Menilai Ucapan
A
A
A
Rio Christiawan, Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Beberapa hari belakangan ini masyarakat dan pemerintah terlibat pro-kontra terkait tim yang dibentuk oleh Menkopolhukam Wiranto, yakni tim yang akan difungsikan untuk memberi justifikasi terkait ucapan tokoh, apakah melanggar hukum atau tidak.
Sebenarnya gagasan awalnya dan latar belakang dibentuknya tim ini dapat dipahami, mengingat sejak musim kontestasi politik bergulir banyak ucapan tokoh yang sifatnya propaganda, provakatif dan melanggar hukum. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan misleading di masyarakat.
Concern Menkopolhukam tersebut dapat dipahami karena banyak dari ucapan tokoh tersebut yang mengandung dan menyebabkan sesat pikir pada masayarakat. Sumariono (2002), menjelaskan sesat pikir dapat terjadi karena faktor tokoh yang mengucapkan memiliki reputasi dan ketokohan sehingga apapun substansi ucapannyacenderung diterima masyarakat.
Sesat pikir yang demikian disebut sebagai argumentum ad hominem. Dalam hal ini tujuan pembentukan tim “penilai” ucapan tokoh ini adalah demi menghindari terjadinya konflik di tataran masyarakat bawah (grass root) yang disebabkan karena ucapan yang mengandung sesat pikir argumentum ad hominem dan khususnya pula yang mengandung konsekuensi hukum.
Di lain sisi, pertanyaan reflektifnya adalah terkait tingkat urgensitas pembentukan tim ini, pada satu sisi pembentukannya justru menunjukkan fungsi komunikasi politik dari pemerintah tidak berfungsi optimal. Banyak pihak pula menilai langkah yang ditempuh Menkopolhukam tersebut sebagai upaya yang represif seperti saat Orde Baru dan tidak cocok dengan kehidupan berdemokrasi.
Sebenarnya persoalan sesungguhnya adalah potensi antinomi (kekacauan) dalam proses penegakan hukum secara formil. Persoalannya bukan terletak pada dibentuknya tim ini untuk menilai ucapan para tokoh, dalam hal ini sepanjang para tokoh tidak mengeluarkan ucapan yang melanggar hukum dan atau berpotensi melanggar hukum maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Persoalannya adalah terletak pada bagaimana tim ini dapat bekerja dengan harmonis bersama penegak hukum lainnya. Tim ini perlu memiliki mekanisme dan aturan main yang jelas serta sejauh apa rekomendasi tim ini dapat ditindaklanjuti harus diatur dalam payung hukum yang transparan.
Persoalan Operasional
Pembentukan tim pengkaji ucapan tokoh ini setidaknya akan menimbulkan empat persoalan di tataran operasional penegakan hukum secara formil. Pertama, adalah soal kualifikasi yang disebut tokoh, pengertian tokoh ini perlu didefinisikan secara jelas guna menghindari tafsir tidak objektifnya tim ini dalam bekerja.
Pengertian tidak objektif yakni diarahkan pada sasaran tertentu, oleh sebab itu guna menghindari stigma tidak objektif dan represif maka tim ini perlu payung hukum yang jelas dan memuat aturan main tim ini. Idealnya sebelum membentuk tim pemerintah sudah mempersiapkan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum tim dalam bekerja.
Kedua, jika persoalan pertama adalah terkait subjeknya (definisi tokoh) maka persoalan kedua adalah terkait objeknya, yakni ucapannya. Perlu diatur juga jenis ucapan yang menjadi ruang lingkup kerja dari tim ini, karena akan sangat tidak efektif jika ruang lingkup terlalu luas, tidak fokus atau bahkan justru membunuh demokrasi itu sendiri.
Dampak lainnya adalah justru membuat kinerja tim ini menjadi tidak efektif dan kontraproduktif. Tanpa kejelasan subjek (definisi dari tokoh) dan objek (definisi dan ruang lingkup dari ucapan), maka tim ini akan kehilangan visi dan misinya untuk menyudahi konflik di masyarakat akibat dari ucapan para tokoh yang provokatif serta tidak mengandung kebenaran (argumentum ad hominem).
Jika hal ini terjadi memang kental kesan respresif pada tim ini dan di tataran operasional justru rawan benturan dengan penegakan hukum formal lainnya, misalnya bagaimana cara tim ini menentukan sebuah rekomendasi merupakan hal yang harus ditindaklanjuti.
Potensi bahaya yang muncul dengan dikotomis tokoh dan (bukan) tokoh adalah seandainya memang ada pihak-pihak tertentu yang berencana menyebarkan propaganda, provaktif, hoaks maupun fitnah maka frontliners-nya akan berubah menjadi yang dikualifikasikan bukan tokoh.
Mereka yang terkualifikasi sebagai tokoh justru hanya akan menjadi aktor intelektual saja. Artinya pembentukan tim ini bukan menyelesaikan persoalan, tetapi hanya mengubah pola penyebaran informasi saja.
