Mengurai Sengkarut Boeing
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Pesawat udara dengan mesin Boeing 737-8 Max sudah dilarang terbang sementara (temporary grounded). Keputusan ini diambil berdasarkan inspeksi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) dan disiarkan melalui siaran pers Nomor 82/SP/KSIHU/III/2019 pada 11 Maret 2019.
Keputusan Ditjen Hubud dibuat dengan mempertimbangkan aspek teknis keselamatan penerbangan pascajatuhnya pesawat Lion air JT- 610 dan Ethiopian Air berselang beberapa pekan kemudian. Banyak negara
termasuk Amerika Serikat telah mengeluarkan kebijakan larangan terbang bagi pesawat bermesin Boeing 737-8 Max.
Memang tepat kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia sehubungan dengan kebijakan larangan terbang sementara pesawat dengan mesin Boeing 737-8 Max karena bagaimanapun keselamatan penumpang merupakan hal yang wajib diprioritaskan sesuai pedoman International Civil Aviation Organization (ICAO). Kini persoalannya adalah dampak kelangsungan usaha dan perlindungan konsumen pascakeputusan tersebut.
Dalam konteks hukum bisnis kasus mesin Boeing 737-8 Max mengacu pada hasil eksaminasi, simulasi, dan pemeriksaan otoritas penerbangan beberapa negara dapat dikategorikan mengandung cacat tersembunyi. Akibat cacat tersembunyi tersebut, pesawat tidak dapat dioperasikan secara normal sebagaimana mestinya dan mengandung risiko yang merugikan ketika pesawat dioperasikan.
Tentu larangan terbang sementara ini membawa dampak kerugian secara finansial dan komersial, baik bagi maskapai penerbangan maupun bagi penumpang dan calon penumpang. Konsekuensi larangan terbang sementara pada pesawat dengan mesin Boeing 737-8 Max tentu memiliki implikasi hukum yang harus diselesaikan. Pihak Boeing bahkan telah mengakui ada risiko bagi dunia penerbangan terkait pesawat dengan mesin Boeing 737-8 Max.
Kasus ini merupakan kasus yang pertama, ketika mesin penerbangan yang telah diproduksi secara massal diketahui memiliki cacat tersembunyi dan menyebabkan kecelakaan setidaknya dua penerbangan dengan ratusan korban jiwa. Penyelesaian atas implikasi cacat tersembunyi atas mesin Boeing 737-8 Max memiliki tiga perspektif, yakni antara Boeing dan pihak maskapai sebagai konsumen akhir, hubungan antara Boeing dan pihak maskapai sebagai konsumen antara, dan hubungan antara Boeing dengan penumpang dan calon penumpang sebagai konsumen akhir dalam relasi antara Boeing dan maskapai.
Faktor asuransi juga merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan dalam penyelesaian klaim dan pertanggungjawaban pihak Boeing pada konsumen baik maskapai, penumpang, maupun calon penumpang. Terminologi konsumen dalam hal ini dapat dimaksudkan bagi maskapai (baik sebagai konsumen akhir maupun konsumen antara) maupun penumpang dan calon penumpang.
Asuransi dalam hal ini terkait pengalihan kewajiban pembayaran ganti kerugian, yang seharusnya dibayarkan oleh pihak Boeing kepada konsumennya. Memang klaim ganti kerugian juga sangat bergantung pada substansi kontrak jual-beli (sale purchase agreement) antara Boeing dan maskapai karena dalam kontrak tersebut tertera bentuk dan batasan pertanggungjawaban pihak Boeing kepada maskapai.
Relasi Boeing-Maskapai-Penumpang
Relasi Boeing dan maskapai ini secara hukum merupakan relasi kontraktual, artinya segala sesuatu harus mengacu pada kontrak yang dibuat para pihak. Sri Rejeki (1986) menegaskan bahwa penyerahan barang secara sempurna merupakan salah satu syarat esensialia dari sebuah kontrak. Artinya, dalam hal ini adanya cacat tersembunyi mutlak merupakan tanggung jawab penjual. Adanya klausula representation and warranties menunjukkan tanggung jawab penjual pada cacat tersembunyi.
Dalam konteks maskapai sebagai konsumen akhir, relasi Boeing-maskapai terkait pembelian mesin Boeing 737-8 Max terdapat dua hal, yakni terkait penggantian mesin Boeing 737-8 Max soal ada cacat tersembunyi, maskapai pemesan dapat mempergunakan klausula representation and warranties untuk melakukan klaim penggantian mesin yang sempurna. Sedangkan terkait kerugian finansial akibat temporary grounded, maskapai dapat melakukan klaim ganti kerugian, baik melalui proses litigasi maupun nonlitigasi pada Boeing.
