Menang dari Ujian Demokrasi
A
A
A
Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
MESTINYA hari yang paling membahagiakan dan sakral untuk dirayakan oleh rakyat Indonesia jatuh pada Rabu, 17 April 2019. Karena pada momen itulah klimaks dari upaya rakyat mempertontonkan kedaulatan politiknya sebagai yang empunya elektoral. Rakyat akan memberikan mandat kepada para politisi di bilik suara untuk memformulasi dan menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut harkat kehidupan rakyat pada lima tahun mendatang (Kenneth Rasinsky & Tom Tyler, Poltiical Behaviur Annual, 1986: 10).
Itu sebabnya kegiatan politik (pemilu) bukanlah semata wadah tindakan strategis untuk memperoleh/memperebutkan dan menjalankan kekuasaan atau pemaksaan kehendak oleh penguasa terhadap objek kekuasaannya dengan cara apa pun. Pemahaman politik seperti ini terlalu naif karena mudah disalahgunakan untuk pemenuhan kepentingan individual, kelompok bahkan untuk kepentingan oligarkis.
Namun politik, dalam hal ini pemilu, sejatinya tindakan komunikasi, dialog dan partisipasi warga negara di ruang publik sebagaimana yang dikatakan Hannah Arendt (1906-1975), filsuf perempuan berdarah Yahudi (dalam Shafwan, Filsafat Politik Hannah Arendt, 2003). Dialog yang dimaksudkan adalah interaksi dan pertukaran gagasan hingga penentuan keputusan politik secara jujur di bilik suara.
Keistimewaan politik
Karenanya, menyia-nyiakan hari pemungutan suara dengan bersikap apatis termasuk memilih bersikap golput sejatinya bukanlah bagian dari praksis politik kewarganegaraan (politics of citizenship) yang cerdas dan dewasa. Golput memang bagian dari partisipasi politik, namun pembangunan demokrasi yang konsolidatif juga memerlukan dukungan dan partisipasi politik yang tinggi. Hanya dengan partisipasi politik yang tinggi artikulasi kepentingan rakyat mampu diaktualisasikan secara prosedural dan maksimal, sehingga kemudian akan melahirkan pemerintahan yang legitimatif dan berkomitmen penuh untuk melayani pemenuhan kebutuhan publik.
Dari sudut pandang evaluatif, Pemilu 2019 memiliki “keistimewaan politik” tersendiri karena selama masa kampanye kita diharu biru oleh atmosfer rivalitas yang keras dan tajam hingga muncul polarisasi yang membuat elemen sosial-kebangsaan terbenam dalam prasangka dan stigmatisasi. Praktis selama masa kampanye, “baju keseharian” kita seolah-olah hanya memiliki “dua warna” secara politis, di tengah realitas keberagaman (Bhineka Tunggal Ika) yang kita miliki.
Maka dalam gawe demokrasi kali ini, baik di masa tenang, hari-H pencoblosan maupun pascapemilu, saatnya kita mempertontonkan dan membuktikan kemenangan dari ujian demokrasi dengan bersepakat mereinkarnasi sikap politik yang nir-demokratis tadi menjadi sikap politik yang rasional, sejuk, optimis dengan memanfaatkan hak politik sebaik-baiknya. Di ujung dari tahapan pascapemilu itu akan terbaca apakah demokrasi kita mampu mentransformasikan nilai-nilai politik praktis yang banalitas dan “keras” itu menjadi nilai-nilai politik kepublikan yang berimplikasi pada kesejahteraan dan kelestarian eksistensi NKRI.
Selanjutnya juga akan terbaca sejauhmana nasionalisme kita dipertahankan secara substantif dan konstruktif. Berdasarkan tipologi Max Weber (1958) tentang subjective meaning dari tindakan sosial di dunia, masyarakat terbagi paling sedikit tiga golongan. Di antaranya ada golongan rasionalis yang menyandarkan kebangsaannya pada urusan untung-rugi, yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan bersikap oportunis. Ada pula golongan emosional yang mempraktikkan hidup kebangsaanya secara situasional, berubah-ubah, disesuaikan motif, selera dan kepentingan. Ini bisa dikontekstualisasikan dalam gaya berpolitik yang kerap cair, tidak ideologis, lebih mengikuti tren kepentingan. Dan, ada pula golongan masyarakat idealis yang mendasarkan kewargaannya pada nilai-nilai nasionalisme, kerukunan, patriotisme.
