Pemilu Sunyi Anggota DPD
A
A
A
Salah satu catatan terhadap penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019 ialah sunyi dan senyapnya gaung pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bahkan dapat dikatakan bahwa pemilu anggota DPD nyaris tidak ada gaung dan jauh dari gegap gempita publik. Celakanya, kondisi sunyi ini merata di setiap provinsi yang menjadi daerah pemilihanan Pemilu anggota DPD.
Secara konstitusional, pemilu anggota DPD diatur dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), jumlah anggota DPD setiap provinsinya adalah empat orang. Artinya, dalam setiap kali pemilu anggota DPD yang memunculkan banyak calon, hanya akan ada empat orang yang lolos untuk dapat menjadi anggota DPD. Dari 34 provinsi di Indonesia yang ada saat ini, akan memunculkan 136 anggota DPD periode 2019-2024.
Pertanyaannya, mengapa pemilu anggota DPD dapat dikatakan sunyi-senyap? Pertama , efek pemilu serentak yang dilaksanakan pertama kali dalam sejarah menjadi salah satu penyebab. Fokus perhatian masyarakat banyak yang tertuju pada pertarungan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres). Hal ini dapat kita lihat dari tingkat partisipasi pemilih kemarin, di mana tingkat partisipasi pilpres lebih besar dibandingkan dengan pemilu legislatif (pileg).
Perdebatan di ruang publik pun lebih banyak menyoroti pilpres dibandingkan dengan pileg. Di sisi lain, dalam pileg sendiri terjadi "benturan" dan perebutan perhatian antara pemilu anggota DPD dengan pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Faktanya, pemilu DPD "kalah pamor" sekaligus "kalah tenaga". Dalam Pemilu DPR dan DPRD mesin partai poitik (parpol) bergerak, sedangkan pemilu anggota DPD yang gerak adalah calon yang bersangkutan.
Kedua , ini juga karena faktor kinerja DPD yang dianggap masih abu-abu. Kehadiran lembaga DPD masih belum dapat dirasakan secara nyata di level masyarakat. Survei akhir 2018 yang dilakukan oleh Paguyuban Cinta Bangsa (Paciba) Research Center bahkan mengungkapkan sebanyak 70% warga Jawa Barat rupanya masih belum tahu fungsi atau peran anggota DPD.
Fakta lain justru diungkap sendiri oleh para peserta pemilu anggota DPD bahwa ketika mereka turun kampanye ke daerah pemilihan (dapil), masyarakat banyak yang belum tahu apa tugas DPD beserta perbedaannya dengan DPR. Di sisi lain terdapat "persaingan" dalam hal keterwakilan antara DPD dengan penyelenggara pemerintah daerah yang direpresentasikan oleh kepala daerah dan DP
Evaluasi Kampanye
Ketiga , minimnya ruang kampanye bagi calon anggota DPD. Yang selama ini terjadi, kampanye dilakukan hanya dengan memasang baliho, dan tidak ada kampanye terbuka semacam konvensi rakyat. Padahal, wilayah kampanye untuk anggota DPD ini adalah satu wilayah provinsi sehingga seharusnya model kampanyenya dapat memanfaatkan ruang publik besar yang dapat digunakan untuk berdiskusi dan berdialog dengan rakyat antardaerah dalam satu wilayah provinsi.
Model kampanye pemilu anggota DPD ini harus dievaluasi dan ke depan perlu dihadirkan formula kampanye yang dapat menjangkau secara luas. Selain itu, perlu juga untuk dihadirkan forum debat antaranggota DPD berkaitan dengan visi-misi mereka dalam mewakili daerah. Terlebih, rata-rata yang maju menjadi anggota DPD adalah putra daerah atau mereka yang dikenal sebagai tokoh di daerah tersebut. Tentu masyarakat membutuhkan gagasan besar mereka sebagai wakil daerah.
Agenda Besar
Terlepas bahwa penyelenggaraan pemilu anggota DPD memiliki catatan bahwa pemilu 2019 ini merupakan momentum untuk menyusun agenda besar masa depan kelembagaan DPD. Terhadap calon terpilih, ada tugas menanti yaitu memperkuat peran sekaligus menegakkan marwah kelembagaan DPD.
Secara konstitusional, anggota DPD adalah wakil daerah (regional representation ) yang hanya akan secara murni menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya. Anggota DPD terpilih memiliki legitimasi yang kuat sebagai perwakilan langsung dari suatu wilayah yang dapat berkontribusi untuk kemajuan demokrasi di Indonesia. Sebagai representasi rakyat yang menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya, tentu anggota DPD harus proaktif menjaring aspirasi masyarakat di daerah.
Penjaringan aspirasi tersebut dilakukan dalam rangka memberikan sarana partisipasi rakyat untuk merumuskan kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan persoalan daerah. Hal ini sejalan dengan gagasan pembentukan lembaga DPD sebagai alat representasi sekaligus sebagai salah satu mesin untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat yang berada di daerah.
