, dan kebenaran. Bahkan seolah upaya rekonsiliasi justru tampak memperburuk keadaan. Rekonsiliasi memang sangat riskan. Tetapi adakah di dunia ini satu tindakan yang tidak menimbulkan risiko? Yang penting pada akhirnya rekonsiliasi sejati pasti mendorong terciptanya pemulihan nyata dan perdamaian sejati setelah melewati tahapan-tahapan sulit. Rekonsiliasi yang palsu hanya dapat menghasilkan pemulihan yang palsu,” (Buku No Future Without Forgivenes, 1999).
Rekonsiliasi sejati, inilah yang harus kita upayakan. Rekonsiliasi ini perlu diupayakan sebagai bukti kita mau belajar dari masa lalu. Di Atlanta City, Georgia, Amerika Serikat, terdapat makam Martin Luther King Jr dan museumnya. Di sana biasa diputar film-film bagaimana warga “Afro-Amerika” yang berkulit hitam didiskriminasi atau disiksa oleh warga kulit putih karena hukum segregasi pada masa silam. Keberadaan makam atau museum itu hanya salah satu bukti betapa Amerika Serikat tidak malu mengakui masa lalunya yang buruk.
Jadi, kita perlu memiliki keberanian serupa untuk berani menerima dan mengakui pernah terjadi beberapa peristiwa buruk pada masa lalu, seperti kerusuhan Mei 1998. Sudah cukup penolakan atau penyangkalan selama ini. Jangan menyangkalnya lagi di masa depan. Pengakuan dan pengungkapan kerusuhan ini penting untuk memulai rekonsiliasi demi masa depan bangsa yang lebih baik.
(mhd)