Jika kita mampu mengakhiri kontestasi politik dengan animo partisipasi politik yang tinggi, berkualitas dan damai, maka kita akan menjadi bagian dari masyarakat yang idealis yang mampu membuka jalan bagi proses transformasi politik dan demokrasi ke arah penggenapan cita-cita ideal sebagaimana yang dimandatkan oleh konstitusi. Kita akan semakin mudah untuk melembagakan prinsip-prinsip politik yang inklusif dan menghargai kebebasan berekspresi secara egaliter di dalam perangkat institusi politik kita untuk kemudian memproduksi budaya politik dan demokrasi yang sehat, kuat dan memiliki daya lenting yang tinggi dalam bersaing baik secara nasional maupun global.
Hal tersebut berpeluang besar kita ciptakan mengingat kita juga sudah terbukti sukses melaksanakan gelaran Pilkada Serentak tahun 2015, 2017 dan 2018. Itu berarti kita memiliki benih militansi untuk merubah wajah demokrasi kita secara bertahap menjadi lebih baik dan meyakinkan.
Dua Terobosan
Yang tidak kalah pentingnya Pemilu Serentak 2019 nantinya adalah fasilitas politik demokratik untuk memilih pemimpin yang bisa melakukan dua terobosan sekaligus, menghadirkan integrasi sosial karena kesamaan cita-cita sebagaimana imagined community-nya Benn Anderson, sekaligus mendistribusikan kue keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat. Hal ini penting karena menurut Kurian (dalam Wirutomo, 2012), negara Indonesia saat ini bisa dibilang sedang ada dalam golongan usia yang “kritis” (usia 70-an tahun) di mana pada masa seperti ini pola integrasi koersif (pola-pola indoktrinasi, kebijakan penyeragaman) untuk mengintegrasikan bangsa harus diminimalkan dan justru yang lebih diperbanyak adalah integrasi yang bersifat fungsional (keadilan, pemerataan dan kesejahteraan sosial) sebagai konsekuensi dari karakter masyarakat yang semakin rasional dan kritis dalam membaca situasi.
Dengan demikian pemilu tak ubahnya proses penghakiman politik rakyat terhadap calon pemimpin dan wakil rakyatnya. Vox populi vox dei hanya mungkin bermakna secara positif jika pilihan politik rakyat lebih didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan futuristik (mementingkan kelanjutan nasib bangsa). Memilih berdasarkan bisikan nurani dan kata hati ketimbang bisikan uang atau karena kehendak primordial-pragmatisme. Ujian demokrasi pada 17 April harus kita menangkan dan rayakan bersama-sama dengan kualitas pilihan politik yang ideal, penuh martabat dan beradab. Selamat memilih!
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
MESTINYA hari yang paling membahagiakan dan sakral untuk dirayakan oleh rakyat Indonesia jatuh pada Rabu, 17 April 2019. Karena pada momen itulah klimaks dari upaya rakyat mempertontonkan kedaulatan politiknya sebagai yang empunya elektoral. Rakyat akan memberikan mandat kepada para politisi di bilik suara untuk memformulasi dan menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut harkat kehidupan rakyat pada lima tahun mendatang (Kenneth Rasinsky & Tom Tyler, Poltiical Behaviur Annual, 1986: 10).
Itu sebabnya kegiatan politik (pemilu) bukanlah semata wadah tindakan strategis untuk memperoleh/memperebutkan dan menjalankan kekuasaan atau pemaksaan kehendak oleh penguasa terhadap objek kekuasaannya dengan cara apa pun. Pemahaman politik seperti ini terlalu naif karena mudah disalahgunakan untuk pemenuhan kepentingan individual, kelompok bahkan untuk kepentingan oligarkis.
Namun politik, dalam hal ini pemilu, sejatinya tindakan komunikasi, dialog dan partisipasi warga negara di ruang publik sebagaimana yang dikatakan Hannah Arendt (1906-1975), filsuf perempuan berdarah Yahudi (dalam Shafwan, Filsafat Politik Hannah Arendt, 2003). Dialog yang dimaksudkan adalah interaksi dan pertukaran gagasan hingga penentuan keputusan politik secara jujur di bilik suara.
Keistimewaan politik
Karenanya, menyia-nyiakan hari pemungutan suara dengan bersikap apatis termasuk memilih bersikap golput sejatinya bukanlah bagian dari praksis politik kewarganegaraan (politics of citizenship) yang cerdas dan dewasa. Golput memang bagian dari partisipasi politik, namun pembangunan demokrasi yang konsolidatif juga memerlukan dukungan dan partisipasi politik yang tinggi. Hanya dengan partisipasi politik yang tinggi artikulasi kepentingan rakyat mampu diaktualisasikan secara prosedural dan maksimal, sehingga kemudian akan melahirkan pemerintahan yang legitimatif dan berkomitmen penuh untuk melayani pemenuhan kebutuhan publik.