Sedangkan dalam konteks maskapai sebagai konsumen antara, dalam hal misalnya terjadi kecelakaan maupun kerugian lainnya maskapai mendapat klaim dari ahli waris penumpang, penumpang, maupun calon penumpang yang dirugikan atas cacat tersembunyi tersebut. Berdasarkan bukti-bukti kesalahan produksi dan cacat tersembunyi, maskapai dapat mengalihkan klaim tuntutan ganti rugi ahli waris penumpang, penumpang, maupun calon penumpang kepada Boeing. Meskipun perlu disadari bahwa hubungan kontraktual terjadi antara penumpang dan maskapai yang bersangkutan.
Namun, sebelum melakukan klaim kepada Boeing, maskapai perlu melihat klausula asuransi yang ada pada hubungan kontraktual maskapai dan Boeing serta klausula asuransi pada hubungan kontraktual maskapai dan penumpang. Rutten (1955) menjelaskan bahwa asuransi merupakan perjanjian tambahan (acessoir) dengan perjanjian pokoknya berupa perjanjian jual-beli. Perjanjian acessoir tidak dapat berlaku dua kali untuk objek pertanggungan dan risiko yang sama.
Dalam hal ini menjadi penting untuk menganalisis masing-masing substansi perjanjian asuransi, mengingat jika keliru melakukan klaim, maka Boeing dapat terlepas dari kewajiban ganti rugi karena telah mengalihkan pada asuransi. Dan, jika terjadi kekeliruan klaim, maka demi hukum asuransi dapat tidak membayarkannya.
Idealnya, dalam hal ini menyangkut pada reputasi dalam perspektif etika bisnis, pihak Boeing harus menginisiasi untuk membuat out of court settlement (penyelesaian di luar pengadilan), mengingat sebelum kecelakaan terjadi sebenarnya pihak Boeing telah menyadari ada cacat tersembunyi pada mesin Boeing 737-8 Max. Alpanya Boeing untuk tidak segera melakukan recall (penarikan) dan meneruskan produksi merupakan sebuah pelanggaran etika bisnis selain menimbulkan implikasi hukum.
Dengan out of court settlement (penyelesaian di luar pengadilan), maka nama baik dan reputasi Boeing akan terjaga, mengingat kepercayaan memegang peranan penting dalam bisnis penerbangan. Sebaliknya, pihak maskapai juga mendapat kompensasi atas business interruptionyang terjadi karena larangan terbang oleh otoritas dikarenakan ada cacat tersembunyi pada mesin Boeing 737-8 Max.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah ahli waris penumpang, penumpang, dan calon penumpang yang merasa dirugikan atas kecelakaan maupun pembatalan penerbangan akibat temporary grounded dapat langsung meminta pertanggungjawaban pihak Boeing? Jawabannya secara keperdataan konstruksi yang paling tepat adalah konsumen hanya dapat menjadi pihak terkait, sedangkan inisiasi gugatan atau penyelesaian secara hukum tetap harus dilakukan oleh maskapai mengingat ada hubungan kontraktual yang terpisah antara maskapai dan Boeing maupun penumpang dan maskapai.
Boeing tidak memiliki hubungan langsung secara kontraktual dengan ahli waris penumpang, penumpang, dan calon penumpang. Tetapi, maskapai dapat mengalihkan klaim ganti kerugian ahli waris penumpang, penumpang, dan calon penumpang pada Boeing, mengingat klaim pada maskapai disebabkan karena kesalahan Boeing.
Alternatif penumpang dapat menggugat Boeing lewat jalan class action,sebenarnya dengan memedomani Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang class action (gugatan perwakilan kelompok), ini telah memenuhi unsur, yakni terkait perlindungan konsumen, adanya kerugian yang sama atas produk yang sama. Namun, jalan melalui class action rawan menjadi bumerang bagi ahli waris penumpang, penumpang, dan calon penumpang, mengingat tidak ada hubungan kontraktual langsung antara penumpang dan Boeing.
Travis (1999) menjelaskan bahwa ada hubungan kontraktual langsung merupakan syarat yang harus dipenuhi pada gugatan perwakilan kelompok (class action). Dalam hal ini jika ahli waris penumpang, penumpang, dan calon penumpang merasa dirugikan, maka klaim tetap harus dilakukan melalui maskapai sebab maskapai yang memiliki hubungan kontraktual dengan Boeing.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Pesawat udara dengan mesin Boeing 737-8 Max sudah dilarang terbang sementara (temporary grounded). Keputusan ini diambil berdasarkan inspeksi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) dan disiarkan melalui siaran pers Nomor 82/SP/KSIHU/III/2019 pada 11 Maret 2019.
