Kapitalisme Ramadhan

Rabu, 08 Mei 2019 - 04:33 WIB
Kapitalisme Ramadhan
Kapitalisme Ramadhan
A A A
Asrudin Azwar

Peneliti, Pendiri The Asrudian Center

RUMAH mode Chanel pernah menggelar peragaan busana monumental di Kuba, negeri komunis yang masih tersisa. Dalam pagelaran tersebut, Direktur Kreatif Chanel Karl Lagersfeld mewujudkan fantasinya dengan menghadirkan busana koleksi resor atau cruise collection 2017.

Apa yang menarik dari pagelaran tersebut adalah dimunculkannya topi baret dari tokoh komunis dan revolusi Kuba, Ernesto Che Guevara, yang sangat populer dan mendunia. Itu artinya, industri gaya hidup yang menjadi bagian dari kapitalisme sangat cerdik dalam memanfaatkan normalisasi hubungan internasional Kuba yang komunis dengan Barat (Amerika) yang kapitalis, dan menjadikan komunisme bukan sebagai lawan ideologi, tetapi sebagai komoditas yang bisa menguntungkan secara ekonomi. Pagelaran busana di negeri komunisme Kuba ini bisa dijadikan contoh penting untuk menunjukkan inovasi dan fleksibilitas kapitalisme.

Mungkin itulah yang membuat prediksi Karl Marx, mahaguru teoretisi produksi, tak kunjung menjadi kenyataan bahwa kapitalisme akan menemui ajalnya. Kapitalisme malahan terus berkembang biak, melebarkan sayapnya ke berbagai negeri yang memiliki ideologi berbeda.

Terkait dengan itu, kapitalisme melalui berbagai sistem yang dibangunnya juga berhasil menancapkan pengaruhnya dalam benak masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah muslim. Hal itu bisa dilihat dari perilaku konsumtif masyarakat muslim Indonesia tiap kali memasuki puasa Ramadan dan saat Lebaran tiba. Bulan puasa Ramadan yang semestinya menjadi sesuatu yang suci untuk diisi oleh ibadah dan pengendalian diri, justru dikotori oleh perilaku konsumtif. Puasa Ramadan dan Lebaran dalam kacamata kapitalisme kemudian dikerdilkan maknanya, sebatas hanya untuk memuaskan hasrat gaya hidup dengan membeli baju baru, cat rumah baru, dan semua produk kebendaan lainnya yang membuat manusia menjadi konsumtif dan teralienasi.

Menjadi Konsumtif

Suka atau tidak, kapitalisme telah mengarahkan hidup manusia sedemikian rupa. Demi meraup keuntungan besar, kapitalisme membangun sistem di mana manusia dapat menjadi terhipnotis dibuatnya. Ini bisa kita lihat dari invasi produk kapitalisme dalam mengubah gaya hidup masyarakat. Akibat dari invasi itu, kata Jean Baudrillard dalam bukunya La Société de consommation (1970), masyarakat pun menjadi konsumtif. Kini orang membeli barang bukan atas dasar nilai kemanfaatannya namun karena gaya hidup, demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat radio, televisi, dan media sosial. Padahal yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, tapi citra dan gaya pemakainya. Tidak penting apakah barang itu berguna atau tidak oleh konsumen. Masyarakat digiring untuk tidak pernah merasa puas, boros uang dan mengonsumsi tanpa henti.

Merujuk pada pandangan Baudrillard, perilaku konsumsi masyarakat muslim di Indonesia saat puasa Ramadan juga demikian. Ibadah puasa Ramadan dari tahun ke tahun telah menjadi komoditas industri. Berbagai industri media, terutama televisi, dengan dukungan industri hiburan, berpacu memanfaatkan momentum puasa Ramadan untuk menayangkan aneka program hiburan, mulai dari iklan produk, infotainment , sinetron, ceramah, kuis, dan banyak lagi lainnya. Semuanya dikemas dengan tema puasa Ramadan. Padahal jika diamati secara serius, tidak semua produk yang ditawarkan dalam aneka program hiburan tersebut memiliki keterkaitan langsung dengan substansi ibadah puasa Ramadan. Di sini, Ramadan telah menjadi bulannya bisnis para produsen (kapitalis). Sementara masyarakat menjadi sangat konsumtif dibuatnya.

