Karakteristik Seorang Dai
A
A
A
Zen Umar Sumaith Ketua Umum Rabithah Alawiyah
CUKUP memprihatinkan apa yang terjadi akhir-akhir ini ketika bangsa Indonesia mengadakan hajatan demokrasi dengan melaksanakan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (pileg), namun harus membayar dengan biaya yang sangat besar, baik dari sisi dana maupun banyaknya korban petugas pemilu yang meninggal. Belum lagi masyarakat yang terpecah sesuai dengan pilihan politik masing-masing yang terbawa sampai saat ini. Sebenarnya wajar saja setiap individu memiliki pilihan yang diyakini akan membawa kebaikan bagi nasib bangsa ini di masa depan. Tetapi, ketika perbedaan pilihan sampai mengarah ke perpecahan bangsa dan umat itu sesuatu yang sangat disayangkan.Kewajiban setiap pemimpin dalam masyarakat, apakah dia pimpinan partai, pimpinan pemerintahan, atau tokoh agama dan para dai untuk memberikan nasihat serta pengertian agar keretakan bangsa ini bisa direkatkan kembali. Asalkan penyebab terjadi perpecahan ini diselesaikan dengan kejujuran serta keadilan, niscaya hasil akhir bisa diterima dan disepakati bersama.
Di sini peran tokoh agama khususnya para dai sangat penting. Karena itu, diperlukan dai dengan karakteristik yang bisa membuat umat kembali rukun, kuat, dan saling menolong serta melihat kebaikan pada saudaranya, bukan justru melihat keburukan yang akan merenggangkan persatuan dan silaturahmi khususnya di bulan suci Ramadan.
Dakwah di jalan Allah merupakan satu pekerjaan yang sangat mulia. Manusia-manusia yang paling utama di sepanjang sejarah, yaitu para nabi dan rasul, selalu tampil memikul tugas dakwah. Mereka menyeru manusia kepada Allah SWT, mengeluarkan mereka dari kejahilan yang gelap gulita kepada Islam yang penuh cahaya, dan menyelamatkannya dari jurang api neraka. Pekerjaan yang hebat ini diteruskan oleh para dai yang mengikuti jejak langkah para nabi dan rasul serta tabi’in.
Alquran dan Sunah menyebutkan keutamaan orang-orang yang berdakwah ke jalan Allah. Seruan mereka dalam mengajak manusia kepada petunjuk disebut di dalam Alquran sebagai sebaik-baik perkataan/ahsanu qawlan (QS Fusilat: 33).Dalam Hadits juga disebutkan tentang besarnya pahala bagi mereka yang berdakwah. Sahl bin Saad RAberkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada Ali radhiyallahu ‘anhu , ‘Demi Allah, jika satu orang mendapat petunjuk Allah melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik bagimu daripada unta yang merah.’" (HR Bukhari-Muslim). Pada zaman itu, unta merah merupakan unta yang paling mahal, yang hanya dimiliki oleh orang-orang kaya.
Untuk menjadi seorang dai sejati, tidak cukup bagi seseorang hanya dengan menguasai beberapa ayat Alquran dan hafal beberapa Hadits serta punya kemampuan berceramah. Dibutuhkan kearifan dalam menyampaikan pesan dakwah dan memahami betul substansi materi yang akan disampaikan kepada jamaahnya karena perilaku dan keteladanan seorang mungkin memiliki nilai dakwah yang jauh lebih efektif dan berarti bagi pengikutnya.
Sebagaimana dalam sebuah riwayat, Tufail bin Ubay bin Kaab pernah merasa heran terhadap Ibn Umar RA karena kebiasaannya pergi ke pasar, tapi tidak membeli atau menawar apa pun. Ia bertanya, "Apa tujuan anda ke pasar, sementara anda tidak menjual sesuatu, tidak menanyakan barang, tidak menawarkan harga, dan tidak pula duduk bersama mereka ...?" Maka Ibn Umar menjawab, "Wahai Abu Batn (panggilan persahabatan untuk Ubay yang memiliki perut agak besar) kita pergi ke pasar untuk memberi salam kepada siapa pun yang kita temui." (HR Malik dalam al-Muwaththa’ )
Ada beberapa karakteristik yang perlu dipahami dan diamalkan oleh seorang dai.
Pertama, niat ikhlas karena Allah, dan terhindar dari penyakit cinta dunia. Ikhlas ini merupakan syarat diterimanya amal serta lebih menjamin hasil dari amal tersebut. Jangan sampai para dai dihinggapi penyakit ria serta motif-motif duniawi dalam aktivitas dakwahnya karena semua itu akan menimbulkan kerusakan pada dirinya dan menghilangkan kemampuannya dalam amar makruf nahi munkar . Imam al-Ghazali pernah mengatakan:
"Barangsiapa yang dikuasai oleh penyakit cinta dunia, maka ia tidak akan mampu melakukan hisbah (dakwah), kepada orang awam, apalagi terhadap para penguasa dan pembesar".