Keputusan Ditjen Hubud dibuat dengan mempertimbangkan aspek teknis keselamatan penerbangan pascajatuhnya pesawat Lion air JT- 610 dan Ethiopian Air berselang beberapa pekan kemudian. Banyak negara
termasuk Amerika Serikat telah mengeluarkan kebijakan larangan terbang bagi pesawat bermesin Boeing 737-8 Max.
Memang tepat kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia sehubungan dengan kebijakan larangan terbang sementara pesawat dengan mesin Boeing 737-8 Max karena bagaimanapun keselamatan penumpang merupakan hal yang wajib diprioritaskan sesuai pedoman International Civil Aviation Organization (ICAO). Kini persoalannya adalah dampak kelangsungan usaha dan perlindungan konsumen pascakeputusan tersebut.
Dalam konteks hukum bisnis kasus mesin Boeing 737-8 Max mengacu pada hasil eksaminasi, simulasi, dan pemeriksaan otoritas penerbangan beberapa negara dapat dikategorikan mengandung cacat tersembunyi. Akibat cacat tersembunyi tersebut, pesawat tidak dapat dioperasikan secara normal sebagaimana mestinya dan mengandung risiko yang merugikan ketika pesawat dioperasikan.
Tentu larangan terbang sementara ini membawa dampak kerugian secara finansial dan komersial, baik bagi maskapai penerbangan maupun bagi penumpang dan calon penumpang. Konsekuensi larangan terbang sementara pada pesawat dengan mesin Boeing 737-8 Max tentu memiliki implikasi hukum yang harus diselesaikan. Pihak Boeing bahkan telah mengakui ada risiko bagi dunia penerbangan terkait pesawat dengan mesin Boeing 737-8 Max.
Kasus ini merupakan kasus yang pertama, ketika mesin penerbangan yang telah diproduksi secara massal diketahui memiliki cacat tersembunyi dan menyebabkan kecelakaan setidaknya dua penerbangan dengan ratusan korban jiwa. Penyelesaian atas implikasi cacat tersembunyi atas mesin Boeing 737-8 Max memiliki tiga perspektif, yakni antara Boeing dan pihak maskapai sebagai konsumen akhir, hubungan antara Boeing dan pihak maskapai sebagai konsumen antara, dan hubungan antara Boeing dengan penumpang dan calon penumpang sebagai konsumen akhir dalam relasi antara Boeing dan maskapai.
Faktor asuransi juga merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan dalam penyelesaian klaim dan pertanggungjawaban pihak Boeing pada konsumen baik maskapai, penumpang, maupun calon penumpang. Terminologi konsumen dalam hal ini dapat dimaksudkan bagi maskapai (baik sebagai konsumen akhir maupun konsumen antara) maupun penumpang dan calon penumpang.
Asuransi dalam hal ini terkait pengalihan kewajiban pembayaran ganti kerugian, yang seharusnya dibayarkan oleh pihak Boeing kepada konsumennya. Memang klaim ganti kerugian juga sangat bergantung pada substansi kontrak jual-beli (sale purchase agreement) antara Boeing dan maskapai karena dalam kontrak tersebut tertera bentuk dan batasan pertanggungjawaban pihak Boeing kepada maskapai.
Relasi Boeing-Maskapai-Penumpang
Relasi Boeing dan maskapai ini secara hukum merupakan relasi kontraktual, artinya segala sesuatu harus mengacu pada kontrak yang dibuat para pihak. Sri Rejeki (1986) menegaskan bahwa penyerahan barang secara sempurna merupakan salah satu syarat esensialia dari sebuah kontrak. Artinya, dalam hal ini adanya cacat tersembunyi mutlak merupakan tanggung jawab penjual. Adanya klausula representation and warranties menunjukkan tanggung jawab penjual pada cacat tersembunyi.
Dalam konteks maskapai sebagai konsumen akhir, relasi Boeing-maskapai terkait pembelian mesin Boeing 737-8 Max terdapat dua hal, yakni terkait penggantian mesin Boeing 737-8 Max soal ada cacat tersembunyi, maskapai pemesan dapat mempergunakan klausula representation and warranties untuk melakukan klaim penggantian mesin yang sempurna. Sedangkan terkait kerugian finansial akibat temporary grounded, maskapai dapat melakukan klaim ganti kerugian, baik melalui proses litigasi maupun nonlitigasi pada Boeing.
