Perekonomian Nasional Tumbuh 5,07% Kuartal I
A
A
A
Sepanjang tiga bulan awal tahun ini, pertumbuhan perekonomian nasional mencapai 5,07% atau terjadi kenaikan walaupun tipis dibanding periode yang sama tahun lalu yang tercatat 5,06%. Kontribusi terbesar dari pertumbuhan tersebut bersumber dari konsumsi rumah tangga yang mencapai 2,75% atau lebih besar dari periode yang sama tahun lalu sekitar 2,72%.
Selanjutnya, pertumbuhan disumbangkan oleh pembentukan modal tetap bruto atau investasi sekitar 1,65%, ekspor 1,16% dan konsumsi pemerintah sebesar 0,30%. Adapun pertumbuhan tertinggi dari sisi lapangan usaha ditempati jasa perusahaan sebesar 10,36%, lalu jasa lainnya sekitar 9,99% dan informasi komunikasi sebesar 9,03%.
Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diklaim Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih cukup baik, namun beberapa hal masih harus ditingkatkan, di antaranya sektor investasi. Pada triwulan pertama menjelang pemilihan umum, pemerintah menduga kalangan penanam modal terpengaruh sehingga cenderung menunda mengambil keputusan. Karena itu, pemerintah optimistis untuk triwulan berikutnya hingga akhir tahun arus investasi bisa berjalan lancar kembali, yang pada akhirnya berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Sebelumnya, sejumlah indikator menunjukkan pertumbuhan positif konsumsi rumah tangga, mulai pertumbuhan penjualan eceran yang menembus 8,10% pada kuartal pertama 2019, bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu, pertumbuhan penjualan eceran jauh lebih tinggi. Begitu pula nilai transaksi uang elektronik dan debet juga meningkat, hal itu menandakan daya beli masyarakat masih lebih bagus. Bantuan sosial dari pemerintah bertumbuh 166%, yang sudah pasti berpengaruh pada konsumsi rumah tangga. Selanjutnya, konsumsi pemerintah juga tumbuh sekitar 5,21% jauh dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya tumbuh sekitar 2,71%.
Walau terjadi pertumbuhan di sektor konsumsi, berbanding terbalik dengan sektor transportasi dan perhotelan. Pada kuartal pertama 2019, hotel hanya tumbuh sekitar 5,42%, padahal pada periode yang sama tahun lalu pertumbuhan mencapai 5,64%. Hal serupa juga terjadi pada transportasi dari 4,96% melambat menjadi 4,91%.
Dari data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional masih tetap didominasi Jawa dan Sumatera. Tercatat, di Jawa, ekonomi tumbuh 5,66% dengan share 59,03% dan di Sumatera ekonomi berkembang 4,55% dengan kontribusi 21,36% untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, terdapat beberapa daerah malah mengalami pertumbuhan negatif, di antaranya Maluku dan Papua yang mencatat minus 10,44%.
Sementara itu, masih mengutip data dari BPS, tercatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari lalu sebanyak 6,87 juta orang atau berada pada level 5,01% dari total angkatan kerja, bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu maka terjadi penurunan di mana sebelumnya tercatat 5,13%. Selain itu, angkatan kerja meningkat 2,24 juta orang menjadi 136,18 juta orang pada Februari 2019, dari sebelumnya sebanyak 133,94 juta orang pada Februari 2018. Jumlah angkatan kerja yang benar-benar bekerja mencapai 129,36 juta orang dan sisanya 6,82 juta orang masih berstatus pengangguran.
Bila mengutak-atik angka pengangguran, yang memprihatinkan adalah lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) justru mendominasi pengangguran. Lebih rinci, tingkat pengangguran berdasarkan pendidikan di level pertama bercokol lulusan SMK sebesar 8,63%, disusul lulusan diploma I/II/III 6,89%, diikuti lulusan SMA 6,78%, lulusan universitas sekitar 6,24%, serta lulusan SMP 5,04% dan tamatan SD sekitar 2,65%.
