Catatan Pelaksanaan Pemilu Serentak

Kamis, 25 April 2019 - 08:15 WIB
Catatan Pelaksanaan Pemilu Serentak
Catatan Pelaksanaan Pemilu Serentak
A A A
Arif Nurul Imam
Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting

PEMILU serentak yang digelar pada 17 April 2019 ternyata menyisakan sejumlah peristiwa yang layak menjadi catatan kritis sebagai bahan evaluasi ke depan. Perhelatan demokrasi yang melibatkan 190 juta pemilih, 805.000 tempat pemungutan suara (TPS), dan melibatkan 6 juta petugas pemungutan suara ini merupakan pertama kali dalam sejarah pemilu di Indonesia.

Karena itu, tidak mengherankan jika banyak pihak menilai merupakan pemilu paling rumit di dunia. Pada awalnya, pemilu serentak bertujuan, antara lain, untuk melakukan efisiensi anggaran namun ternyata sejumlah peristiwa gugurnya para “pejuang demokrasi” dalam menjalankan tugas menjadikan pemilu kali ini sebagai pemilu yang paling banyak merenggut korban jiwa sepanjang sejarah.

Catatan Kritis

Sebagai pengalaman pertama dalam pelaksanaan pemilu serentak tentu menyisakan sejumlah persoalan. Setidaknya, ada beberapa catatan kritis atas pelaksanaan perhelatan demokrasi 17 April kemarin. Ada tiga permasalahan yang ke depan harus menjadi perhatian serius.

Pertama, proses pelaksanaan pemungutan suara membutuhkan durasi waktu terlalu panjang. Dengan lima kartu suara yang mesti dicoblos, sejak proses pendaftaran, pemungutan suara, penghitungan, hingga rekapitulasi membutuhkan waktu paling sedikit 24 jam, bahkan ada TPS yang baru selesai hingga 36 jam. Artinya, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), pengawas, dan aparat keamanan harus bekerja melebihi kemampuan tubuh manusia mengikuti proses pemungutan suara hingga usai.

Jam kerja panjang dan tanpa jeda ini pada gilirannya berdampak terhadap menurunnya daya tahan tubuh, selain hilangnya konsentrasi para petugas pemungutan suara, pengawas, serta aparat keamanan. Akibatnya, faktor kelelahan sehingga ada banyak petugas yang kemudian berujung sakit, stres, bahkan meninggal dunia.

Hingga artikel ini ditulis, setidaknya terdapat 119 petugas KPPS yang gugur serta sebanyak 548 menderita sakit. Sementara dari unsur Bawaslu, ada 33 anggota pengawas pemilu gugur saat bertugas. Di samping itu, sejumlah anggota panwas lain jatuh sakit dan mengalami kecelakaan. Sementara dari unsur aparat keamanan, sebanyak 15 anggota Polri gugur saat bertugas mengawal logistik dan menjaga keamanan pemilu.

Kedua, pemilu serentak juga berdampak terhadap kesenjangan diskursus publik. Dikatakan demikian karena pemilihan presiden (pilpres) lebih menjadi sorotan dan dominan jadi diskursus publik. Akibatnya, diskursus publik mengenai pemilihan legislatif (pileg) seolah-olah hilang dan tenggelam oleh diskursus atau isu-isu pilpres.

Kondisi ini terjadi hampir di semua kalangan, tidak hanya di elite politik dan kelas menengah, melainkan hingga masyarakat kecil. Mayoritas publik lebih fokus dan tertarik membicarakan pilpres, sementara pileg hampir jarang dijadikan topik perbincangan politik. Fenomena ini sangat terlihat jika kita simak tema-tema perbincangan politik secara dominan lebih menyoroti pilpres sehingga tanpa disadari menihilkan hajatan pileg.

Padahal, secara faktual pemilu serentak merupakan pemilu yang tidak hanya memilih calon presiden dan wakil presiden, juga memilih caleg DPR RI, caleg DPR provinsi, caleg DPRD kabupaten/kota, dan calon anggota DPD RI.