Kedua, cinta dan menginginkan kebaikan bagi manusia. Dorongan utama yang menggerakkan seseorang dalam berdakwah semestinya dorongan kasih sayang dan cinta, bukan dorongan benci, kemarahan, serta semangat menghujat dan menghukum. Sifat ini kita jumpai pada diri Rasulullah SAW, sebagaimana yang disebutkan di dalam Alquran (QS At-Taubah: 128)"Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin."
Ketiga, memulai dari diri sendiri dan memberi teladan. Para dai perlu mengerjakan terlebih dahulu apa yang menjadi seruan dakwahnya. Karena jika tidak demikian, maka itu merupakan satu kelalaian diri serta berpotensi mendatangkan murka Allah (QS al-Baqarah: 44)
"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?"
Demikian pula ada ayat lain, yang Allah SWT memperingatkan kita sebagai orang yang beriman:
"Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (QS Assof: 2-3)
Selain itu, keteladanan (uswatun khasanah ) juga akan memberi pengaruh yang jauh lebih besar dalam dakwah dibandingkan ucapan lisan (mauidhah khasanah ). Betapa sering manusia belajar dan berubah hanya dengan menyaksikan teladan orang lain, bukan disebabkan oleh khutbah dan nasihatnya.Keempat , sabar dalam berdakwah. Dakwah tidak mungkin berhasil tanpa kesabaran karena jalan ke akhirat itu berat dan kebanyakan manusia cenderung tidak menyukai bahkan cenderung memusuhi apa yang menjadi seruan dakwah itu."Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, jikalau kami sanggup niscaya kami berangkat bersamamu. Mereka membinasakan diri sendiri, dan Allah mengetahui bahwa mereka benar-benar orang-orang yang berdusta." (QS at-Taubah: 42)
Begitulah kita membaca hebatnya tantangan yang dihadapi para nabi. Mereka dituduh tukang sihir, orang gila, dianiaya, bahkan dikejar-kejar dan dibunuh. Padahal, mereka tidak menghendaki apa pun dari orang-orang kecuali agar mereka masuk surga. Tanpa kesabaran, maka dakwah tidak akan membuahkan hasil.
Kelima, lemah lembut. Dakwah perlu dimulai dari hati karena apa yang datang dari hati akan sampai kepada hati. Jika dakwah sampai kepada hati, maka hati itu akan terbuka untuk menerima nasihat dan petunjuk. Adapun esensi dari dakwah hati ini adalah kelemahlembutan. Begitu pentingnya kelembutan dalam berdakwah sehingga dalam menghadapi Fir’aun yang mengaku Tuhan pun, Nabi Musa diperintahkan oleh Allah SWT untuk berkata-kata lembut kepadanya (qaulan layyinan ).
Keenam, memahami metode dakwah serta orang-orang yang didakwahi. Kadang seorang cukup diingatkan dengan isyarat atau contoh yang baik, tetapi mungkin ada juga orang yang lainnya perlu diskusi dan berargumentasi dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan firman Allah:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS An-Nahel: 125)
Ketujuh, permudah dan jangan mempersulit. Dalam berdakwah hendaknya mempermudah dan tidak mempersulit orang yang didakwahi. Tentunya semua ini dalam batasan syari, bukan mempermudah dalam arti menggampangkan hingga jatuh ke dalam perkara yang haram. Jangan jadikan agama sesuatu yang berbelit-belit seperti birokrasi pemerintahan sehingga membuat orang-orang lelah dan kehilangan kecintaan dan semangat dalam menjalankan agama. Jika manusia merasakan agama sebagai sesuatu yang mudah, ia akan mencintainya. Dan, jika ia sudah mencintainya, maka seluruh perkara agama akan dirasakan sebagai hal yang mudah.
Kedelapan, beri kabar gembira dan jangan buat manusia ketakutan dan lari khususnya pada tahap-tahap awal. Hal ini masih ada kaitan dengan poin sebelumnya. Hendaknya para dai menampakkan keindahan Islam dan membimbing manusia untuk menemukan kebahagiaan di dalamnya. Bukan sebaliknya, menampakkan wajah Islam yang menakutkan sehingga akhirnya manusia lari menjauh.
Anas bin Malik RA berkata, "Rasulullah SAW bersabda, ‘Permudahlah jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat manusia lari menjauh.’" (HR Bukhari)
Demikianlah beberapa karakteristik yang semestinya dimiliki oleh para dai di jalan Allah. Karakteristik ini insya Allah akan membantu keberhasilan mereka dalam menyeru manusia kepada kebenaran dan kebaikan. Semoga bermanfaat.