Tingkat pengangguran terbuka berdasarkan provinsi terbesar dipegang Jawa Barat dengan persentase 7,73% atau sekitar 527.186 orang. Salah satu kunci untuk mengoreksi angka pengangguran lebih kecil lagi adalah menaikkan angka pertumbuhan ekonomi nasional, yang bisa membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya.
Selanjutnya, pertumbuhan disumbangkan oleh pembentukan modal tetap bruto atau investasi sekitar 1,65%, ekspor 1,16% dan konsumsi pemerintah sebesar 0,30%. Adapun pertumbuhan tertinggi dari sisi lapangan usaha ditempati jasa perusahaan sebesar 10,36%, lalu jasa lainnya sekitar 9,99% dan informasi komunikasi sebesar 9,03%.
Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diklaim Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih cukup baik, namun beberapa hal masih harus ditingkatkan, di antaranya sektor investasi. Pada triwulan pertama menjelang pemilihan umum, pemerintah menduga kalangan penanam modal terpengaruh sehingga cenderung menunda mengambil keputusan. Karena itu, pemerintah optimistis untuk triwulan berikutnya hingga akhir tahun arus investasi bisa berjalan lancar kembali, yang pada akhirnya berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Sebelumnya, sejumlah indikator menunjukkan pertumbuhan positif konsumsi rumah tangga, mulai pertumbuhan penjualan eceran yang menembus 8,10% pada kuartal pertama 2019, bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu, pertumbuhan penjualan eceran jauh lebih tinggi. Begitu pula nilai transaksi uang elektronik dan debet juga meningkat, hal itu menandakan daya beli masyarakat masih lebih bagus. Bantuan sosial dari pemerintah bertumbuh 166%, yang sudah pasti berpengaruh pada konsumsi rumah tangga. Selanjutnya, konsumsi pemerintah juga tumbuh sekitar 5,21% jauh dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya tumbuh sekitar 2,71%.
Walau terjadi pertumbuhan di sektor konsumsi, berbanding terbalik dengan sektor transportasi dan perhotelan. Pada kuartal pertama 2019, hotel hanya tumbuh sekitar 5,42%, padahal pada periode yang sama tahun lalu pertumbuhan mencapai 5,64%. Hal serupa juga terjadi pada transportasi dari 4,96% melambat menjadi 4,91%.
Dari data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional masih tetap didominasi Jawa dan Sumatera. Tercatat, di Jawa, ekonomi tumbuh 5,66% dengan share 59,03% dan di Sumatera ekonomi berkembang 4,55% dengan kontribusi 21,36% untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, terdapat beberapa daerah malah mengalami pertumbuhan negatif, di antaranya Maluku dan Papua yang mencatat minus 10,44%.
Sementara itu, masih mengutip data dari BPS, tercatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari lalu sebanyak 6,87 juta orang atau berada pada level 5,01% dari total angkatan kerja, bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu maka terjadi penurunan di mana sebelumnya tercatat 5,13%. Selain itu, angkatan kerja meningkat 2,24 juta orang menjadi 136,18 juta orang pada Februari 2019, dari sebelumnya sebanyak 133,94 juta orang pada Februari 2018. Jumlah angkatan kerja yang benar-benar bekerja mencapai 129,36 juta orang dan sisanya 6,82 juta orang masih berstatus pengangguran.
Bila mengutak-atik angka pengangguran, yang memprihatinkan adalah lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) justru mendominasi pengangguran. Lebih rinci, tingkat pengangguran berdasarkan pendidikan di level pertama bercokol lulusan SMK sebesar 8,63%, disusul lulusan diploma I/II/III 6,89%, diikuti lulusan SMA 6,78%, lulusan universitas sekitar 6,24%, serta lulusan SMP 5,04% dan tamatan SD sekitar 2,65%.
Tingkat pengangguran terbuka berdasarkan provinsi terbesar dipegang Jawa Barat dengan persentase 7,73% atau sekitar 527.186 orang. Salah satu kunci untuk mengoreksi angka pengangguran lebih kecil lagi adalah menaikkan angka pertumbuhan ekonomi nasional, yang bisa membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya.
(nag)