Dari sudut pandang evaluatif, Pemilu 2019 memiliki “keistimewaan politik” tersendiri karena selama masa kampanye kita diharu biru oleh atmosfer rivalitas yang keras dan tajam hingga muncul polarisasi yang membuat elemen sosial-kebangsaan terbenam dalam prasangka dan stigmatisasi. Praktis selama masa kampanye, “baju keseharian” kita seolah-olah hanya memiliki “dua warna” secara politis, di tengah realitas keberagaman (Bhineka Tunggal Ika) yang kita miliki.
Maka dalam gawe demokrasi kali ini, baik di masa tenang, hari-H pencoblosan maupun pascapemilu, saatnya kita mempertontonkan dan membuktikan kemenangan dari ujian demokrasi dengan bersepakat mereinkarnasi sikap politik yang nir-demokratis tadi menjadi sikap politik yang rasional, sejuk, optimis dengan memanfaatkan hak politik sebaik-baiknya. Di ujung dari tahapan pascapemilu itu akan terbaca apakah demokrasi kita mampu mentransformasikan nilai-nilai politik praktis yang banalitas dan “keras” itu menjadi nilai-nilai politik kepublikan yang berimplikasi pada kesejahteraan dan kelestarian eksistensi NKRI.
Selanjutnya juga akan terbaca sejauhmana nasionalisme kita dipertahankan secara substantif dan konstruktif. Berdasarkan tipologi Max Weber (1958) tentang subjective meaning dari tindakan sosial di dunia, masyarakat terbagi paling sedikit tiga golongan. Di antaranya ada golongan rasionalis yang menyandarkan kebangsaannya pada urusan untung-rugi, yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan bersikap oportunis. Ada pula golongan emosional yang mempraktikkan hidup kebangsaanya secara situasional, berubah-ubah, disesuaikan motif, selera dan kepentingan. Ini bisa dikontekstualisasikan dalam gaya berpolitik yang kerap cair, tidak ideologis, lebih mengikuti tren kepentingan. Dan, ada pula golongan masyarakat idealis yang mendasarkan kewargaannya pada nilai-nilai nasionalisme, kerukunan, patriotisme.
Jika kita mampu mengakhiri kontestasi politik dengan animo partisipasi politik yang tinggi, berkualitas dan damai, maka kita akan menjadi bagian dari masyarakat yang idealis yang mampu membuka jalan bagi proses transformasi politik dan demokrasi ke arah penggenapan cita-cita ideal sebagaimana yang dimandatkan oleh konstitusi. Kita akan semakin mudah untuk melembagakan prinsip-prinsip politik yang inklusif dan menghargai kebebasan berekspresi secara egaliter di dalam perangkat institusi politik kita untuk kemudian memproduksi budaya politik dan demokrasi yang sehat, kuat dan memiliki daya lenting yang tinggi dalam bersaing baik secara nasional maupun global.
Hal tersebut berpeluang besar kita ciptakan mengingat kita juga sudah terbukti sukses melaksanakan gelaran Pilkada Serentak tahun 2015, 2017 dan 2018. Itu berarti kita memiliki benih militansi untuk merubah wajah demokrasi kita secara bertahap menjadi lebih baik dan meyakinkan.
Dua Terobosan
Yang tidak kalah pentingnya Pemilu Serentak 2019 nantinya adalah fasilitas politik demokratik untuk memilih pemimpin yang bisa melakukan dua terobosan sekaligus, menghadirkan integrasi sosial karena kesamaan cita-cita sebagaimana imagined community-nya Benn Anderson, sekaligus mendistribusikan kue keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat. Hal ini penting karena menurut Kurian (dalam Wirutomo, 2012), negara Indonesia saat ini bisa dibilang sedang ada dalam golongan usia yang “kritis” (usia 70-an tahun) di mana pada masa seperti ini pola integrasi koersif (pola-pola indoktrinasi, kebijakan penyeragaman) untuk mengintegrasikan bangsa harus diminimalkan dan justru yang lebih diperbanyak adalah integrasi yang bersifat fungsional (keadilan, pemerataan dan kesejahteraan sosial) sebagai konsekuensi dari karakter masyarakat yang semakin rasional dan kritis dalam membaca situasi.
Dengan demikian pemilu tak ubahnya proses penghakiman politik rakyat terhadap calon pemimpin dan wakil rakyatnya. Vox populi vox dei hanya mungkin bermakna secara positif jika pilihan politik rakyat lebih didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan futuristik (mementingkan kelanjutan nasib bangsa). Memilih berdasarkan bisikan nurani dan kata hati ketimbang bisikan uang atau karena kehendak primordial-pragmatisme. Ujian demokrasi pada 17 April harus kita menangkan dan rayakan bersama-sama dengan kualitas pilihan politik yang ideal, penuh martabat dan beradab. Selamat memilih!
(wib)