Persoalan ketiga adalah terkait mekanisme kerja tim pengkaji ini, Friedman (1976), menguraikan bahwa jika legal structure (aparat) tidak didukung oleh legal substance (aturan) yang memadai maka tim ini tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya atau justru bertentangan dengan perangkat hukum yang lain (misalnya kepolisian) dalam mencari kebenaran materiil.
Aturan hukum (legal substance) berfungsi menciptakan mekanisme kerja dan menyerasikan mekanisme penegakan hukum secara formil dengan para penegak hukum yang lainnya. Persoalan keempat adalah pembagian tugas dan kewenangan antara tim bentukan menkopolhukam ini dengan penegak hukum lainnya.
Diperlukannya payung hukum yang kredibel adalah sebagai dasar tim ini dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sehingga justru tidak menimbulkan benturan fungsi dengan penegak hukum yang lain. Perlu diperjelas dalam hal ini mengenai status kedudukan tim ini apakah hanya sebagai penunjang penegak hukum yang telah ada atau dapat melakukan fungsi penegakan hukum khusus terkait ucapan tokoh.
Belum jelasnya tupoksi tim ini di level operasional menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Menkopolhukam terlalu “terburu-buru” me-launching tim ini kepada publik. Misalnya belum diatur mengenai kedudukan tim ini maupun hubungan dalam konteks relasi kerja tim bentukan Menkopolhukam ini dengan penegak hukum yang lain.
Termasuk terkait seberapa mengikatnya rekomendasi yang nantinya akan dihasilkan oleh tim penilai ucapan ini perlu didefinisikan secara pasti. Persoalan rekomendasi akan menjadi sesuatu yang penting untuk dibahas dan diatur mekanismenya. Mengingat bisa saja terjadi perbedaan tafsir atas rekomendasi tersebut, atau bisa saja terjadi perbedaan hasil rekomendasi dengan peyidikan polisi nantinya.
Dalam konteks formal misalnya perlu diatur apakah rekomendasi nantinya dapat dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan atau sebaliknya bagaimana prosedur keberatan pada rekomendasi tersebut. Banyak hal yang harus disempurnakan agar tim bentukan menkopolhukam tersebut dapat berfungsi dengan optimal.
Dalam hal ini menyelesaikan perang kata-kata provokatif, hoaks dan fitnah melalui penguatan melalui jalur hukum adalah hal yang diperlukan, tetapi yang lebih dinantikan lagi adalah membuat masyarakat dan tokoh sadar untuk memerangi kata-kata provokatif, fitnah dan hoaks dengan kesadaran untuk membangun NKRI.
Beberapa hari belakangan ini masyarakat dan pemerintah terlibat pro-kontra terkait tim yang dibentuk oleh Menkopolhukam Wiranto, yakni tim yang akan difungsikan untuk memberi justifikasi terkait ucapan tokoh, apakah melanggar hukum atau tidak.
Sebenarnya gagasan awalnya dan latar belakang dibentuknya tim ini dapat dipahami, mengingat sejak musim kontestasi politik bergulir banyak ucapan tokoh yang sifatnya propaganda, provakatif dan melanggar hukum. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan misleading di masyarakat.
Concern Menkopolhukam tersebut dapat dipahami karena banyak dari ucapan tokoh tersebut yang mengandung dan menyebabkan sesat pikir pada masayarakat. Sumariono (2002), menjelaskan sesat pikir dapat terjadi karena faktor tokoh yang mengucapkan memiliki reputasi dan ketokohan sehingga apapun substansi ucapannyacenderung diterima masyarakat.
Sesat pikir yang demikian disebut sebagai argumentum ad hominem. Dalam hal ini tujuan pembentukan tim “penilai” ucapan tokoh ini adalah demi menghindari terjadinya konflik di tataran masyarakat bawah (grass root) yang disebabkan karena ucapan yang mengandung sesat pikir argumentum ad hominem dan khususnya pula yang mengandung konsekuensi hukum.
Di lain sisi, pertanyaan reflektifnya adalah terkait tingkat urgensitas pembentukan tim ini, pada satu sisi pembentukannya justru menunjukkan fungsi komunikasi politik dari pemerintah tidak berfungsi optimal. Banyak pihak pula menilai langkah yang ditempuh Menkopolhukam tersebut sebagai upaya yang represif seperti saat Orde Baru dan tidak cocok dengan kehidupan berdemokrasi.
Sebenarnya persoalan sesungguhnya adalah potensi antinomi (kekacauan) dalam proses penegakan hukum secara formil. Persoalannya bukan terletak pada dibentuknya tim ini untuk menilai ucapan para tokoh, dalam hal ini sepanjang para tokoh tidak mengeluarkan ucapan yang melanggar hukum dan atau berpotensi melanggar hukum maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Persoalannya adalah terletak pada bagaimana tim ini dapat bekerja dengan harmonis bersama penegak hukum lainnya. Tim ini perlu memiliki mekanisme dan aturan main yang jelas serta sejauh apa rekomendasi tim ini dapat ditindaklanjuti harus diatur dalam payung hukum yang transparan.