Sedangkan dalam konteks maskapai sebagai konsumen antara, dalam hal misalnya terjadi kecelakaan maupun kerugian lainnya maskapai mendapat klaim dari ahli waris penumpang, penumpang, maupun calon penumpang yang dirugikan atas cacat tersembunyi tersebut. Berdasarkan bukti-bukti kesalahan produksi dan cacat tersembunyi, maskapai dapat mengalihkan klaim tuntutan ganti rugi ahli waris penumpang, penumpang, maupun calon penumpang kepada Boeing. Meskipun perlu disadari bahwa hubungan kontraktual terjadi antara penumpang dan maskapai yang bersangkutan.
Namun, sebelum melakukan klaim kepada Boeing, maskapai perlu melihat klausula asuransi yang ada pada hubungan kontraktual maskapai dan Boeing serta klausula asuransi pada hubungan kontraktual maskapai dan penumpang. Rutten (1955) menjelaskan bahwa asuransi merupakan perjanjian tambahan (acessoir) dengan perjanjian pokoknya berupa perjanjian jual-beli. Perjanjian acessoir tidak dapat berlaku dua kali untuk objek pertanggungan dan risiko yang sama.
Dalam hal ini menjadi penting untuk menganalisis masing-masing substansi perjanjian asuransi, mengingat jika keliru melakukan klaim, maka Boeing dapat terlepas dari kewajiban ganti rugi karena telah mengalihkan pada asuransi. Dan, jika terjadi kekeliruan klaim, maka demi hukum asuransi dapat tidak membayarkannya.
Idealnya, dalam hal ini menyangkut pada reputasi dalam perspektif etika bisnis, pihak Boeing harus menginisiasi untuk membuat out of court settlement (penyelesaian di luar pengadilan), mengingat sebelum kecelakaan terjadi sebenarnya pihak Boeing telah menyadari ada cacat tersembunyi pada mesin Boeing 737-8 Max. Alpanya Boeing untuk tidak segera melakukan recall (penarikan) dan meneruskan produksi merupakan sebuah pelanggaran etika bisnis selain menimbulkan implikasi hukum.
Dengan out of court settlement (penyelesaian di luar pengadilan), maka nama baik dan reputasi Boeing akan terjaga, mengingat kepercayaan memegang peranan penting dalam bisnis penerbangan. Sebaliknya, pihak maskapai juga mendapat kompensasi atas business interruptionyang terjadi karena larangan terbang oleh otoritas dikarenakan ada cacat tersembunyi pada mesin Boeing 737-8 Max.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah ahli waris penumpang, penumpang, dan calon penumpang yang merasa dirugikan atas kecelakaan maupun pembatalan penerbangan akibat temporary grounded dapat langsung meminta pertanggungjawaban pihak Boeing? Jawabannya secara keperdataan konstruksi yang paling tepat adalah konsumen hanya dapat menjadi pihak terkait, sedangkan inisiasi gugatan atau penyelesaian secara hukum tetap harus dilakukan oleh maskapai mengingat ada hubungan kontraktual yang terpisah antara maskapai dan Boeing maupun penumpang dan maskapai.
Boeing tidak memiliki hubungan langsung secara kontraktual dengan ahli waris penumpang, penumpang, dan calon penumpang. Tetapi, maskapai dapat mengalihkan klaim ganti kerugian ahli waris penumpang, penumpang, dan calon penumpang pada Boeing, mengingat klaim pada maskapai disebabkan karena kesalahan Boeing.
Alternatif penumpang dapat menggugat Boeing lewat jalan class action,sebenarnya dengan memedomani Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang class action (gugatan perwakilan kelompok), ini telah memenuhi unsur, yakni terkait perlindungan konsumen, adanya kerugian yang sama atas produk yang sama. Namun, jalan melalui class action rawan menjadi bumerang bagi ahli waris penumpang, penumpang, dan calon penumpang, mengingat tidak ada hubungan kontraktual langsung antara penumpang dan Boeing.
Travis (1999) menjelaskan bahwa ada hubungan kontraktual langsung merupakan syarat yang harus dipenuhi pada gugatan perwakilan kelompok (class action). Dalam hal ini jika ahli waris penumpang, penumpang, dan calon penumpang merasa dirugikan, maka klaim tetap harus dilakukan melalui maskapai sebab maskapai yang memiliki hubungan kontraktual dengan Boeing.
(rhs)