Selain itu, anggota DPD terpilih juga diharapkan mampu menjadi perekat yang akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam rumah besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari sisi kewenangan, anggota DPD dapat mengoptimalkan kinerja lembaga perwakilan di Indonesia melalui fungsi legislasi DPD yang diterjemahkan melalui peran untuk mengajukan, membahas, dan memberi pertimbangan atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan daerah.
Secara konstitusional, pemilu anggota DPD diatur dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), jumlah anggota DPD setiap provinsinya adalah empat orang. Artinya, dalam setiap kali pemilu anggota DPD yang memunculkan banyak calon, hanya akan ada empat orang yang lolos untuk dapat menjadi anggota DPD. Dari 34 provinsi di Indonesia yang ada saat ini, akan memunculkan 136 anggota DPD periode 2019-2024.
Pertanyaannya, mengapa pemilu anggota DPD dapat dikatakan sunyi-senyap? Pertama , efek pemilu serentak yang dilaksanakan pertama kali dalam sejarah menjadi salah satu penyebab. Fokus perhatian masyarakat banyak yang tertuju pada pertarungan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres). Hal ini dapat kita lihat dari tingkat partisipasi pemilih kemarin, di mana tingkat partisipasi pilpres lebih besar dibandingkan dengan pemilu legislatif (pileg).
Perdebatan di ruang publik pun lebih banyak menyoroti pilpres dibandingkan dengan pileg. Di sisi lain, dalam pileg sendiri terjadi "benturan" dan perebutan perhatian antara pemilu anggota DPD dengan pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Faktanya, pemilu DPD "kalah pamor" sekaligus "kalah tenaga". Dalam Pemilu DPR dan DPRD mesin partai poitik (parpol) bergerak, sedangkan pemilu anggota DPD yang gerak adalah calon yang bersangkutan.
Kedua , ini juga karena faktor kinerja DPD yang dianggap masih abu-abu. Kehadiran lembaga DPD masih belum dapat dirasakan secara nyata di level masyarakat. Survei akhir 2018 yang dilakukan oleh Paguyuban Cinta Bangsa (Paciba) Research Center bahkan mengungkapkan sebanyak 70% warga Jawa Barat rupanya masih belum tahu fungsi atau peran anggota DPD.
Fakta lain justru diungkap sendiri oleh para peserta pemilu anggota DPD bahwa ketika mereka turun kampanye ke daerah pemilihan (dapil), masyarakat banyak yang belum tahu apa tugas DPD beserta perbedaannya dengan DPR. Di sisi lain terdapat "persaingan" dalam hal keterwakilan antara DPD dengan penyelenggara pemerintah daerah yang direpresentasikan oleh kepala daerah dan DP
Evaluasi Kampanye
Ketiga , minimnya ruang kampanye bagi calon anggota DPD. Yang selama ini terjadi, kampanye dilakukan hanya dengan memasang baliho, dan tidak ada kampanye terbuka semacam konvensi rakyat. Padahal, wilayah kampanye untuk anggota DPD ini adalah satu wilayah provinsi sehingga seharusnya model kampanyenya dapat memanfaatkan ruang publik besar yang dapat digunakan untuk berdiskusi dan berdialog dengan rakyat antardaerah dalam satu wilayah provinsi.
Model kampanye pemilu anggota DPD ini harus dievaluasi dan ke depan perlu dihadirkan formula kampanye yang dapat menjangkau secara luas. Selain itu, perlu juga untuk dihadirkan forum debat antaranggota DPD berkaitan dengan visi-misi mereka dalam mewakili daerah. Terlebih, rata-rata yang maju menjadi anggota DPD adalah putra daerah atau mereka yang dikenal sebagai tokoh di daerah tersebut. Tentu masyarakat membutuhkan gagasan besar mereka sebagai wakil daerah.
Agenda Besar
Terlepas bahwa penyelenggaraan pemilu anggota DPD memiliki catatan bahwa pemilu 2019 ini merupakan momentum untuk menyusun agenda besar masa depan kelembagaan DPD. Terhadap calon terpilih, ada tugas menanti yaitu memperkuat peran sekaligus menegakkan marwah kelembagaan DPD.
Secara konstitusional, anggota DPD adalah wakil daerah (regional representation ) yang hanya akan secara murni menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya. Anggota DPD terpilih memiliki legitimasi yang kuat sebagai perwakilan langsung dari suatu wilayah yang dapat berkontribusi untuk kemajuan demokrasi di Indonesia. Sebagai representasi rakyat yang menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya, tentu anggota DPD harus proaktif menjaring aspirasi masyarakat di daerah.
Penjaringan aspirasi tersebut dilakukan dalam rangka memberikan sarana partisipasi rakyat untuk merumuskan kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan persoalan daerah. Hal ini sejalan dengan gagasan pembentukan lembaga DPD sebagai alat representasi sekaligus sebagai salah satu mesin untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat yang berada di daerah.
Selain itu, anggota DPD terpilih juga diharapkan mampu menjadi perekat yang akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam rumah besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari sisi kewenangan, anggota DPD dapat mengoptimalkan kinerja lembaga perwakilan di Indonesia melalui fungsi legislasi DPD yang diterjemahkan melalui peran untuk mengajukan, membahas, dan memberi pertimbangan atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan daerah.
(nag)