CUKUP memprihatinkan apa yang terjadi akhir-akhir ini ketika bangsa Indonesia mengadakan hajatan demokrasi dengan melaksanakan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (pileg), namun harus membayar dengan biaya yang sangat besar, baik dari sisi dana maupun banyaknya korban petugas pemilu yang meninggal. Belum lagi masyarakat yang terpecah sesuai dengan pilihan politik masing-masing yang terbawa sampai saat ini. Sebenarnya wajar saja setiap individu memiliki pilihan yang diyakini akan membawa kebaikan bagi nasib bangsa ini di masa depan. Tetapi, ketika perbedaan pilihan sampai mengarah ke perpecahan bangsa dan umat itu sesuatu yang sangat disayangkan.Kewajiban setiap pemimpin dalam masyarakat, apakah dia pimpinan partai, pimpinan pemerintahan, atau tokoh agama dan para dai untuk memberikan nasihat serta pengertian agar keretakan bangsa ini bisa direkatkan kembali. Asalkan penyebab terjadi perpecahan ini diselesaikan dengan kejujuran serta keadilan, niscaya hasil akhir bisa diterima dan disepakati bersama.
Di sini peran tokoh agama khususnya para dai sangat penting. Karena itu, diperlukan dai dengan karakteristik yang bisa membuat umat kembali rukun, kuat, dan saling menolong serta melihat kebaikan pada saudaranya, bukan justru melihat keburukan yang akan merenggangkan persatuan dan silaturahmi khususnya di bulan suci Ramadan.
Dakwah di jalan Allah merupakan satu pekerjaan yang sangat mulia. Manusia-manusia yang paling utama di sepanjang sejarah, yaitu para nabi dan rasul, selalu tampil memikul tugas dakwah. Mereka menyeru manusia kepada Allah SWT, mengeluarkan mereka dari kejahilan yang gelap gulita kepada Islam yang penuh cahaya, dan menyelamatkannya dari jurang api neraka. Pekerjaan yang hebat ini diteruskan oleh para dai yang mengikuti jejak langkah para nabi dan rasul serta tabi’in.
Alquran dan Sunah menyebutkan keutamaan orang-orang yang berdakwah ke jalan Allah. Seruan mereka dalam mengajak manusia kepada petunjuk disebut di dalam Alquran sebagai sebaik-baik perkataan/ahsanu qawlan (QS Fusilat: 33).Dalam Hadits juga disebutkan tentang besarnya pahala bagi mereka yang berdakwah. Sahl bin Saad RAberkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada Ali radhiyallahu ‘anhu , ‘Demi Allah, jika satu orang mendapat petunjuk Allah melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik bagimu daripada unta yang merah.’" (HR Bukhari-Muslim). Pada zaman itu, unta merah merupakan unta yang paling mahal, yang hanya dimiliki oleh orang-orang kaya.
Untuk menjadi seorang dai sejati, tidak cukup bagi seseorang hanya dengan menguasai beberapa ayat Alquran dan hafal beberapa Hadits serta punya kemampuan berceramah. Dibutuhkan kearifan dalam menyampaikan pesan dakwah dan memahami betul substansi materi yang akan disampaikan kepada jamaahnya karena perilaku dan keteladanan seorang mungkin memiliki nilai dakwah yang jauh lebih efektif dan berarti bagi pengikutnya.
Sebagaimana dalam sebuah riwayat, Tufail bin Ubay bin Kaab pernah merasa heran terhadap Ibn Umar RA karena kebiasaannya pergi ke pasar, tapi tidak membeli atau menawar apa pun. Ia bertanya, "Apa tujuan anda ke pasar, sementara anda tidak menjual sesuatu, tidak menanyakan barang, tidak menawarkan harga, dan tidak pula duduk bersama mereka ...?" Maka Ibn Umar menjawab, "Wahai Abu Batn (panggilan persahabatan untuk Ubay yang memiliki perut agak besar) kita pergi ke pasar untuk memberi salam kepada siapa pun yang kita temui." (HR Malik dalam al-Muwaththa’ )
Ada beberapa karakteristik yang perlu dipahami dan diamalkan oleh seorang dai.
Pertama, niat ikhlas karena Allah, dan terhindar dari penyakit cinta dunia. Ikhlas ini merupakan syarat diterimanya amal serta lebih menjamin hasil dari amal tersebut. Jangan sampai para dai dihinggapi penyakit ria serta motif-motif duniawi dalam aktivitas dakwahnya karena semua itu akan menimbulkan kerusakan pada dirinya dan menghilangkan kemampuannya dalam amar makruf nahi munkar . Imam al-Ghazali pernah mengatakan:
"Barangsiapa yang dikuasai oleh penyakit cinta dunia, maka ia tidak akan mampu melakukan hisbah (dakwah), kepada orang awam, apalagi terhadap para penguasa dan pembesar".