Persoalan Operasional
Pembentukan tim pengkaji ucapan tokoh ini setidaknya akan menimbulkan empat persoalan di tataran operasional penegakan hukum secara formil. Pertama, adalah soal kualifikasi yang disebut tokoh, pengertian tokoh ini perlu didefinisikan secara jelas guna menghindari tafsir tidak objektifnya tim ini dalam bekerja.
Pengertian tidak objektif yakni diarahkan pada sasaran tertentu, oleh sebab itu guna menghindari stigma tidak objektif dan represif maka tim ini perlu payung hukum yang jelas dan memuat aturan main tim ini. Idealnya sebelum membentuk tim pemerintah sudah mempersiapkan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum tim dalam bekerja.
Kedua, jika persoalan pertama adalah terkait subjeknya (definisi tokoh) maka persoalan kedua adalah terkait objeknya, yakni ucapannya. Perlu diatur juga jenis ucapan yang menjadi ruang lingkup kerja dari tim ini, karena akan sangat tidak efektif jika ruang lingkup terlalu luas, tidak fokus atau bahkan justru membunuh demokrasi itu sendiri.
Dampak lainnya adalah justru membuat kinerja tim ini menjadi tidak efektif dan kontraproduktif. Tanpa kejelasan subjek (definisi dari tokoh) dan objek (definisi dan ruang lingkup dari ucapan), maka tim ini akan kehilangan visi dan misinya untuk menyudahi konflik di masyarakat akibat dari ucapan para tokoh yang provokatif serta tidak mengandung kebenaran (argumentum ad hominem).
Jika hal ini terjadi memang kental kesan respresif pada tim ini dan di tataran operasional justru rawan benturan dengan penegakan hukum formal lainnya, misalnya bagaimana cara tim ini menentukan sebuah rekomendasi merupakan hal yang harus ditindaklanjuti.
Potensi bahaya yang muncul dengan dikotomis tokoh dan (bukan) tokoh adalah seandainya memang ada pihak-pihak tertentu yang berencana menyebarkan propaganda, provaktif, hoaks maupun fitnah maka frontliners-nya akan berubah menjadi yang dikualifikasikan bukan tokoh.
Mereka yang terkualifikasi sebagai tokoh justru hanya akan menjadi aktor intelektual saja. Artinya pembentukan tim ini bukan menyelesaikan persoalan, tetapi hanya mengubah pola penyebaran informasi saja.
Persoalan ketiga adalah terkait mekanisme kerja tim pengkaji ini, Friedman (1976), menguraikan bahwa jika legal structure (aparat) tidak didukung oleh legal substance (aturan) yang memadai maka tim ini tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya atau justru bertentangan dengan perangkat hukum yang lain (misalnya kepolisian) dalam mencari kebenaran materiil.
Aturan hukum (legal substance) berfungsi menciptakan mekanisme kerja dan menyerasikan mekanisme penegakan hukum secara formil dengan para penegak hukum yang lainnya. Persoalan keempat adalah pembagian tugas dan kewenangan antara tim bentukan menkopolhukam ini dengan penegak hukum lainnya.
Diperlukannya payung hukum yang kredibel adalah sebagai dasar tim ini dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sehingga justru tidak menimbulkan benturan fungsi dengan penegak hukum yang lain. Perlu diperjelas dalam hal ini mengenai status kedudukan tim ini apakah hanya sebagai penunjang penegak hukum yang telah ada atau dapat melakukan fungsi penegakan hukum khusus terkait ucapan tokoh.
Belum jelasnya tupoksi tim ini di level operasional menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Menkopolhukam terlalu “terburu-buru” me-launching tim ini kepada publik. Misalnya belum diatur mengenai kedudukan tim ini maupun hubungan dalam konteks relasi kerja tim bentukan Menkopolhukam ini dengan penegak hukum yang lain.
Termasuk terkait seberapa mengikatnya rekomendasi yang nantinya akan dihasilkan oleh tim penilai ucapan ini perlu didefinisikan secara pasti. Persoalan rekomendasi akan menjadi sesuatu yang penting untuk dibahas dan diatur mekanismenya. Mengingat bisa saja terjadi perbedaan tafsir atas rekomendasi tersebut, atau bisa saja terjadi perbedaan hasil rekomendasi dengan peyidikan polisi nantinya.
Dalam konteks formal misalnya perlu diatur apakah rekomendasi nantinya dapat dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan atau sebaliknya bagaimana prosedur keberatan pada rekomendasi tersebut. Banyak hal yang harus disempurnakan agar tim bentukan menkopolhukam tersebut dapat berfungsi dengan optimal.
Dalam hal ini menyelesaikan perang kata-kata provokatif, hoaks dan fitnah melalui penguatan melalui jalur hukum adalah hal yang diperlukan, tetapi yang lebih dinantikan lagi adalah membuat masyarakat dan tokoh sadar untuk memerangi kata-kata provokatif, fitnah dan hoaks dengan kesadaran untuk membangun NKRI.
(don)