Memberikan dukungan kepada calon anggota legislatif merupakan bentuk menitipkan mandat, bukan sekadar memberi cek kosong. Itu sebabnya, sebelum menitipkan mandat, seharusnya pemilih harus paham profil sosok yang layak mewakili, misalnya perihal rekam jejak, visi-misi, dan tawaran program kerja.

Ketiga, kurang profesionalnya secara teknis dalam pelaksanaan sehingga menimbulkan kesan semrawut. Persoalan teknis seperti pelaksanaan pemungutan suara ditunda karena kekurangan logistik akibat keterlambatan pengiriman, kartu suara sudah tercoblos seperti yang terjadi di Selangor, Malaysia, dan salah input data berdampak menurunnya kepercayaan publik dan para kontestan pemilu terhadap penyelenggara pemilu.

Sebab, menurut Ramlan Surbakti, indikator penilaian terhadap integritas pemilu tidak hanya berfokus pada profesionalitas penyelenggara, melainkan juga menyoroti perilaku para kompetitor. Di level kontestan parpol dan caleg, misalnya terjadi pembakaran kotak suara oleh caleg seperti di Jambi dan tuntutan digelar pemungutan suara ulang terjadi di beberapa daerah seperti di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, lantaran mereka menilai terjadi kecurangan (SINDONEWS.Com, 23/4/2019).

Meski hanya permasalahan teknis, persoalan demikian tak boleh diabaikan dan perlu menjadi perhatian secara serius. Hal ini karena, meski tidak ada niat atau iktikad melakukan kecurangan, kesemrawutan dan permasalahan teknis demikian bisa menurunkan kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu. Sebab, apabila kepercayaan publik terhadap integritas pemilu sudah pudar, kondisi yang terjadi tentu saja kegaduhan politik, baik di level vertikal maupun horizontal.

Mengingat ini merupakan pengalaman pemilu serentak pertama dan melibatkan pemilih yang begitu besar, tentu kita memaklumi kekurangan pelaksanaan secara teknis tersebut. Tentu memaklumi dalam arti sepanjang kekurangan pelaksanaan teknis tersebut tidak menjadi celah untuk menabrak prinsip terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil.

Perbaikan Sistem

Joseph Schumpeter pernah berkata bahwa demokrasi memang bukan ideologi yang terbaik, tetapi ada suatu proses di mana demokrasi memiliki sifat bebas untuk diperbaharui nilai dan pendekatannya. Demokrasi yang baik pasti akan selalu memberikan kesempatan untuk berkembangnya nilai-nilai baru sesuai dengan tantangan demokrasi itu sendiri.

Melihat sejumlah peristiwa pemilu serentak ini, tampaknya usulan sejumlah kalangan misalnya, datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla agar ada perbaikan dalam pemilu serentak sangat masuk akal. Ada beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan, misalnya perhelatan pemilu tingkat nasional ataupun daerah tetap dalam periode pemilu lima tahunan. Namun bedanya, pemilu serentak daerah diselenggarakan di tengah-tengah pemilu serentak nasional lima tahunan. Dengan kata lain, pemilu serentak daerah dilakukan 2,5 tahun setelah berjalannya pemilu serentak nasional.

Perubahan sistem pemilu semacam itu diharapkan dapat mengurangi, bahkan menihilkan catatan-catatan pemilu serentak yang menyisakan sejumlah “tragedi kemanusiaan”. Jangan sampai karena efisiensi kita justru mengabaikan keselamatan nyawa manusia, para pejuang demokrasi yang telah dengan susah-payah dan bekerja tanpa mengenal waktu demi suksesnya pesta demokrasi.

Kendati terdapat capaian positif gelaran pemilu serentak seperti melonjaknya angka partisipasi, harus diakui masih banyak kecompang-campingan sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan sistem pemilu ke depan. Namun, terlepas dari kekurangan yang dihadapi, kita berharap pemilu serentak ini bisa berjalan lancar, aman, dan damai hingga proses usai nanti. Semoga.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5166 seconds (0.1#10.140)