Kedua, cinta dan menginginkan kebaikan bagi manusia. Dorongan utama yang menggerakkan seseorang dalam berdakwah semestinya dorongan kasih sayang dan cinta, bukan dorongan benci, kemarahan, serta semangat menghujat dan menghukum. Sifat ini kita jumpai pada diri Rasulullah SAW, sebagaimana yang disebutkan di dalam Alquran (QS At-Taubah: 128)"Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin."
Ketiga, memulai dari diri sendiri dan memberi teladan. Para dai perlu mengerjakan terlebih dahulu apa yang menjadi seruan dakwahnya. Karena jika tidak demikian, maka itu merupakan satu kelalaian diri serta berpotensi mendatangkan murka Allah (QS al-Baqarah: 44)
"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?"
Demikian pula ada ayat lain, yang Allah SWT memperingatkan kita sebagai orang yang beriman:
"Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (QS Assof: 2-3)
Selain itu, keteladanan (uswatun khasanah ) juga akan memberi pengaruh yang jauh lebih besar dalam dakwah dibandingkan ucapan lisan (mauidhah khasanah ). Betapa sering manusia belajar dan berubah hanya dengan menyaksikan teladan orang lain, bukan disebabkan oleh khutbah dan nasihatnya.Keempat , sabar dalam berdakwah. Dakwah tidak mungkin berhasil tanpa kesabaran karena jalan ke akhirat itu berat dan kebanyakan manusia cenderung tidak menyukai bahkan cenderung memusuhi apa yang menjadi seruan dakwah itu."Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, jikalau kami sanggup niscaya kami berangkat bersamamu. Mereka membinasakan diri sendiri, dan Allah mengetahui bahwa mereka benar-benar orang-orang yang berdusta." (QS at-Taubah: 42)
Begitulah kita membaca hebatnya tantangan yang dihadapi para nabi. Mereka dituduh tukang sihir, orang gila, dianiaya, bahkan dikejar-kejar dan dibunuh. Padahal, mereka tidak menghendaki apa pun dari orang-orang kecuali agar mereka masuk surga. Tanpa kesabaran, maka dakwah tidak akan membuahkan hasil.
Kelima, lemah lembut. Dakwah perlu dimulai dari hati karena apa yang datang dari hati akan sampai kepada hati. Jika dakwah sampai kepada hati, maka hati itu akan terbuka untuk menerima nasihat dan petunjuk. Adapun esensi dari dakwah hati ini adalah kelemahlembutan. Begitu pentingnya kelembutan dalam berdakwah sehingga dalam menghadapi Fir’aun yang mengaku Tuhan pun, Nabi Musa diperintahkan oleh Allah SWT untuk berkata-kata lembut kepadanya (qaulan layyinan ).
Keenam, memahami metode dakwah serta orang-orang yang didakwahi. Kadang seorang cukup diingatkan dengan isyarat atau contoh yang baik, tetapi mungkin ada juga orang yang lainnya perlu diskusi dan berargumentasi dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan firman Allah:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS An-Nahel: 125)
Ketujuh, permudah dan jangan mempersulit. Dalam berdakwah hendaknya mempermudah dan tidak mempersulit orang yang didakwahi. Tentunya semua ini dalam batasan syari, bukan mempermudah dalam arti menggampangkan hingga jatuh ke dalam perkara yang haram. Jangan jadikan agama sesuatu yang berbelit-belit seperti birokrasi pemerintahan sehingga membuat orang-orang lelah dan kehilangan kecintaan dan semangat dalam menjalankan agama. Jika manusia merasakan agama sebagai sesuatu yang mudah, ia akan mencintainya. Dan, jika ia sudah mencintainya, maka seluruh perkara agama akan dirasakan sebagai hal yang mudah.
Kedelapan, beri kabar gembira dan jangan buat manusia ketakutan dan lari khususnya pada tahap-tahap awal. Hal ini masih ada kaitan dengan poin sebelumnya. Hendaknya para dai menampakkan keindahan Islam dan membimbing manusia untuk menemukan kebahagiaan di dalamnya. Bukan sebaliknya, menampakkan wajah Islam yang menakutkan sehingga akhirnya manusia lari menjauh.
Anas bin Malik RA berkata, "Rasulullah SAW bersabda, ‘Permudahlah jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat manusia lari menjauh.’" (HR Bukhari)
Demikianlah beberapa karakteristik yang semestinya dimiliki oleh para dai di jalan Allah. Karakteristik ini insya Allah akan membantu keberhasilan mereka dalam menyeru manusia kepada kebenaran dan kebaikan. Semoga bermanfaat.
(mhd)