Faktanya bisa dilihat dalam data statistik. Data BPS tahun lalu (kuartal II 2018) yang terbit pada Agustus, menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,27% (year-on-year ). Capaian tersebut lebih tinggi ketimbang pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu, yakni 5,01 persen (year-on-year ). Sumber pertumbuhannya berasal dari konsumsi rumah tangga. BPS mengumumkan bahwa konsumsi rumah tangga tumbuh 5,14% (year-on-year ) pada kuartal II 2018. Dalam struktur PDB (produk domestik bruto), konsumsi rumah tangga memiliki bobot kontribusi terbesar, yakni mencapai 55,43%. Lebih tinggi dari konsumsi pemerintah yang tercatat tumbuh hanya 5,26% dengan bobot kontribusi 8,5%. Menariknya pertumbuhan pada konsumsi rumah tangga itu terjadi saat bulan Ramadan dan oleh cairnya THR bagi PNS.

Pada 2019 ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga memprediksi bahwa menjelang Ramadan hingga hari raya Idul Fitri, tingkat konsumsi masyarakat akan meningkat. Ironisnya pemerintah yang justru mendorong masyarakat menjadi konsumtif saat puasa Ramadan sebagai cara untuk meningkatkan ekonomi nasional. Bahkan untuk menjaga terjadinya inflasi tetap berada di level terendah, pemerintah memutuskan untuk mencairkan gaji ke-13 dan rapel pegawai negeri sipil (PNS) secara bersamaan.

Menjadi Produktif

Terang saja, langkah pemerintah ini akan semakin mengerek konsumsi rumah tangga masyarakat lebih jauh lagi, ditambah dengan hipnotis aneka program hiburan Ramadan yang ditawarkan oleh para pelaku bisnis (kapitalis). Akibatnya, masyarakat pun menjadi sangat tidak produktif, karena konsumsi rumah tangga semakin membengkak angkanya. Masyarakat yang berpuasa kini menjadi kurang tertarik pada praktik ritualitas. Masyarakat lebih senang memenuhi hasrat atas berbagai kebutuhan yang tidak mendesak -fast food, fashion, electrical fashion , dan banyak lagi lainnya.

Untuk itu, agar masyarakat bisa menjadi produktif dan tidak berlebihan dalam berkonsumsi, mari jadikan puasa Ramadan ini--meminjam istilah Cak Nur--sebagai momentum untuk menunda kesenangan. Prinsip menunda kesenangan itu sebetulnya telah ditunjukkan oleh teladan Nabi di masa lalu. Saat berbuka, Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengonsumsi makanan secara berlebihan. Nabi hanya memakan tiga biji kurma dan segelas air putih, lalu segera berwudu untuk mengerjakan salat Magrib secara berjamaah.

Pada masa modern seperti sekarang ini, menurut Cak Nur, prinsip menunda kesenangan itu juga sangat penting diterapkan. Orang akan terlatih menjadi lebih sabar. Kebiasaan menabung, misalnya, juga bersumber dari kemampuan menunda kesenangan. Orang punya uang tidak dihabiskan sekarang juga, tapi ditabung; dan kalau menabungnya itu secara modern, artinya tidak di bawah bantal, tapi di bank, itu mempunyai efek produksi. Tidak perlu sampai menjadi konsumtif sebagaimana dianjurkan oleh pemerintah. Maka menunda kesenangan itu, tegas Cak Nur, adalah suatu praktik yang sangat produktif.

Dengan begitu, masyarakat diharapkan dapat mengurai kebutuhannya secara bijak dan cerdas. Tak lagi terjebak pada praktik konsumsi yang berlebihan. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan produktif dan selamat meraih kebahagiaan pada saat Lebaran tiba!
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6012 seconds (0.1#10.140)